Refleksi : Kalau Polri digajikan untuk tugas menjaga keamanan masyarakat dari 
segala macam kejahatan, tetapi Polri sendiri yang melakukan kejahatan, maka 
pertanyaannya siapa yang akan memberantas siapa?  Baru munncul  beritanya di 
majalah, kantornya dimolotov-cocktailkan. Majalah berisi berita kejahatan  
Polri disita, eh, bukan disita tetapi dibeli borong,seperti pedagang yang ingin 
mempunyai monopoli peredaran berita di pasar media. 

Apakah rakyat biasa berani buka mulut menutut dtegakkan hukum yang adil  
terhadap kejajatan yang dilakukan oleh  Polri, agaknya kalau tidak buntung 
dipentung, bisa dipetruskan dengan alasan mencemarkan nama baik penguasa tanah 
air. Jadi apa mau dibilang  selain harus diterima dan bungkam terhadap 
kebiasaan tindakan curang rezim kleptokratik.

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=143750

[ Rabu, 07 Juli 2010 ] 


Memberantas (Polisi) Korup 
Oleh: Adnan Topan Husodo*


Reformasi Polri yang telah berjalan 10 tahun tidak berpengaruh signifikan 
terhadap profesionalisme aparat baju cokelat itu. Berbagai kasus kekerasan 
Polri terhadap masyarakat masih kerap terjadi. Laporan atas rekayasa penanganan 
kasus terus bermunculan dan skandal besar yang melibatkan pati (perwira tinggi) 
Polri justru timbul silih berganti. 

Terakhir, gonjang-ganjing rekening gendut yang dimiliki salah seorang pati 
Polri menjadi menu utama yang paling disorot publik. Kasus itu meledak saat HUT 
Ke-64 Polri, sebuah kado yang tidak enak.

Ada beberapa faktor yang membuat agenda pembenahan Polri tidak berjalan mulus. 
Dugaan korupsi sehingga bisa menggelembungkan pundi-pundi kekayaan pati Polri, 
misalnya, mengarahkan pada ingatan bahwa mafia hukum masih kukuh menjerat 
markas Trunojoyo. Kasus Gayus Tambunan barangkali hanya secuil perkara yang 
mewakili berbagai transaksi ilegal yang dilakukan anggota Polri dengan para 
''pembeli'' kepentingan. 

Jika miliaran rupiah bisa ditimbun, kita dapat membayangkan bahwa praktik 
beking terhadap pembalakan liar, penambangan liar, penyelundupan manusia, 
penanganan kasus pencucian uang, hingga kejahatan pajak menjadi sumber utamanya.

Barangkali, profesi sebagai aparat penegak hukum seperti polisi merupakan 
pekerjaan yang paling rentan godaan. Sebagaimana disebutkan Adrianus Meilala 
(2005), mantan staf ahli Kapolri, penyebab utama profesi polisi mudah 
diselewengkan adalah karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, 
sangat otonom dan sewaktu-waktu dapat bertindak berdasar pertimbangan pribadi.

Unsur subjektivitas yang kuat dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum 
mengondisikan penyimpangan. Di samping itu, sebagai aparat penegak hukum, 
polisi memiliki kewenangan diskresional yang tak terbatas. 

Sebagaimana rumusan sederhana kejahatan korupsi Robert Klitgaard, korupsi 
adalah perpaduan antara kekuasaan diskresional dan monopoli kewenangan minus 
akuntabilitas (corruption = discretion + monopoly - accountability). 

Karena itu, tak heran jika kecenderungan sewenang-wenang menjadi tak 
terbendung. Sangat mudah menangkap orang, menahan, menetapkan sebagai 
tersangka, menakut-nakuti, mengancam, melakukan kekerasan, serta berdamai dalam 
penanganan kasus dalam situasi yang keputusannya diambil tanpa mekanisme 
pertanggungjawaban.

