Refleksi : Tak terhitung keburukan NKRI bagi kehidupan warga mayoritas nan miskin atau berpendapatan rendah, sebab selama 60 tahun lebih yang disebut merdeka-merdeka tidak ada perbaikan mendasar untuk meningkatkan kehidupan rakyat miskin dari berkehidupan buruk menjadi baik dan lebih baik lagi sekalipun negeri penuh dengan kelimpahan kekayaan alam yang diolah. Sesuai servey yang baru-bau ini diumumkan terdapat 1,7 juta pekerja anak, angka ini mungkin masih rendah. Contoh lain ialah, ratusan ribu wanita harus meninggalkan keluarga pergi merantau mencari nafkah di tanah orang dengan tidak kepastian bahwa tidak akan bercucuran air mata. Padahal sesuai aturan agama mayoritas dikatakan orang-laki atau suami bertangung memberi nafkah kepada isteri. Sekalipun juga sesuai konstitusi yang dipuja-puja bahwa negara bertanggung jawab terhadap kehidupan fakir miskin. Apakah masyarakat dininabobokan ke alam fatamorgana oleh penguasa negara?
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=9e57be5389ed6ba4e95ec7bdd5ff9f2f&jenis=b706835de79a2b4e80506f5 82af3676a Eka, Ramdan, Fikri Berharap Nasib Sebaik Bilqis Jumat, 12 Februari 2010 | 13:08 WIB Oleh: Anas Bahtiar - Reny Mardiningsih WAJAH pucat Eka akan membuat siapa pun merasa iba. Kedua bola mata yang biasanya membuat gemas, kini menguning. Tak hanya itu, hampir seluruh kulitnya juga menguning. "Biasanya, setiap malam tiba Eka pasti terbangun. Ada gata-gatal seperti biduren di tubuhnya, itu yang mungkin membuat dia sulit tidur," ujar Sunarti sambil menimang-nimang Eka dalam gendongannya di RSSA. Sebenarnya, dominannya warna kuning di tubuh Eka sudah terlihat sejak lahir. Warna ini sempat menghilang setelah Eka dibawa berobat ke rumah sakit. Namun tak sampai seminggu tampak sehat, Eka kembali kambuh. Sunarti ingat betul perawat sudah pernah memberitahunya bahwa Eka mengalami gangguan pada saluran empedunya. Setelah ramai-ramai liputan terhadap Bilqis Anindya Passa, penderita atresia bilier asal Jakarta, sunarti makin paham apa yang diderita anaknya. Merasa sudah pernah berobat ke dokter dan tidak sembuh, Solihin dan Sunarti ganti melirik pengobatan alternatif. Dua tabib di daerah Lawang dan Kromengan, Kabupaten Malang mereka datangi. "Berkat jamu dari tabib, Eka sempat sembuh," kata Sunarti, Jumat (12/2). Sayang, lagi-lagi kondisi membahagiakan itu tak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian tubuh Eka kembali menguning. Sejak itu, puluhan ahli sudah pengobatan alternatif dijalani bayi malang itu. "Biaya yang kami keluarkan tidak sedikit. Malah ada tabib yang biaya pengobatannya mencapai Rp 600.000 sekali berobat," kata Sunarti. Pengobatan bagi Eka bukanlah beban ringan bagi Solihin dan Sunarti. Pekerjaan Solihin sebagai buruh tani biasa tak menghasilkan banyak uang. "Biaya yang selama ini kami keluarkan pun banyak dibantu kerabat dan teman," kata Solihin. "Semoga kali ini biayanya (perawatan di RSSA, Red.) bisa gratis," harapnya. Meski tidak semasif bantuan bagi Bilqis, Eka dan kedua orangtuanya kini bisa sedikit berharap. Mulai banyak orang merasa iba pada Eka dan melakukan gerakan menolongnya. Puluhan jurnalis di Kota Malang, misalnya, mengadakan pengumpulan dana bagi pengobatan Eka. Hasil aksi spontanitas ini langsung diberikan kepada orangtua Eka di RSSA. "Kami tergerak untuk melakukan ini sekaligus untuk memperingati hari pers nasional. Jadi yang dilakukan teman-teman adalah aksi spontanitas ketika mengetahui Eka Putra Prasetya dirujuk ke RSSA Malang," ujar Eko Nurcahyo, ketua PWI Malang yang mengkoordinasi aksi simpati. Dengan membawa dua kotak sumbangan dan beberapa lembar poster berisi ajakan bersimpati untuk Eka, para jurnalis ini berkeliling intansi pemerintah dan swasta. Kantor DPRD Kota Malang dan Balaikota tak luput jadi sasaran. Selain wartawan di Malang, sumbangan bagi Eka juga digalang komunitas pembaca media online detik.com. Hingga kemarin mereka sudah mengumpulkan Rp 8,726 juta. Sumbangan ditunggu hingga Selasa (16/2). "Keesokan harinya akan kami serahkan ke orangtua Eka Putra," kata Achmad Lutfi, koordinator aksi. Warga Desa Clumprit, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang ini sempat kaget dan terharu ketika ditemui para jurnalis yang menyerahkan dana bantuan. Meski memiliki kesamaan ciri fisik dengan Bilqis, namun penyakit pasti yang diderita Eka belum diketahui. ''Kami masih harus melakukan observasi lengkap, termasuk serangkaian pemeriksaan laboratorium dan foto. Untuk itu rumah sakit belum bisa menentukan jenis penyakit yang diderita Eka," ujar Ahmad Baroghis, Kepala Humas RSSA. Eka digolongkan kandidat operasi cangkok hati. Pasalnya, usia Eka sudah 18 bulan. Idealnya, operasi dilakukan sebelum usia 3 tahun. Lebih cepat lebih baik. Eka adalah balita kesekian yang diduga menderita atresia bilier. Para penderita kelainan empedu ini menyeruak ke permukaan berkat kegigihan keluarga Bilqis dalam mencari bantuan bagi transplantasi hati, satu langkah medis yang diyakini bisa menyembuhkan penyakit ini. Bilqis, balita asal Kramat Sentiong, Jakarta, kini sudah mendapat banyak bantuan. Selain Kementerian Kesehatan yang berjanji menanggung biaya cangkok hatinya di RS Kariadi, Semarang, Bilqis juga masih memiliki cadangan sumber dana lain. Sumber dana ini tak lain adalah sumbangan masyarakat yang didapat melalui gerakan Koin Cinta Bilqis (KCB). Gerakan yang meniru Koin Peduli Prita ini sudah mengumpulkan dana sekitar Rp 1,5 miliar. Dana itu merupakan akumulasi dari bantuan langsung berupa uang tunai hingga dana di rekening KCB. Selain Bilqis dan Eka, ada juga pasien atresia bilier lainnya. Salah satunya Ramdan asal Trenggalek. Dia sudah dijadwalkan menjalani operasi di RSUd dr Soetomo Surabaya bulan depan. "Kondisi Ramdan saat ini sudah siap untuk menjalani operasi. Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Kondisi hati pendonor kami nyatakan sehat dan cocok dengan penerimanyam" kata dr Poerwadi SpBA, dokter spesialis bedah anak RSUD dr Soetomo Donor Ramdan berasal dari ibunya sendiri. Selama kondisi ibu tetap sehat, seperti tekanan darah dan lainnya stabil, operasi bisa dilakukan. Pihak rumah sakit juga sudah siap melakukan operasi cangkok hati dengan sekitar 90 persen peralatan sudah tersedia. Tenaga medis yang akan menangani operasi juga sudah siap. Tim dokter terdiri dari 11 orang, meliputi dokter spesialis anestesi, spesialis bedah untuk donor dan penerima, serta dokter spesialis untuk perawatan intensif. Semua tenaga medis sudah diberangkatkan ke China untuk menimba ilmu mengenai operasi cangkok hati, termasuk perawat yang nanti terlibat dalam operasi. Nasib kurang beruntung dialami Abdulah Ichsanul Fikri. Bayi berusia 19 bulan ini malah hanya dirawat seadanya di rumah. Sejak usia 2 bulan, mata dan kulitnya menguning dan perutnya buncit. Sama seperti Eka, keterbatasan dana orangtuanya membuat Fikri hanya mendapatkan pengobatan alternatif. Setelah parah, dia dirujuk ke RSCM Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Orangtuanya yang berasal dari Desa Banteran, Sumbang, Banyumas, Jawa Tegah mengharap ada yang memberi bantuan pada mereka. Fikri dibawa ke Lembaga Kesehatan Cuma-cuma (LKC) di Jakarta untuk dirawat. Melihat banyaknya pasien yang butuh pertolongan ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap pemerintah terlambat bertindak. Peneliti senior ICW, Febri Hendri mengatakan ICW kecewa melihat kinerja pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan yang baru bergerak setelah masyarakat menggalang bantuan. Kasus Bilqis adalah cermin utamanya. Kementerian Kesehatan baru mengeluarkan pernyataan menggratiskan biaya operasi Bilqis setelah masyarakat menggalang dana melalui KCB. "Kasus Bilqis menunjukkan dua hal. Pertama, masih adanya solidaritas masyarakat dengan mengumpulkan dana melalui program Koin Cinta Bilqis. Kedua, kurangnya kinerja pemerintah," katanya. Febri berharap pemerintah dan Kementerian Kesehatan membangun jaringan dengan rumah sakit-rumah sakit sehingga saat ada masalah seperti Bilqis, pihak rumah sakit bisa langsung berhubungan dengan Kementerian Kesehatan. "Jangan mengombang-ambingkan masyarakat tentang masalah pembiayaan seperti ini," katanya.
<<b357398311542034beb7ce41a284512a.jpg>>