http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010013000580541

      Sabtu, 30 Januari 2010 
     

      OPINI 
     
     
     

NUANSA: Ayo Kita Demo! 


      KENAIKAN harga yang dipicu krisis ekonomi dan keuangan tahun 1997 terasa 
mencekik leher. Pemilu 29 Mei 1997 sama sekali tidak demokratis. Bagi sebagian 
kalangan justru dianggap merongrong fondasi ekonomi bangsa.

      "Buat apa menggelar pesta demokrasi, jika hasilnya tidak demokratis. 
Sistemnya harus diubah," begitu kata kawan yang berhaluan kanan.

      "Buat apa menggelar pemilu dengan biaya besar tetapi tak ada manfaat bagi 
rakyat. Pemilu ini hanya akal-akalan saja. Kalau begini, lebih baik uangnya 
dibagi-bagikan saja," kata kawan sinis, karena katanya dia berpaham sosialis.

      Banyak argumen dicekokkan kepada masyarakat. Mulai dari pemerintah yang 
tidak pernah bertindak benar. Atau, jargon "Dasar pemerintah tidak pernah 
memikirkan rakyat. Padahal dia dipilih untuk memperjuangkan rakyat". 
"Pemerintah hidup mewah, rakyat hidup susah".

      Awal bulan Februari 1998. Mahasiswa di Lampung kasak-kusuk. Timbul 
gerakan yang ditandai dengan lebih intensnya pertemuan dan diskusi membahas 
situasi politik nasional. Pada awal bulan Februari itu, selembar kertas ukuran 
folio dibagi empat, yang difotokopi dianggap cukup sebagai undangan sekaligus 
propaganda kepada mahasiswa.

      Isinya "Ayo kita demo".

      Hasilnya cukup efektif. Gelombang demonstrasi melanda kota-kota di 
pelosok negeri. Tak terkecuali di Bandar Lampung. Dari semula, demo yang 
diorganisasikan kelompok-kelompok yang di kalangan militer biasa disebut 
organisasi tanpa bentuk (OTB), kini menjadi gerakan massa.

      Semua bergerak. Massa, yang kebanyakan mahasiswa, lantang berteriak 
"reformasi!" dan "berantas korupsi!". Banyak juga yang berteriak "turunkan 
harga!".

      Puncak gerakan terjadi 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti 
yang tengah berunjuk rasa, tewas ditembus peluru. Aksi ini lalu diikuti 
gelombang kerusuhan yang melanda berbagai kota besar yang dimulai 14 Mei 1998. 
Sembilan hari kemudian, tanggal 21 Mei 1998, penguasa rezim Orde Baru, 
Soeharto, lengser dari jabatan presiden.

      Cuplikan itu menggambarkan persoalan rakyat yang hakiki menumbangkan 
kekuasaan yang sudah mengakar selama 32 tahun. Kini, kekuasaan berkali-kali 
berganti. Aksi demo, berulang-ulang terjadi. Persoalan rakyat juga datang silih 
berganti. Tetapi persoalan elite juga menanti. Persoalan elitis yang coba 
dibuat sebagai persoalan rakyat hakiki.

      Jika hanya persoalan elite, gerakan massa itu hanya akan menjadi semacam 
imunisasi kekuasaan. Aksi demo itu tak ubahnya seperti virus cacar yang sudah 
dilemahkan. Hanya sesaat kekuasaan itu demam. Sang pemegang kekuasaan akan 
mengatakan, "Ayo teruslah kalian demo. Karena ini sudah waktunya untuk 
imunisasi. Umurku baru 100 hari."

      Jadi siap-siap saja, jika sang penguasa itu kini sudah kebal terhadap 
segala macam aksi unjuk rasa. Kekuasaan itu akan mengakar dan menancap dengan 
kuatnya. Tak ada lagi alasan persoalan rakyat. Semuanya sudah disampaikan. n 
KRISTIANTO
     

<<bening.gif>>

Reply via email to