http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=255730

Menghargai Pahlawan Devisa
Oleh Haryono Suyono 


Senin, 21 Juni 2010

Minggu lalu, kami mengikuti konferensi tentang kesejahteraan dan pembangunan 
sosial dunia di Hong Kong. Ikut dalam rombongan kami adalah Tjuk Kasturi 
Sukiadi sebagai Ketua DNIKS sekaligus Ketua BK3S Jatim, M Soedarmadi (Direktur 
Eksekutif Damandiri), Rohadi Haryanto (Sekjen DNIKS), dan Mulyono Daniprawiro 
(pejabat senior Damandiri). Waktu itu kami menyempatkan diri bertemu beberapa 
TKI yang meninggalkan keluarganya untuk berjuang membangun keluarga sejahtera 
melalui perjuangan yang berat bekerja di banyak keluarga di Hong Kong. 

Menjelang Hari Keluarga Nasional 2010, akhir bulan ini, tidak ada salahnya kita 
menghargai perjuangan mereka yang gigih. Ini penting agar kita bisa bekerja 
keras membentuk dan mengirimkan tenaga kerja profesional dengan harapan imbalan 
jasa yang lebih gemilang pada masa-masa mendatang. 

Rasanya kita juga perlu menghargai perjuangan mereka. Sebab, dengan latar 
belakang yang profesional dan didukung fasilitas yang baik, para pekerja 
Indonesia umumnya bisa menempatkan diri ketika bekerja di Hong Kong. Mereka pun 
mampu mendapatkan penghasilan yang cukup lumayan. Bahkan tidak kalah jumlahnya 
dengan penghasilan pensiunan seorang menko senior di republik ini. 

Dari kesan pertemuan sekilas dengan mereka, yang kemudian dilanjutkan dengan 
mengikuti gerakan mereka di lapangan, pada umumnya para pekerja Indonesia di 
Hong Kong cukup bahagia. Mereka bekerja selama enam hari dalam satu minggu 
dengan kesempatan libur sehari bagi setiap pekerja rumah tangga. Waktu libur 
sehari itu bebas digunakan menurut kemauan sendiri. Apabila beruntung 
mendapatkan majikan yang baik, mereka boleh memilih hari liburnya pada hari 
Sabtu atau Minggu melalui kesepakatan. Pada hari libur itulah, setiap pekerja 
diizinkan berjalan-jalan layaknya seorang "tuan besar" dengan pilihan acara 
yang beraneka ragam. 

Salah satu acara yang dirancang dengan tiket yang dipesan jauh-jauh hari dan 
terjadi pada saat kunjungan kami ke Hong Kong minggu lalu adalah konser 
penyanyi kondang dari Jakarta. Tiket untuk acara ini harus dipesan jauh hari 
karena ternyata kami masih menemui beberapa pejuang devisa yang kecewa karena 
kehabisan tiket dan terpaksa menikmati hari liburnya dengan makan enak di suatu 
restoran di pusat pertokoan, layaknya seorang pegawai swasta menengah dan 
tinggi dari Jakarta. 

Untuk makan-makan tersebut, dengan alat komunikasi hp canggihnya, mereka 
mengajak teman-temannya berjalan bersama, mengarungi lautan ke pusat pertokoan 
dengan nyaman. Gaya pakaiannya tidak kalah dengan gadis-gadis modern di 
Jakarta, Surabaya atau Semarang. Kita pasti tidak mengira bahwa mereka adalah 
pembantu rumah tangga. Di tangan mereka ditenteng tas modern dan sebuah payung 
karena pada waktu ini Hong Kong, seperti juga Jakarta, Surabaya, dan Semarang, 
masih diguyur hujan sesuai dengan prediksi yang mereka ikuti di televisi atau 
radio. 

Tiga orang pembantu rumah tangga, sebut saja Darmi, Warsilah, dan Wati, sudah 
lebih dua tahun tinggal pada keluarga di Hong Kong. Pada hari Sabtu itu mereka 
libur dan tidak kebagian tiket sehingga harus menghabiskan hari liburnya untuk 
berbelanja sekaligus window shopping ke pusat pertokoan di kota. Mereka sengaja 
bepergian bertiga agar bisa mengadakan "perundingan" sebelum mengambil 
keputusan final. Apabila tiba waktunya makan siang, mereka bisa memilih makanan 
dengan kenikmatan yang lebih ketimbang pergi sendirian yang pasti harus dengan 
pilihan terbatas. Pilihan belanja tersebut memberi opsi yang lebih luas karena 
bisa saja mereka belanja tanpa harus melihat barangnya. 

Salah satu opsi belanja tanpa susah-susah menenteng barang ini dilakukan juga 
di antara para pejuang devisa tersebut. Salah seorang pejuang yang kami temui 
bernama Nanik, yang karena memiliki majikan yang baik memperoleh kesempatan 
menawarkan barang-barang yang pembelinya tidak usah melihatnya. Nanik, yang 
sudah lebih lima tahun bermukim sebagai pekerja di Hong Kong, setiap liburan 
berubah menjadi agen antar pembantu menawarkan aneka ragam barang yang bisa 
dipesan, dibayar dengan cara cicilan, dan barang pesanannya langsung diantar 
dari Surabaya ke alamat masing-masing di seluruh Indonesia tanpa cacat. 

Pekerjaan ini memberi keuntungan yang sangat tinggi sehingga Nanik bisa 
mengirim kepada orangtua, suami, dan anak-anaknya di Tanah Air layaknya seorang 
kaya yang bingung membelanjakan uangnya. Nanik dan keluarganya sudah mempunyai 
rumah, sawah yang diolah oleh suami dan keluarganya dengan baik. 

Seperti juga Nanik, ada juga seorang senior lain bernama Yati yang konon 
menurut ceritanya sudah berada di Hong Kong lebih tujuh tahun. Yati sudah 
berhasil mengirim suaminya ke Korea karena pergaulannya di Hong Kong yang 
sangat maju. Yati sudah tidak lagi kelihatan seperti pembantu rumah tangga. Dia 
sekaligus adalah supervisor di antara para pembantu yang dengan cekatan 
mengatur teman-temannya yang akan pulang karena sudah terminated, alias masa 
kontraknya habis. 

Menurut penuturannya, seorang yang sudah habis masa kontraknya bisa kembali 
bekerja di Hong Kong kalau memperoleh visa untuk kembali dengan tanggungan 
keluarga di Hong Kong. Karena itu, Yati menjadi semacam konsultan untuk 
mengurus surat-surat bekerja sama dengan agen di Hong Kong dan di Tanah Air. 
Yati juga mencarikan calon majikan atau mengatur majikan mana dan kapan majikan 
itu menjadi penanggung untuk mengurus pengiriman pembantu yang dimaksud kembali 
ke Hong Kong. 

Karena pekerjaannya itu, maka setiap kali Yati pergi ke bandara mengantar 
kliennya serta meyakinkan majikan yang membutuhkan. Majikan yang butuh tenaga 
itu bisa juga ikut ke bandara untuk meyakinkan bahwa kebutuhannya serius dengan 
harapan petugas yang disayanginya betul-betul kembali ke Hong Kong. Yati yang 
konsultan itu dengan fasih, layaknya seorang diplomat, bicara dengan calon 
majikan yang dimaksud dalam bahasa Mandarin yang lancar dengan gelak tawa yang 
meyakinkan. 

Pada Hari Keluarga Nasional Ke-17, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-65 
Repulik Indonesia, patut kita renungkan alangkah indahnya kalau keluarga 
Indonesia dilatih menjadi pekerja profesional dengan sungguh-sungguh agar 
kesejahteraan dan kehormatan mereka di rantau terjamin dan harga diri bangsa 
tetap dipertahankan sebagai bangsa yang bekerja keras, tetapi tetap terhormat. 
Dirgahayu keluarga Indonesia. *** 

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) 

Reply via email to