Refleksi : Ini namanya senang-senang kelezatan jasmaniah terdahulu dan sakit-sakitan kehidupan di kemudaian hari.
Beberpa tahun silam waktu lagi istirahat minum kopi bersama seorang seorang teman , kami ditanya mengapa di negeri kami terlaku banyak anak diharirkan. Serentak komentar yang kami utarakan bahwa listrik tidak ada, kalau ada pun sering mati, tidak ada TV, tidak ada teater. Tidak ada entertaimen umum pada malam hari. Mau keluar rumah pun takut diterkam bandit atau binatang buas, jadi setelah mati hari turun orang terpaksa harus tidur atau berguling-gulingan di ranjang, jadi itu hasil banyak babies. Makin sering listrik mati makin cepat penduduk bertambah banyak. Bagi rezim berkuasa NKRI dan para pundukung langit, pertumbuhan penduduk yang cepat yang sering dikejutkan dengan istilah "demographic explosion" adalah hal yang menggembira karena makin banyak pahlawan devisa makin baik untuk menyehatkan dan menambah cadangkan devisa pada kas negara. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/07/154204/70/13/Jumlah-Penduduk-kian-Mengerikan Jumlah Penduduk kian Mengerikan Kamis, 08 Juli 2010 00:01 WIB SALAH satu ancaman yang kian nyata, tapi diabaikan bangsa ini, ialah ledakan penduduk. Sensus Penduduk 2010 yang hampir seluruh datanya sudah masuk menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 238 juta jiwa. Padahal, perkiraan sebelumnya menyebutkan jumlah penduduk Indonesia 2010 sekitar 234 juta orang. Itu berarti terjadi kelebihan penduduk dari perkiraan hingga 4 juta orang. Dengan demikian, dalam kurun sepuluh tahun terakhir jumlah anak bangsa bertambah sekitar 35 juta orang. Atau, saban tahun, pertambahan penduduk Indonesia setara dengan jumlah penduduk Singapura. Jika pertumbuhan penduduk itu gagal dikendalikan, pada 2100 bukan tidak mungkin jumlah orang yang mendiami negeri ini mencapai 1 miliar. Yang lebih mengerikan lagi, 60% penduduk kita berada di Pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari total luas Indonesia. Komposisi tersebut tidak berubah jika dibandingkan dengan kondisi 40 tahun lalu. Kenyataan itu menunjukkan absennya negara dalam menyusun desain besar pemerataan penduduk. Padahal, dari desain itulah peta kependudukan dan kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan bisa dirancang. Problem lainnya yang memicu bahwa jumlah penduduk merupakan ancaman ialah masih rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia. Data UNDP pada 2009 menunjukkan peringkat IPM kita masih di posisi 111 dari 182 negara. Di Asia Tenggara, kita tercecer di peringkat keenam. Namun, ancaman itu belum ditanggapi secara serius oleh negara. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang kini namanya diganti menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bak anak yatim piatu yang tidak jelas menginduk ke mana. Padahal, pada era Orde Baru, BKKBN merupakan institusi bergengsi yang memimpin kementerian kependudukan. Tapi kini, di era otonomi daerah, sudah kementeriannya dihapus, di daerah pun BKKBN tidak punya kaki. Soal kependudukan belum menjadi isu utama kampanye kepala daerah, calon kepala daerah, calon legislatif, bahkan calon presiden. Semuanya belum meletakkan kependudukan sebagai ancaman nyata. Ia masih dilihat semacam ilusi yang dilebih-lebihkan. Padahal, problem turunan dari ledakan penduduk ini tak kalah seriusnya. Sekarang saja jumlah penduduk miskin masih berkutat di angka yang amat mencemaskan, yakni sekitar 40 juta. Di sisi lain, daya dukung ekonomi negeri ini untuk menangani kelompok miskin amat minim. Daya serap pertumbuhan ekonomi kita terhadap jumlah tenaga kerja juga masih rendah. Perekonomian kita tumbuh lebih karena ditopang konsumsi. Karena itu, tak ada cara lain, pemerintah harus merevitalisasi program Keluarga Berencana yang kini masih sayup-sayup. Revitalisasi mesti dibarengi pembuatan desain kependudukan, juga political will yang jelas dari pemimpin tertinggi di negeri ini. Sudah saatnya pemerintah kembali menghidupkan kementerian kependudukan. Kementerian itulah yang bertugas menyusun desain dan peta jalan kependudukan kita ke depan. Kalau kita terlambat berbuat, ledakan penduduk akan menjadi bencana yang amat menakutkan. Sudah pasti kita akan kian jauh tertinggal untuk mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi.