================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
PEMIKIRAN SOEDJATMOKO
Menjadi Bangsa Pembelajar
Kamis, 4 Februari 2010 | 04:30 WIB
Oleh : St SULARTO
Judul di atas dipungut dari usul Dr Karlina Supelli, yang disampaikan dalam 
diskusi buku Menjadi Bangsa Terdidik, Menurut Soedjatmoko dan buku Asia di Mata 
Soedjatmoko di Balai Soedjatmoko, Solo, 11 Januari 2010. Tampil bersama Prof Dr 
Mohtar Mas’oed, Karlina usul judul buku Menjadi Bangsa Terdidik diganti Menjadi 
Bangsa Pembelajar.
Pembelajar menekankan proses yang tidak pernah selesai, lebih dari kata 
terdidik. Orang kerap merasa sudah selesai karena sudah berpendidikan, sudah 
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Untuk pembelajar, kata Karlina, 
Soedjatmoko menggunakan kata-kata ”kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk 
belajar”, seraya menegaskan ”keharusan untuk belajar bersama terus-menerus”.
Catatan singkat ini tidak ingin mempersoalkan relevan tidaknya pemikiran 
Soedjatmoko. Itu sudah merupakan keniscayaan. Tetapi, mau menggarisbawahi usul 
Karlina. Tidak terutama menyangkut judul buku, tetapi tentang perlunya 
paradigma tidak sampai tingkat metodologi memberi tempat pada 
pemikiran-pemikiran menerobos terbang tinggi. Cara berpikir ini mungkin tidak 
langsung memberikan solusi atas persoalan aktual; melainkan lebih mengajak 
orang memiliki pemahaman mendalam, sehingga paham betul duduk soalnya, 
sementara solusi diharapkan muncul dari hasil eksplorasi persoalan.
Jagat pemikiran
Setelah satu per satu pemikir menerobos terbang tinggi meninggal dan jagat 
pemikiran didominasi pragmatisme (Peirce dan William James), semua pemikiran 
yang berkembang belakangan ini langsung menampilkan solusi, menawarkan jalan 
keluar tanpa lebih dulu mengkajinya dari berbagai dimensi dan nuansa. 
Cendekiawan dan ilmuwan Indonesia, apalagi politisi praktis, tidak jauh beda 
dari aktivis. Yang kita saksikan tak ada lagi pemikir-pemikir besar semacam 
Sartono Kartodirdjo, memungut contoh yang namanya identik dengan penganjur mesu 
bud, asketisme intelektual.
Asketisme intelektual, ya, itulah kata suci yang telah dihidupi Soedjatmoko. 
Lewat pemikiran-pemikiran yang menjebol dengan berpijak pada kemanusiaan dalam 
konteks sosialitas masyarakat manusia, ia terus-menerus belajar.
Pendidikan dalam konsep Soedjatmoko adalah ranah untuk berbagi pengalaman batin 
dengan sesama anggota masyarakat. Tidak ada satu pun persoalan bangsa yang 
lepas dari perhatian, telaah, dan tawaran jalan keluarnya. Peristiwa 1965-1966, 
ada yang mengkritik lepas dari perhatian Soedjatmoko, bagi Soedjatmoko 
menunjukkan rapuhnya struktur sosial masyarakat majemuk. Dari sana muncul 
keyakinan tentang kebutuhan mekanisme efektif bagi resolusi konflik dan 
ketangguhan sosial, tepatnya daya lenting (resilience) masyarakat. Daya lenting 
membuat sebuah bangsa bertahan bukan karena paksaan stabilitas dari luar diri, 
melainkan bersumber dari dalam dirinya.
Uraian Karlina mengingatkan sosok Soedjatmoko lewat karya-karyanya, masih 
banyak yang belum dipublikasikan dan tersimpan rapi di rumah keluarga, juga 
pertemuan-pertemuan secara fisik dalam berbagai kesempatan selagi Soedjatmoko — 
Pak Koko — masih hidup (10 Januari 1922-meninggal 21 Desember 1989).
Satu di antaranya harapan Koko terhadap peranan agama untuk mengatasi berbagai 
persoalan dunia. Tentu ini hanya salah satu proses belajar, saat ia menyaksikan 
persoalan keprihatinan yang membelit dunia. Disampaikan dalam sebuah seminar 
terbatas, di Wisma Kompas, Pacet, 1-2 September 1989.
Dalam diskusi itu Koko mengisahkan pertemuannya dengan Paus Yohanes Paulus II 
di Roma dengan topik nilai hak asasi manusia. Waktu yang disediakan 10 menit, 
tetapi pertemuan berlangsung sampai satu jam lebih. Di antaranya mereka berdua 
sepakat, para agamawan sudah lama dijajah oleh para pakar. Para pakar telah 
mendefinisikan masalah-masalah yang dihadapi, sementara yang seharusnya para 
agamawan merumuskan lebih dulu masalah dari segi moral dan baru para pakar 
memberikan jawaban. Para agamawan sendiri tidak mampu merumuskan persoalan 
hak-hak dasar manusia dan angkat tangan terhadap kemerosotan moral yang terjadi.
