============ ========= ========= ========= ========= = THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia." ============ ========= ========= ========= ========= = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia Quotient] Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat produktifitas dan energi lestari. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." ANALISIS POLITIK Menimbun Lubang Selasa, 19 Januari 2010 | 02:53 WIB Oleh : Sukardi Rinakit Demi masa, peserta seminar itu sekali lagi bertanya mengenai prediksi saya untuk tahun 2010. Dengan tegas penulis mengatakan, optimistis. Meski situasi politik sedikit memanas karena kasus Bank Century, perlakuan istimewa kepada Artalyta Suryani, dan pernyataan Presiden untuk melakukan evaluasi koalisi partai, tetapi secara hipotesis semua itu tidak akan mengganggu ranah ekonomi. Banyak pihak percaya tahun ini ekonomi akan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Situasi itu diduga akan berlaku hingga lima tahun mendatang. Penulis jauh-jauh hari menyatakan, jika pemerintah tidur saja, kinerja ekonomi akan sama dengan periode tahun 2004-2009. Jika pemerintah tidak tidur dan bekerja ala kadarnya, keadaan akan lebih baik dibandingkan dengan lima tahun lalu. Keadaan akan mengalami lompatan signifikan, bahkan akan mengejar Bric (Brasil, India, dan China), jika Presiden melakukan resume power dan berani keluar dari kerangkeng rasa aman dan pencitraannya. Pendeknya, pintu peluang bagi Indonesia untuk merangsek maju terbuka lebar. Namun, sekali lagi, pemerintah terjebak pada pencitraan semu. Belum apa-apa, pemerintah sudah mengklaim program 100 harinya sukses hampir 100 persen. Ini seperti mimpi yang tidak bisa dikonfirmasi. Ini justru menimbulkan pesimisme publik. Jangan heran, jika secara diam-diam rakyat yang melek politik mencemooh pernyataan itu. Menyimak keadaan itu, penulis teringat Johann Christoph Friedrich von Schiller. Ia pernah menyatakan, Eine grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil). Sejujurnya, kita tidak memiliki pemimpin berkarakter kuat sekarang ini. Padahal, tatanan dunia bergerak semakin cepat, ekstrem, dan penuh risiko. Menjadi orang Sejak awal saya sudah mengkritisi program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Prioritasnya terlalu banyak, mencakup 15 program, mulai dari pertahanan, penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan lain-lain. Karena tak ada program yang dijadikan maskot, keberhasilannya menjadi sulit diukur. Semua abu-abu. Idealnya, pemerintah memilih tiga program saja sebagai panglima, yaitu mencabut peraturan perundang-undangan yang membatasi pendirian tempat ibadah, menciptakan sejuta lapangan kerja melalui program padat karya, serta membangun laboratorium modern untuk mengembangkan nanoteknologi, bioteknologi, neurosains, dan teknologi informasi. Program lain, meski tetap dijalankan, tidak perlu dikibar-kibarkan seperti ketiga maskot itu. Dengan demikian, realisasi program itu bisa diukur langsung oleh publik. Jika program pertama dan kedua berhasil, optimisme rakyat pasti meningkat. Perasaan satu bangsa dipastikan menghebat. Semua akan merasa tidak sia-sia menjadi warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan klaim sepihak dari pemerintah, optimisme publik menjadi kempis kembali. Suka atau tidak, sikap pemerintah yang gampang mengklaim kesuksesan tanpa menyodorkan bukti memadai adalah cermin bening dari karakter kepemimpinan yang lemah jika tidak boleh disebut kerdil seperti kata Von Schiller. Sebab itu, jika kepada mereka ditanyakan apa cita-citanya dulu, mereka pasti menjawab, ”Mau jadi orang.” Maksudnya, menjadi pejabat. Mereka tak pernah bercita-cita mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, membuka lapangan kerja, dan lain-lain. Tak mengherankan, setelah menjadi ”orang”, mereka tidak bekerja keras untuk rakyat. Cita-citanya memang hanya menjadi pejabat. Cita-cita itu telah terwujud kini. Dalam perspektif budaya politik, pemimpin seperti itu telah gagal membentuk dirinya menjadi figur berkarakter kuat yang mampu mapras barang kang mbrenjul (meratakan sesuatu yang menonjol). Mereka bisa saja mengabaikan praktik ketidakadilan asal posisi politik dan sumber ekonominya aman. Mencoba menimbun Oleh karena tidak bisa tegak sebagai pemimpin yang berani mapras barang kang mbrenjul, mereka pun tidak akan mati-matian ngurug barang kang ledhok (menutup sesuatu yang berlubang). Pembelaan kepada yang lemah, miskin, tidak berpendidikan bukan merupakan ledakan energi pengabdian mereka. Petani, nelayan, dan buruh terpinggirkan begitu saja. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini gelombang demonstrasi mahasiswa dan aktivis bangkit lagi. Sesuai fitrahnya, mereka sedang memainkan peran sebagai patriot yang berusaha menimbun sesuatu yang ledhok (pembela yang lemah). Mereka juga sedang mencoba membunuh kultur pejabat yang tak sepenuh hati bekerja untuk rakyat. Namun, apakah perlawanan mereka itu akan berubah menjadi ombak besar sehingga mampu menggulung kekuasaan sekarang ini? Dengan prihatin saya harus menjawab ”belum”. Sampai hari ini belum ada pengusaha dan militer yang mendukung gerakan aktivis itu. Pada umumnya mereka masih merasa nyaman dengan komposisi kekuasaan sekarang. Akibatnya, demonstrasi akan kempis, para demonstran kelelahan, dan jaringan pergerakan menjadi kendur. Namun, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Jika hari ini gagal, masih ada hari esok. Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate [Kompas,19/1/10] ----- Tahun Biodiversitas Selasa, 19 Januari 2010 | 03:24 WIB Oleh : Fidelis Regi Waton PBB menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Biodiversitas (keanekaragaman hayati) Internasional dengan semboyan ”Biodiversity is life” —hidup memerlukan keanekaragaman. Biodiversitas merupakan salah satu landasan kesejahteraan dan kelestarian hidup manusia dan penghuni Bumi lainnya. Dengan ini, PBB secara spesifik hendak membangkitkan kesadaran publik dan menggalakkan aliansi global agar aktif bergiat dalam mengupayakan keberlanjutan dan meredam bahaya punahnya populasi tumbuhan dan hewan di alam, baik di darat, laut, maupun udara. Istilah biodiversitas atau biological diversity menembusi zona diskusi ilmiah-politik dan ruang publik sejak tahun 1980-an. Gebrakan ini cukup kuat dipengaruhi oleh ahli biologi Amerika Serikat, Edward Osborne Wilson, dengan karyanya Biodiversity and Diversity of life. Konferensi tingkat tinggi iklim sedunia di Rio de Janeiro tahun 1992 juga menyepakati perlindungan keanekaragaman hayati (convention on biological diverstiy/CBD). Salah satu kesepakatan penting Konferensi Rio ini ditandatangani oleh 167 negara, diratifikasi oleh 30 negara, dan mulai berlaku secara resmi sejak tanggal 29 Desember 1993. Kelak ditetapkan tanggal 22 Mei sebagai Hari Biodiversitas Internasional. Ancaman kolosal Biodiversitas pada prinsipnya berkaitan dengan keseluruhan hidup dan keanekaragamannya dalam segala bentuknya di planet ini. Yang dimaksudkan adalah keragaman semua organisme hidup dengan hewan, tumbuhan, mikro-organisme (bakteri, virus, jamur), juga keanekaragaman genetis intern setiap jenis dan perbedaan lingkup hidup (ekosistem dan biosfer). Sejak Aristoteles (384-322 SM), proses kategorisasi dunia flora dan fauna telah dimulai. Menariknya, para ilmuwan mengetahui lebih banyak tentang jumlah bintang di galaksi ketimbang jenis hewan dan tumbuhan di Bumi. Memang hingga kini belum diketahui secara pasti berapa banyak makhluk hidup yang ada di Bumi ini; diperkirakan sekitar 15 miliar jenis. Yang telah diklasifikasi oleh taksonom sekitar 1,8 miliar dan dari hasil itu sekitar 40.000 jenis yang terancam punah serta 150 jenis yang punah setiap hari. Kisah sedih ini berjalan kontinu. Lebih dari 70 persen aneka ragam hayati berhabitat di negara-negara tropis dan subtropis. Salah satu ancaman kolosal terhadap kelanggengan biodiversitas adalah kehilangan ruang hidup. Lingkup hidup yang harmonis bukan hanya berubah secara drastis, tetapi begitu gigantis dirusakkan oleh pemanasan global, pencemaran, kontaminasi, pemupukan dengan dosis tinggi, pembasmian hutan, penangkapan ikan dan berburu secara liar, eksploitasi sumber-sumber alam secara serakah dan struggle of life antarspesies. Laju perusakan lingkungan hidup yang kian gencar terjadi di negara-negara industri baru dan negara-negara berkembang yang dipacu oleh politik pembangunan dengan sasaran mengejar ketertinggalan. Di sini saya tergoda untuk mengutip Aristoteles: ”Banyak ketidakadilan besar dilakukan oleh pihak yang secara serakah mengatasi ketertinggalan, bukan berasal dari mereka yang didorong oleh kemiskinan.” Bapak biodiversitas, EO Wilson, beragumentasi bahwa ”dengan merusak lingkungan, pada prinsipnya manusia sedang mempersiapkan kematian massal”. Yang memegang tanggung jawab untuk cerita sedih ini adalah Homo sapiens. Segalanya ada di tangan manusia, entah kita menjaga atau manghancurkan biodiversitas. Sangat eksistensial Hidup manusia tak bisa dipisahkan dari keragaman alam. Dari alam kita mendapat makanan, minuman, tempat berlindung, obat-obatan, oksigen, dan seterusnya. Biodiversitas dengan ini sangat eksistensial. Keanekaragaman hayati merupakan asuransi hidup dalam dunia yang selalu berubah. Untuk itu, perlu dijaga bukan saja keberlangsungan, tetapi juga keseimbangan hidup segala spesies. Jika satu spesies punah, spesies yang lainnya juga terancam raib. Alam ini begitu kaya, tetapi kekayaan itu perlu dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Dalam konteks ini, CBD mengimbau kebijakan politik praktis dan kerja sama internasional di bidang finansial dan teknologi demi melestarikan lingkungan hidup. Tahun Biodiversitas merupakan kesempatan emas bagi kita untuk merenungkan kembali apa yang telah kita lakukan dalam rangka langgengnya biodiversitas, di mana letak tantangan masa depan dan di mana serta bagaimana kita seharusnya bertindak. Tahun Biodiversitas juga mengingatkan kita terhadap kiat sustainable development dan mengeliminasi gaya hidup konsumtif-parasit serentak mengajak kita untuk berpikir regeneratif. Slogan lama yang diuar-uarkan oleh TVRI dengan sasaran pelestarian lingkungan hidup semasa Kabinet Pembangunan kembali terasa relevan: ”Dunia ini bukanlah milik kita, tetapi pinjaman generasi mendatang”. Penulis Swiss, Friedrich Duerrenmatt, menulis: ”Was die Zukunft bringt, wissen wir nicht, aber dass wir handeln muessen, wissen wir” (Kita tidak tahu apa yang dibawa masa depan, tetapi kita tahu bahwa kita harus bertindak). Fidelis Regi Waton Mendalami Filsafat di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman. [Kompas, 19/1/10] ---------- Pada tahun 2009 rakyat Indonesia sudah memutuskan dan sepakat (bulat) memilih wakil dan pemimpin yang ada sekarang melalui proses demokrasi yang sudah ditentukan dan diatur dengan baik oleh Negara (melalui pemilu) – tentu dengan segala tim dan perangkatnya kemudian. Sekarang rakyat ingin merasakan semangat para pemimpin pilihannya dalam berbangsa, semangat memajukan bangsa, semangat mempraktikkan kebijakan prioritas anggaran, dedikasi, kerja keras dan teladannya dalam membawa bangsa ini menuju masa depan. Periode 5 (lima) tahun bukanlah waktu yang panjang bagi bangsa untuk berjalan, namun juga bukanlah waktu yang pendek bagi bangsa Indonesia untuk terus bersama mendaki kemajuan. Semoga terang cahaya Ilahi selalu menerangi hati, jiwa dan semangat para pemimpin Indonesia saat ini. Bumi pertiwi, tanah, air dan segenap isi alam semesta pun kiranya lestari menaungi keselamatan lahir batin, akhlak moral para pemimpin negeri ini, yang akan terus berjuang bagi kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. Best Regards, Retno Kintoko Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] Sedia Bibit Ikan Patin
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3