http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/keberlanjutan-korupsi-di-indonesia/

Kamis, 14 Januari 2010 13:01 
Keberlanjutan Korupsi di Indonesia
OLEH: RILUS A KINSENG



Korupsi bukanlah merupakan fe­no­mena baru di In­do­nesia; ia su­dah ada sejak 
puluhan tahun silam. 

     
Upaya pemberantasan korupsi juga telah di­lakukan sejak lama. Namun ter­nyata 
korupsi itu tidak kunjung lenyap dari negeri ini. Keberlanjutan korupsi di 
In­donesia cukup bagus. Maka pertanyaan yang sangat penting adalah, mengapa 
korupsi tetap langgeng di negeri ini? 


Tulisan ini mencoba menjelaskan keberlanjutan korupsi di Indonesia serta 
strategi penanggulangannya dari suatu perspektif dalam sosiologi, yakni 
perspektif struktural-fungsional. Dalam perspektif struktural-fungsional, jika 
suatu fenomena sosial eksis, ber­­arti fenomena tersebut mem­punyai fungsi 
positif (fung­sional) dalam masyarakat. De­ngan istilah lain, fenomena sosial 
itu eksis karena ia ber­fungsi bagi sistem sosial-bu­daya di mana ia ada. 
Sosiolog Herbert Gans, misalnya, me­nunjukkan bahwa kemiskinan itu tetap eksis 
karena ia mempunyai fungsi positif bagi berbagai kelompok dalam masyarakat 
(Gans, 1972).   


Dalam perspektif ini, ko­rupsi eksis karena ia mempunyai fungsi positif dalam 
ma­syarakat.  Apa fungsi positif ko­rupsi? Korupsi fungsional bagi yang memberi 
maupun yang menerima "upeti". Bagi si pe­nerima, korupsi berfungsi untuk 
menambah pendapatan, kekayaan, atau kenyamanan hidup lainnya, dengan cara yang 
cukup mudah dan cepat pula. Tentu saja ini sangat menggiurkan, apalagi di 
tengah kehidupan modern yang sangat materialistik, konsumeristik, dan 
hedonistik ini. Pemberian "upeti" dalam bentuk uang, harta benda, dan fasilitas 
lain amat berharga bagi si pe­nerima.  


Bagaimana dengan si pemberi? Apakah korupsi juga fungsional? Tentu saja! Bagi 
seorang pengusaha, misalnya, "upeti" itu akan memberi jaminan dan kepastian 
bagi kelanjutan usahanya. Dalam tender proyek, dengan memberikan "upeti" kepada 
pihak yang berwewenang, seorang pe­ngusaha akan mendapat jaminan bahwa dialah 
yang mendapatkan proyek tersebut. Begitu pula dalam kasus hukum. De­ngan 
memberikan "upeti", se­seorang bisa dibebaskan dari hu­kuman sekalipun dia 
me­lakukan kejahatan. Urusan juga bisa menjadi lebih cepat dan lancar dengan 
membe­rikan "upeti". 


Jadi, korupsi sangat fungsional bagi sang penerima maupun pemberi "upeti" di 
negeri ini. Begitu fungsionalnya korupsi bagi kedua belah pihak, sampai-sampai 
muncul profesi khusus yang disebut makelar kasus di dunia peradilan kita, yang 
juga menikmati fungsi positif korupsi. Nah, karena korupsi mempunyai fungsi 
positif bagi para pelaku korupsi, baik penerima mau­pun pemberi "upeti" serta 
para makelar kasus maka mereka berkepentingan untuk me­langgengkan korupsi. 


Kalau dikatakan korupsi eksis karena ia berfungsi bagi masyarakat, tentu 
pernyataan tersebut perlu diklarifikasi. Jika tidak, ia bisa dijadikan alasan 
untuk membenarkan praktik korupsi. Dalam hal ini maka konsep disfungsi 
(dysfunction) dari sosiolog Robert K Merton menjadi sangat pen­ting.  Menurut 
Merton, suatu fe­nomena bisa saja berfungsi untuk kelompok tertentu, tapi 
sebaliknya merugikan (dysfunction) bagi kelompok yang lain bahkan merugikan 
sistem sosial secara keseluruhan. Oleh sebab itu, menurut Merton, kita perlu 
bertanya secara kritis, berfungsi dan tak berfungsi untuk siapa? (functional 
and dysfunctional for whom?).  


Saya kira kita sepakat bahwa korupsi itu dysfunction bagi sebagian besar rakyat 
Indonesia, bahkan sesungguhnya dysfunction bagi bangsa Indonesia secara 
keseluruhan. Oleh sebab itu, sebenarnya jauh lebih baik jika korupsi itu 
di­enyahkan dari bumi Indonesia. Hemat saya, eksistensi korupsi di negeri ini 
sesungguhnya lebih karena ia fungsional bagi segelintir orang yang powerful, 
baik dalam kekuasaan maupun ekonomi. Buktinya, kalau rakyat kecil seperti Bu 
Minah itu yang melakukan "korupsi" maka hukum diterapkan se­cara tegas.    

Memberantas Korupsi
Dapatkah kita mengandalkan pendekatan moralitas atau etika untuk memberantas 
korupsi di Indonesia? Hingga kini nampaknya belum bisa. Nilai-nilai agama saja 
yang diklaim sebagai "the ultimate value" oleh umat beragama, toh tidak mampu 
mengenyahkan korupsi dari bumi Indonesia.  Rupanya agama hanya dija­lan­kan 
secara formal-ritual saja, sementara dalam praktik keseharian banyak yang 
menganut "agama underground", yakni materialisme, hedonisme, kon­su­merisme, 
pragmatisme, "in­stanisme", serta egoisme. 


Nah, dalam perspektif struk­tural-fungsional, pem-beran­tasan korupsi dapat 
dila­kukan dengan menciptakan atau mencari yang disebut oleh Merton sebagai 
functional alternatives. Artinya, perlu dicarikan cara atau mekanisme lain yang 
dapat menggantikan fungsi korupsi bagi para koruptor itu. Strategi kedua yang 
sangat penting adalah, menciptakan suatu sistem atau mekanisme yang membuat 
korupsi itu sendiri menjadi dysfunction. 


Dalam hal ini, pu­nishment/hukuman yang berat bagi para koruptor tanpa pandang 
bulu merupakan tinda­kan yang tepat.  Namun, meng­ingat korupsi ini eksis 
terutama karena ia fungsional bagi segelintir orang yang powerful da­lam 
kekuasaan dan ekonomi maka kelompok inilah yang perlu menjadi target utama 
terlebih dahulu untuk dihukum dengan amat berat. 

 
Jika strategi ini dijalankan dengan konsisten dan tegas, ada harapan korupsi 
akan berkurang secara signifikan dari bumi Indonesia dalam waktu yang tak 
terlalu lama ke depan. Pertanyaannya, bersediakah Susilo Bambang 
Yudhoyono-Boediono menjadi pahlawan dalam peperangan menumpas korupsi di negeri 
ini? Semoga. 

Penulis adalah Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan di Departemen KPM, IPB, B

Reply via email to