Derajat akuntabilitas tugas Polri yang tidak memadai bisa kita periksa dalam 
sistem yang mengatur mereka. Secara internal, memang kita melihat ada beberapa 
instrumen untuk mengan­tisipasi penyelewengan fungsi. 

Ada mekanisme dewan kehormatan perwira, irwasum, dan propam yang menjalankan 
fungsi kontrol atas pekerjaan pokok Polri. Tapi, dalam situasi yang tingkat 
penyimpangannya sudah menjalar hingga ke pucuk pimpinan, mustahil menyandarkan 
fungsi kontrol pada mekanisme internal.

Kompolnas (Komisi Polisi Nasional) yang dibentuk juga tak bertaring sebagai 
pengawasan eksternal. Gagasan awalnya, Kompolnas menjadi lembaga pengawas 
eksternal yang independen yang wewenangnya dapat memeriksa secara mandiri atas 
dugaan penyimpangan aparat kepolisian. Namun, postur ideal Kompolnas tak 
tercapai karena posisi Kompolnas dalam skema yang dibangun justru menjadi 
sebatas lembaga di bawah presiden yang memiliki tugas pokok memberikan saran 
dan masukan. 

Mencari Jalan Keluar 

Dengan pertimbangan bahwa sistem yang dibangun tak memadai sebagai mekanisme 
checks and balances dalam pelaksanaan kerja-kerja Polri, perlu ada gagasan lain 
yang bisa memperkuat agenda reformasi di tubuh kepolisian. Seandainya 
diserahkan kepada Mabes Polri, agenda perbaikan polisi ini bisa dibilang 
sebagai langkah konyol. Memercayai reformasi Polri dan pengawasannya dilakukan 
secara internal oleh polisi sama saja dengan membiarkan jatuhnya kredibilitas 
Polri di mata publik.

Tak bisa dimungkiri, membenahi Polri memang membutuhkan komitmen yang serius 
dari berbagai pihak. Karena tugas memperbaiki tatanan di kepolisian telah 
menjadi pekerjaan rumah bersama, peran -terutama- DPR dan presiden sangat 
diharapkan. Memperkuat pengawasan eksternal yang independen adalah salah satu 
solusinya. 

Dengan wewenang legislasinya, DPR dan presiden bisa memperkuat posisi Kompolnas 
daripada menciptakan lembaga ad hoc seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum 
yang kurang bergigi. Kompolnas yang ideal semestinya berada di luar lembaga 
eksekutif, independen, memiliki wewenang untuk mengawasi dan memeriksa skandal 
yang dilakukan -khususnya- perwira polisi, dan komposisinya mewakili 
kepentingan publik luas.

Presiden juga harus dapat memastikan perbaikan di lembaga penegak hukum itu 
dengan melakukan penyegaran yang radikal pada posisi-posisi strategis di Polri 
dengan para perwira Polri yang reformis.

Pemikiran lain yang bisa disodorkan, wewenang Polri dalam menangani kasus perlu 
dibatasi, tidak seperti sekarang yang demikian luas. Asumsinya, anggota Polri 
kerap bermain mata dalam penanganan kasus-kasus besar. Untuk kasus korupsi 
misalnya, akan lebih baik jika Polri tak lagi menangani karena sudah ada 
kejaksaan dan KPK. Selain bisa mempersingkat birokrasi penanganan kasus 
korupsi, hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi lempar tanggung jawab 
antarpihak. Misalnya, bolak-balik berkas perkara korupsi dari kepolisian ke 
kejaksaan. 

Terakhir, KPK harus mengambil inisiatif untuk menjadikan aparat penegak hukum 
sebagai fokus dalam pemberantasan korupsi. Laporan rekening fantastis milik 
pati Polri bisa dijadikan pintu masuk untuk mendorong bersih-bersih di tubuh 
kepolisian. Kita berharap KPK tidak ragu untuk masuk ke wilayah yang selama ini 
tak disentuhnya. Jika KPK saja tak sanggup, tentu harapan publik terhadap 
perbaikan lembaga penegak hukum akan menjadi sirna. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Kirim email ke