http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010013000580545
Sabtu, 30 Januari 2010 OPINI TAJUK: Sepanjang Jalan Rusak SEHARUSNYA, mulai Januari 2010 tidak ada lagi jalan rusak. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1992 memberikan sanksi yang jelas. Dalam UU itu, Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota bisa-bisa digugat jika terjadi kecelakaan lalu lintas akibat kerusakan jalan. UU mengamanatkan agar pemerintah tidak bisa main-main lagi membiarkan jalan rusak yang dapat menjadi penyebab kecelakaan pengendara. Singkatnya, jika ada pengendara yang celaka karena jalan rusak, masyarakat dapat mengajukan gugatan hukum. Memang, peraturan pemerintah (PP) yang menjabarkan UU tersebut belum ada. Dengan kata lain, UU Nomor 22 Tahun 2009 itu belum bisa diterapkan. Kalaupun diberlakukan, pelaksanaannya bertahap. Namun itu bukan alasan membiarkan jalan rusak. Paradigma lama soal perbaikan dan perawatan jalan menunggu tender proyek APBD dan APBN, seharusnya dihilangkan. Pasalnya, kecelakaan karena jalan rusak juga tak menunggu APBN/APBD. Terlepas dari sanksi tersebut, seharusnya perbaikan jalan segera dilakukan sebelum rusak parah. Kenyataannya, hampir tak ada jalan yang diperbaiki sebelum benar-benar rusak. Itu yang memicu warga Kampung Beringin, Campangraya, Tanjungkarang Timur, marah. Kemudian memblokir Jalan Pangeran Tirtayasa dengan menabur 50 kg ikan lele di jalan yang berubah jadi kubangan, Minggu (24-1). Ini baru secuplik episode ekspresi kekecewaan masyarakat. Jika dikalkulasi, tak terhitung berapa jumlah kekecewaan masyarakat atas kerusakan jalan. Jika dirunut ke belakang, kerusakan jalan tidak berdiri sendiri. Ada faktor sebab akibat yang membingkai mengapa lubang bertebaran di jalan. Umumnya, kerusakan jalan karena faktor usia, perilaku pemakai jalan, dan alam. Kerusakan karena faktor alam tidak bisa dihindari, seperti bencana alam. Solusi dari masalah ini, sebenarnya telah ada dengan menggunakan dana taktis. Jalan rusak karena usia, seharusnya cepat diantisipasi. Kunci penyelesaiannya terletak pada perencanaan. Namun, kerusakan karena perilaku manusia, menjadi biang keladi paling banyak. Perilaku manusia baik yang terlibat pembangunan dan pemakai jalan menjadi penyebab utama jalan rusak. Kerusakan jalan sebenarnya "direncanakan" sejak awal. Bagaimana tidak, proses tender perbaikan dan perawatan jalan membuat anggaran yang sampai ke pekerjaan tak sampai 50% dari pagu anggaran. Proses dan perjalanan tender jalan kini berubah menjadi pundi-pundi oknum penyelenggara pemerintah dalam memperkaya diri. "Korupsi" juga dilakukan pemakai jalan dengan melanggar tonase. Ini terjadi karena tidak ada sanksi berat bagi pelanggar tonase. Kelebihan berat muatan kendaraan justru menjadi ajang pungutan liar. Jembatan timbang yang seharusnya berfungsi sebagai penyaring kendaraan yang kelebihan muatan, berubah menjadi alat pungli. Demikian halnya pos-pos retribusi yang ada tiap perlintasan, ikut menambah parah kerusakan jalan. Pemilik kendaraan merasa tidak bersalah melanggar batas tonase karena membayar banyak retribusi baik yang dilakukan petugas berseragam maupun tidak. Semuanya menyumbang pada kerusakan jalan. n
<<bening.gif>>