Refleksi: Tak akan bisa dibesarkan, sebab selalu dikerdilkan oleh para bandit 
penguasa penerus masa silam kegelapan.

http://www.antaranews.com/kolom/?i=1264073631

Kok Bangsa Ini Tak Besar-besar?
Kamis, 21 Januari 2010 18:33 WIB | | Dibaca 8147 kali
Alfan Alfian
Bung, baru kemarin ya dapat buku itu. Buku yang sering disebut-sebut Pak mantan 
ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie itu lho. Itu tu, bukunya 
Profesor Arysio Santos yang cukup menghebohkan, membuat kita merasa gimana 
gitu. 

Judulnya cukup provokatif, "Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The 
Definitive Localization of Plato's Lost Civilization". Yang mengejutkan dari 
temuan Prof. Santos, yang Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil itu mencatat 
temuan yang mengejutkan, bahwa Indonesia ini ternyata merupakan tempat lahirnya 
peradaban besar dunia, sebagaimana pernah disebut-sebut oleh Plato, yakni 
peradaban Atlantis yang hilang. 

Hehe, aku tahu, kelihatannya Bung akan langsung nyeletuk, "kalau kita bangsa 
besar, tempat peradaban besar pernah singgah, lantas mau apa?" Mau bangkit? 
Bangkit apa? Bukankah kita sudah lama jadi the sleeping giant? Bahwa kita 
bangsa yang besar, ya. Luas. Kaya. 

Koes Plus menggambarkannya ke dalam bait-bait berjilid-jilid lagu Nusantara. 
Tapi, realitasnya kita sekarang kalah jauh lho dibanding banyak negeri lain. 
Ini bangsa yang bongsor, seperti kisah Gulliver, yang tertawan oleh 
kurcaci-kurcaci entah siapa (coba hayo siapa?).

Bung, ingat nggak kegelisahan Mohammad Hatta tempo dulu? Itu lho yang soal 
kutipannya dari penyair Jerman Friedrich von Schiller, "Sebuah abad besar telah 
lahir. Tetapi, ia menemukan generasi yang kerdil." 

Maksudku begini Bung, aku kira itu merupakan peringatan bagi kita, sejak 
Indonesia diproklamasikan sebagai negara-bangsa modern: kita ini bangsa yang 
mestinya besar lho, makanya kita juga harus siap untuk menjadi "manusia-manusia 
besar", bukan "manusia-manusia kerdil". Bukan besar atau kerdil dalam arti 
fisik lho ya. Tapi mindset kita Bung.
 
Seorang pengarang berkaliber internasional berkewarganegaraan Singapura, Bung, 
pernah menyentil melalui makalah seminarnya, yang kemudian menjadi judul 
bukunya, "Can Asian Think?" Mengapa kita yang di Asia ini "kalah jauh" dengan 
bangsa-bangsa Barat, kecuali beberapa, tanya Kishore Mahbubani, sang pengarang 
buku itu? 

Mengapa hanya Jepang yang dicatat mampu menandingi kelas pencapaian peradaban 
Barat? Pikir Bung apa kira-kira. Apakah betul kita, "orang Asia" ini "tak dapat 
berpikir"? Wabil khusus Bung, apakah bangsa ini, "tak mampu berpikir"?

Maaf bung kalau pertanyaan yang terakhir itu terkesan ekstrim. Jelas kita bisa 
berpikir. Kalau tidak, mana mungkin para pejuang pergerakan nasional kita tempo 
dulu mampu merekonstruksi jajahan Hindia-Belanda ini dimerdekakan sebagai 
Indonesia. 

Pembangunan identitas kebangsaan itu, sesuatu yang luar biasa lho Bung. Jangan 
lupa itu. Bolehlah kita catat lagi di sini nasihat Bung Karno agar setelah 
merdeka nation and character building terus dilanjutkan. 

Itu merupakan proses yang abadi, yang harus kita lanjutkan terus-menerus 
sebagai kaum Nasionalis. Semua kita Nasionalis kok, mudah-mudahan. Kata-kata 
Nasionalis, sebaiknya nggak usah dipolitisasi Bung, tak harus 
diperhadap-hadapkan dengan kelompok agama, misalnya.

Lho, kita ini kan negara Pancasila Bung. Menurut Almarhum Gus Dur, Pancasila 
itu merupakan suatu konsensus nasional kita, suatu karya agung para pendiri 
bangsa ini. Bagi sebuah bangsa yang plural ini, pancasila itu karya agung lho. 

Dunia mengakuinya. "Bhinneka Tunggal Ika" itu kan mirip dengan semboyan bangsa 
Amerika "E Pluribus Unum". Tapi beda lho Bung. Kita "berbeda-beda, tetapi tetap 
satu", bahwa keberbedaan kita tak usah dipaksa-paksa untuk dihomogenkan. Kalau 
"E Pluribus Unum" itu harfiah artinya "dari banyak menjadi satu". 

Kita pernah punya pengalaman Bung, ketika Pancasila menjadi sesuatu yang 
menakutkan, karena seringnya dipakai sebagai "palu Godam kekuasaan". Zaman Orde 
Baru itu lho Bung. Maksudnya baik sih. Tetapi proyek homogenisasi dan 
penafsiran secara tunggal, telah memunculkan celah yang lebar bagi pelanggengan 
kekuasaan rezim. 

Saya ingat Bung salah satu bait sajaknya Cak Nun tempo dulu, dalam kumpulan 
puisinya berjudul "Sesobek Buku Harian Indonesia" (1993), bahwa, "Kalau negara 
mau kuat, maka rakyat harus dilemahkan".

Rumus baku demikian, tentu sudah tidak lagi berlaku ya Bung pada era reformasi 
ini. Atau, bermutasi ke dalam bentuk lain? Misalnya, "Kalau mau berkuasa dan 
bertahan di dalam kekuasaan, maka rakyat harus dibodohkan", begitukah? 

Peninabobokan daya kritis rakyat itu, bukankah tak bagus bagi upaya membangun 
kembali peradaban besar kita Bung? Bukankah membangun peradaban Indonesia 
mempersyaratkan kecerdasan sumberdaya manusia, yang notabene kecerdasan 
rakyatnya?

Apakah politik itu sama dengan membodohi rakyat Bung? Bukankah politik itu 
seharusnya mencerdaskan rakyat?

Dan Bung, ini yang terakhir Bung, sebelum surat elektronik ini saya tutup, 
apakah kita ini memang masih menyimpan "mentalitas inlander" alias bermental 
kuli, sebagaimana pernah disinyalir pahlwan kita Sutan Sjahrir? Boleh dijawab, 
boleh tidak Bung. 

Anggap saja ini hanya intermezo, tidak ada maksud untuk mempidatoi Anda Bung. 
Aku kira ini hanya surat biasa. Aku sedang belajar mengarang Bung. Semoga enak 
dibaca dan perlu, hehe.

BTW, di Eropa lagi musim apa? Di Pasar Minggu lagi musim pepaya, mangga, pisang 
jambu lho (hehe, ingat Bing Slemet ya).

Salam. D. Pakir, sahabatmu. Menulis dari "pinggiran Kali Bekasi" (jadi ingat 
almarhum Pram ya?).

NB. Kok bangsa ini rasanya nggak besar-besar (bukan bangsanya Bung, tapi 
manusianya). (***)

Alfan Alfian adalah Dosen di Universitas Nasional, Jakarta.

Reply via email to