Apa makna sepotong kisah di atas? Koko senantiasa berpikir keras untuk kemajuan 
bangsa ini, bahkan nyaris jadi obsesi yang terlihat dari serakan warisan 
karyanya. Baginya ilmu harus bermanfaat untuk perubahan dan perbaikan hidup 
masyarakat, sama seperti yang dianjurkan Antonio Gramsci untuk sebutan 
intelektual organis. Meskipun Koko masuk dalam kategori itu, tentu simpel 
sekali kalau lantas dia dimasukkan dalam kelompok intelektual organis. Koko, 
dalam memberikan gambaran dan menawarkan jalan keluar, jauh dari maksud dan 
latar belakang sebagai penasihat pemerintah. Memang ilmu pengetahuan harus 
bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan pemikiran-pemikiran yang dijabarkannya 
dimaksudkan juga untuk kebijakan pemerintah dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Yang terlihat, pemikiran Koko bercabang-cabang, antara kepentingan individu dan 
kepentingan kolektif, antara jalan agama dan nonagama, antara rasionalitas 
nalar dan irasionalitas emosi, antara tradisi dan modernitas. Kedua entitas itu 
merupakan dua kutub sebagai realitas yang niscaya, menjadi pembatas ruang 
terbuka bagi pemikiran-pemikiran menerobos, terayun-ayun dalam sebuah irama 
yang padu untuk kemajuan masyarakat.
Dalam berpikir, Koko tidak melupakan faktor sejarah. Dia bukan seorang 
ahistoris — istilah yang kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh, antara lain, 
Arief Budiman. Realitas sejarah dia taruh sebagai bagian dari berpikir yang 
holistik, tidak sepenggal-sepenggal hanya demi kepentingan pragmatis. Meminjam 
istilah Karlina mengacu pada kebutuhan saat ini, Koko barangkali seorang sosok 
yang diharapkan oleh Daoed Joesoef sebagai ”seorang spesialis dalam konstruksi 
keseluruhan”. Koko tampil sebagai pemikir tidak hanya lewat pendekatan 
multidisiplin atau lintas disiplin, tetapi terutama pendekatan transdisiplin, 
peleburan berbagai disiplin keilmuan dalam satu pengertian untuk membentuk 
keterpaduan pendekatan mengenai suatu masalah.
Konstruksi keseluruhan 
Dalam karya-karya Koko, termasuk yang dibukukan dalam Asia di Mata Soedjatmoko, 
kata panelis Mohtar Mas’oed, terlihat politik sebagai sarana penting 
menyelesaikan persoalan publik. Politik adalah panggilan, bukan sekadar profesi 
yang hanya memerlukan kepiawaian memenangi pemilu.
Demokrasi bagi Koko adalah variabel independen bahwa kemajuan kehidupan 
materiil tidak mungkin tercapai tanpa kemerdekaan berpikir, berbalikan dengan 
pengartian umum bahwa demokrasi sebagai variabel dependen — demokrasi 
bergantung pada tingkat kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, tingkat 
pendidikan, dan stabilitas keamanan. Demokrasi bukan juga sekadar masalah 
kebijakan publik. Demokrasi memerlukan praktik politik demokratik dan itu 
memerlukan politisi.
Ya, dari sisi ini Koko juga seorang politisi. Lewat posisinya sebagai 
cendekiawan dia menawarkan solusi dengan cara mengajak setiap individu berusaha 
menemukan solusi. Ia pun ibarat seorang pendidik yang mengajak masyarakat 
berpikir tentang posisi manusia Indonesia di tengah masyarakat dunia. Karena 
itu, analisisnya selalu aktual, tidak dalam arti persoalan, tetapi dalam arti 
cara mendekati soal.
Cara berpikir demikian membuat pemikiran Koko selalu terarah untuk kebaikan 
umum, menjadi metode mendekati persoalan aktual.
Sosok Soedjatmoko tidak saja tampil ilmuwan asketis, tetapi juga ilmuwan yang 
berangkat dengan empati atas kekerdilan bangsa Indonesia. Dengan pemikiran 
seperti itulah tanpa sadar, ia tampil sebagai futurolog semacam Alfin Toffler 
dan Paul Aburdene. Jabatan dua periode sebagai Rektor Universitas PBB 
memberikan kesempatan bagi Soedjatmoko untuk mengenal manusia dan masyarakat 
manusia sebagai entitas yang harus dipahami bersama, bukan terkotak-kotak, yang 
obses bagi kemajuan bersama. [Kompas, 4/2/10].

 
---------- 
Manusia Pembelajar
Menjadi manusia pembelajar itu ibarat menanam pohon, selalu disiraminya dengan 
ketekunan dan kerja keras,  dipupuknya dengan semangat hidup, disianginya 
dengan pengetahuan dan kemuliaan Tuhan dan dialiri oleh mata air kehidupan. 
Maka ia akan tumbuh subur menjadi pohon yang berdiri kuat di atas akar 
kebijakannya, batangnya kokoh berisi kebajikan dan keindahan, rimbun daunnya 
selalu menebar kebaikan, kesegaran dan keteduhan alam seisinya, cabang 
rantingnya menjadi naungan makhluk hidup di  bumi dan di udara, dan tak pernah 
berhenti menghasilkan buah kebajikan kehidupan. Kekayaan, warisan hikmat dan 
kemuliaan terus menyertai tunas-tunas keturunan, generasi penerus, masyarakat 
dan kemajuan bangsanya.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke