============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Dusta dalam Politik
Jumat, 12 Februari 2010 | 04:15 WIB
Oleh : F Budi Hardiman
”Barangsiapa tidak menghendaki apa-apa selain mengatakan kebenaran, 
berdiri di luar pertarungan politis”.
Pernyataan Hannah Arendt dalam Wahrheit und Lüge in der Politik ini sangat 
dimengerti oleh para politikus di mana pun.
Kejujuran tidak pernah menjadi keutamaan politis. Sebaliknya, dusta selalu saja 
berlaku sebagai alat yang diizinkan dalam politik. Peristiwa-peristiwa yang 
tidak enak pada masa lalu, krisis kepemimpinan atau korupsi yang menggerogoti 
anggaran negara adalah obyek-obyek dusta para pemimpin. Untuk menutupi celah 
antara pernyataan dan kenyataannya, politikus tidak memberi kebenaran, tetapi 
pembenaran.
Dusta kuasa
Sejak politik dipikirkan, dusta dalam politik sudah mendapat alasannya. Dalam 
buku kedua The Republic, Plato membenarkan dusta demi kepentingan umum. Dusta 
kuasa berfungsi — katakanlah — sebagai obat penangkal bahaya sebagaimana dokter 
juga tidak mengatakan yang sebenarnya agar semangat hidup pasiennya tetap ada. 
Demi stabilitas negara, dalam krisis yang mengadang, berdusta kepada rakyat 
tampaknya lebih bermanfaat daripada mengatakan kebenaran. ”Dusta mulia” atau 
noble lie — demikian sebutan Plato — lalu diizinkan karena memiliki tujuan 
”mulia”.
Lebih daripada tujuan yang tampak altruis itu, dusta dalam politik sesungguhnya 
berakar pada kegelisahan pemimpin akan citra kekuasaannya yang memudar. Oleh 
karena politik terbangun dari opini, dusta memompa kembali citra diri lewat 
opini. Karena itulah, Machiavelli dalam bab 18 The Prince menobatkan dusta 
sebagai salah satu virtu, kepiawaian, politis.
Pemimpin tidak harus berbelas kasih, setia pada janji, religius, dan jujur, 
tetapi ia harus ”tampak memiliki” ciri-ciri itu karena ”setiap orang ada dalam 
posisi untuk melihat, sedikit saja yang datang menyentuhmu”. Konferensi pers 
digelar, talk show (obrolan di televisi) dirancang, dan juru bicara dikirim. 
Semakin kempis citra itu, semakin besar kebutuhan untuk menggelembungkannya 
lewat media.
Altruisme dusta mulia segera dibantah oleh kenyataan bahwa sebagian besar dusta 
kuasa itu egoistis, yakni dilakukan demi tujuan kekuasaan itu sendiri. Atribut 
”mulia” itu semu. Menurut Arendt, dusta memungkinkan seorang pemimpin 
”mengambil keuntungan untuk mengetahui lebih dulu apa yang ingin didengarkan 
oleh publiknya”. Penjelasan kepada publik dipersiapkan rapi-rapi agar publik 
percaya, sementara dia tahu bahwa segala kecohan itu hanya demi memenangkan 
publik agar tetap loyal kepadanya.
Dusta dalam politik tentu saja mencederai fairness. Pertama, publik diremehkan, 
diinfantilisasi, dan haknya untuk tahu dirampas. Kedua, dengan merancukan 
keterangan yang seharusnya diketahui publik, si pendusta menikmati posisi free 
rider: dia meraih keuntungan dari dustanya tanpa risiko untuk dibohongi juga.
Semua pendusta, termasuk yang ada dalam politik, memiliki keinginan seperti 
pihak yang ia bohongi untuk tidak dibohongi. Dusta dia reservasi bagi dirinya 
sendiri, dan ia menuntut orang lain untuk jujur. Jika demikian, dusta bukanlah 
aspirasi terdalam dari si pendusta sendiri. Dia menginginkan kejujuran. Dusta 
kuasa, sekalipun berdalih ”demi kepentingan umum”, melukai aspirasi semua orang 
akan kebenaran.
Kuasa dusta
Dalam republik normal para penipu politis tidak sanggup melawan kenyataan. 
Kenyataan selalu saja lebih besar daripada jejaring dusta yang dirajut bersama 
kroni-kroninya. Di sini dusta masih dikenali sebagai dusta. Keadaan tentu 
berbeda dalam sebuah negara dengan ”dusta terorganisasi”, seperti dalam rezim 
otoriter.
Jika demi menyelamatkan kedudukan mereka, para pemimpin berperilaku seolah-olah 
memercayai dusta orang yang di atas mereka, distingsi antara kebenaran dan 
dusta menjadi kabur. Seperti salah cetak yang dihasilkan komputer secara 
konsisten akan memberi kesan beres, dusta yang direpetisi secara sistematis 
akan dipersepsi sebagai kebenaran. Sejarah diputarbalikkan, fakta dibengkokkan, 
testimoni diatur sebelumnya, dan buku-buku kritis dilarang. Dusta kuasa yang 
lalu merongrong akal sehat publik lambat laun berubah menjadi kuasa dusta.
Politik itu sendiri sudah mendorong dusta. Mengapa? Karena politik adalah 
bisnis visi dan, seperti dikatakan Arendt, antara visi politis dan kepentingan 
diri pemimpin di satu pihak dan dusta di lain pihak terdapat hubungan yang 
erat. Dilambungkan oleh visinya sendiri, pemimpin kerap mengabaikan fakta 
lapangan yang bertentangan dengan keyakinannya. Bukankah fakta adalah obyek 
opini, dan opini berasal dari kepentingan yang berbeda-beda?
Jika demikian, opini pemimpin akan menjadi absolut ketika fakta tidak lagi 
dihargai. Terus mengkhotbahkan visinya, dia akhirnya yakin akan keyakinannya 
sendiri. Penipuan diri pemimpin ini cepat direpetisi oleh mereka yang 
menggantungkan nasib kepadanya, mulai dari lingkaran dalamnya, tetapi kemudian 
juga di luarnya jika media mereproduksi dusta itu. Karena itulah, pemimpin 
kerap mendaku suksesnya, sementara publik tidak menikmati apa pun dari hal itu.
Hanya dusta?
Jika politik hanya berisi dusta, percaya kepada pemimpin tentu adalah tindakan 
absurd. Bahwa dusta masih bisa dikenali sebagai dusta menunjukkan bahwa politik 
juga mengandung fakta. Dalam demokrasi fakta tak mengenakkan ingin dibuka 
menjadi obyek diskursus publik. Aspirasi terdalam semua orang, termasuk si 
pendusta, untuk tak dibohongi menjadi alasan untuk menelanjangi dusta kuasa.
Dalam demokrasi pun para politikus memang masih bisa berbohong, tetapi dusta di 
sini tidak berlaku sebagai sebuah prinsip. Sebaliknya, dalam situasi tersebut 
kejujuran menjadi sebuah keutamaan politis. Dalam arti ini, meski politik 
merupakan arena dusta, kejujuran harus masuk ke dalamnya sebagai desakan dalam 
ruang publik karena tidak ada jalan lain untuk mengubah selain lewat politik.
Pertama, karena memasuki pertarungan politis, desakan untuk jujur itu sendiri 
berciri politis, juga membawa trik dan taktik. Begitu kejujuran masuk dalam 
arena politis, ia akan kehilangan spontanitasnya dan mengambil posisi politis 
yang rentan untuk dipalsukan. Namun, desakan untuk jujur itu sendiri akan 
merangsang partai-partai yang berlawanan untuk saling menyingkap dusta asal 
tersedia arena yang fair untuk mereka. Proses ini menguntungkan publik untuk 
mengakses kebenaran.
Kedua, ruang publik itu sendiri tidak bersih dusta dan manipulasi karena 
distorsi kuasa ada di dalamnya, tetapi — seperti ditegaskan Habermas — 
pemeriksaan diskursif atas kebijakan publik akan meningkatkan transparansi 
karena hanya opini yang menebus klaim kebenaran, ketepatan, dan kejujuranlah 
yang dapat dipercaya. Publik akan diuntungkan untuk mengakses kebenaran bila 
pihak-pihak yang bertarung berkompetisi untuk mendesakkan kejujuran. Ketiga, 
desakan untuk jujur tidak cukup berciri moral; ia harus masuk ke ranah hukum 
sebagai tuntutan transparansi kepada publik.
Sissela Bok dalam Lying mengatakan bahwa ”semua kebenaran” berada di luar 
jangkauan, tetapi hal itu tidak berkaitan dengan pilihan kita apakah kita 
berdusta atau tidak. Pilihan itu sedikit banyak berkaitan dengan keadaan mana 
yang lebih menguntungkan kita. Jika negara hukum demokratis mampu mendesak para 
pemimpin untuk jujur sehingga berdusta tidak akan menguntungkan posisi mereka, 
sekalipun tidak dapat dilenyapkan, dusta dalam politik dapat dibatasi.
Kata ”dibatasi” sengaja dipilih karena rezim yang hendak melenyapkan semua 
kemungkinan dusta dapat terjebak dalam kebijakan totaliter yang mengintervensi 
ruang privat dengan sistem pendeteksi bohong. Di dalam ”fanatisme kebenaran” 
itu kejujuran ada sebagai paksaan. Jadi, biarkan dusta tetap sebagai 
kemungkinan, maka kejujuran pun mungkin sebagai keutamaan.
F Budi Hardiman Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara Jakarta, [Kompas, 
11/2/10]. 
---------- 
Tindakan jujur atau dusta adalah suatu pilihan penting untuk kelangsungan 
kehidupan manusia, apalagi bagi seorang pemimpin dan yang dipimpinnya – pada 
level apapun. Karena di situlah ukuran kebesaran seseorang dalam 
kepemimpinannya diuji. Maka kemudian kita bisa menengok kepada berbagai 
pemimpin di dunia maupun di Indonesia sendiri, yaitu; ada pemimpin besar, ada 
pemimpin besar kita, ada pemimpin yang benar-benar besar, ada pula yang 
kelihatannya besar, ada pemimpin walau kecil tapi pikirannya besar, atau ada 
pemimpin yang sebentar saja besar... atau malah sampai-sampai setelah diteliti 
dengan seksama, ternyata perutnya saja yang benar-benar besar. 
Ada pula yang hidungnya panjang, atau semakin hari hidungnya semakin panjang 
saja, hingga seperti gajah kalau sedang mandi, pakai belalai... Semua itu 
dimulai dengan memengang teguh satu diantara dua pilihan di atas, yaitu antara 
jujur atau dusta. Biasanya pemimpin akan memegang erat salah satu pilihannya... 
dan di kemudian hari, pada akhirnya nanti, kita semua akan maklum melihat 
semuanya dari biji buah pilihan yang ditanamnya itu - apakah dusta atau 
kejujuran yang dipegangnya erat sebagai panglimanya.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke