Refleksi : Masalah utama ialah penyediaan air bersih dalam jumlah adekwat  
untuk kepentingan penduduk dan keperluan industri tidak dilakukan oleh kota 
praraja (pemerintah), begitupun kanalisasi serta pembersihan air (water 
treatment facilities) tidak ada atau sangat terbatas. 

Hal ini bukan saja di Jakarta, tetapi di berbagai kota di seluruh pelosok NKRI. 
Pemerintah, gubernur serta walikota silih berganti selama berdirinya NKRI, 
tetapi hal ini tidak dilakukan. 


http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/06/21/120857-rusak-lingkungan-bisnis-binatu-dinilai-tak-layak-ada-di-jakarta

Rusak Lingkungan, Bisnis Binatu Dinilai tak Layak Ada di Jakarta

Senin, 21 Juni 2010, 12:50 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bisnis laundry atau binatu oleh pengamat lingkungan 
hidup dinilai tak seharusnya didirikan di Jakarta. Kepala Subdirektorat 
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa, Kantor Lingkungan Hidup, Jakarta Barat, 
Dulles Manurung, Senin (21/6) menyatakan bisnis cuci pakaian itu banyak yang 
bermasalah. 

"Tutup semua binatu di Jakarta," ujarnya. Ia menyebut bisnis tersebut menjadi 
satu penyebab terjadinya pencemaran air tanah hingga penurunan muka air tanah.

Air yang disedot diperkirakan mencapai sekitar 8 ribu hingga 10 ribu meter 
kubik per hari. Hilangnya air tanah menimbulkan penurunan muka air tanah se-DKI 
Jakarta, yang saat ini sudah mencapai 12-82 cm. Tak hanya itu, sudah sekitar 94 
persen air di Jakarta tercemar akibat bisnis itu.

Seharusnya, ujar Dulles, pengusaha binatu memperhatikan tiga faktor yakni 
penggunaan air tanah, limbah cair, dan limbah udara," ujarnya. Kalau ternyata 
ada yang tidak memenuhi syarat akan diberikan surat peringatan agar memperbaiki 
baku mutu limbah cairnya. "Kalau masih juga membandel akan dilanjutkan ke 
proses hukum," ujarnya. 

Salah satu contoh lokasi binatu yang bermasalah adalah di daerah Sukabumi 
Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Daerah ini memang menjadi sentral tempat 
usaha binatu. Bukan hanya konveksi yang memanfaatkan jasa binatu di Sukabumi 
Selatan, melainkan dari wilayah lain seperti Bogor, Banten, hingga Bandung. 

Menurut Dulles, untuk menangani pencucian dari konveksi, paling-paling hanya 
membutuhkan 8-10 binatu. "Permintaan dari luar kota itu yang membuat bisnis 
binatu di Sukabumi Selatan menjamur," ujarnya. Jasa binatu di Sukabumi Selatan 
diminati karena harganya yang murah karena sebagian besar dari mereka 
menggunakan air tanah sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya.

Namun, itulah yang membuat kualitas dan kuantitas air tanah warga menjadi 
menurun. "Seharusnya binatu menggunakan air tanah dalam yang salurannya berbeda 
dengan air tanah untuk warga," ujarnya. Secara teori, lanjutnya, tidak mungkin 
air tanah warga menjadi kering. ***

Namun, ternyata tak sedikit binatu yang membandel. "Sekitar 12 binatu yang 
ketahuan tidak menggunakan air tanah dalam," katanya. Akibatnya, air tanah 
warga pun tersedot.  Padahal, 47 persen warga Jakarta masih mengandalkan air 
tanah meskipun, kondisinya sudah tidak layak dipakai. 

Perusahaan binatu yang membandel dapat dikenakan Pasal 54 Peraturan Daerah 
Nomor l0 Tahun 2010. Dalam aturan itu, setiap pengambilan air tanah untuk 
industri tanpa izin tertulis gubernur dapat dikenai sanksi berupa penghentian 
sementara usaha dan membayar biaya perkara

Terkait penurunan debit air tanah dan pencemaran air akibat limbang binatu, 
beberapa keluhan sudah sering disampaikan warga di Sukabumi Selatan. 
Kamaluddin, warga Rt 08 Rw 08 mengatakan usaha binatu banyak menyedot air 
hingga kering dan air yang tersedot bisa mencapai radius ratusan meter dari 
tempat usaha. 

Hal senada juga diungkapkan Ahmad Makhsuti. Ia mengatakan obat-obatan binatu 
membuat air berubah warna dan berbau. 

Reply via email to