Refleksi : Pada zaman Soeharto diterapkan sistem Rukun Tetangga (RT). Menurut keterangan sistem RT ini diambil dari sistem "Tonarigumi" yang dijalankan di Jepang menjelang dan pada masa perang dunia II, di Indonesia "tonarigumi" diterapkan oleh tentara pendudukan kaisar Teno Heika . Tugas RT ialah rukun dalam arti polik, yaitu mengawasi dan memberikan info kepada aparatur negara tentang adanya tamu atau gerak gerik penduduk di lingkungan RT. Sekarang sistem Tonarigumi sudah tidak ada dipakai di Jepang.
Dipersenjatai Satuan Polisi Pamon Praja (Satpol PP), mungkinsekali diambil dari Gardia Revolusi di Iran yang dikenal dengan nama "Basij". Jadi semacam "lokalen Angriff Truppe", cepat masalah diselesaikan, tanpa prosedur hukum. Jadi RT dilengkapi dengan Satpol PP bersenjata. Apa latar Satpoll dipersenjatai, apakah tidak cukup dengan Polri? Militerisasi model baru? Ataukah mereka akan dijelmakan menjadi polisi agama bersenjata? http://www.antaranews.com/berita/1278678022/tak-pakai-senjata-saja-arogan-apalagi "Tak Pakai Senjata Saja Arogan, Apalagi..." Jumat, 9 Juli 2010 19:20 WIB | Artikel | Pumpunan | Jakarta (ANTARA News) - Rencana mempersenjatai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ditentang luas oleh kalangan yang selama ini menjadi target operasi Satpol PP, seperti pedagang kaki lima, sementara pandangan internal Satpol PP sendiri tidak bulat. "Tidak pakai senjata saja sudah arogan, bagaimana kalau dikasih senjata?" kata Edy Setiawan, petugas kebersihan makam Mbah Priuk, yang beberapa waktu lalu menjadi penyebab dan tempat di mana insiden berdarah terjadi. Edy menilai Satpol PP tidak perlu dipersenjatai, karena dengan pentungan saja mereka sudah semena-mena. "Polisi saja yang sudah lama pakai senjata bisa salah sasaran, apalagi satpol PP," sambungnya. Dia menganggap senjata malah membuat Satpol PP kian arogan dan bisa asal tembak. Sementara Ary Wiyanta, petugas parkir makam Mbah Priuk, justru meminta Satpol PP dibubarkan saja. Dia menyamakan Satpol PP dipersenjatai dengan mengajak perang lagi kepada korban Kerusuhan Priuk. "Arogannya itu yang saya takutkan. Tidak diberi senjata saja seperti itu, apalagi punya," kata Suhendi, pedagang kaki lima di kawasan perempatan Mambo, Koja Selatan. Suhendi mengungkapkan ketidaksetujuannya pada ide mempersenjatai Satpol PP. Meski begitu dia mengakui di wilayah usahanya, sikap Satpol PP cukup baik di mana mereka selalu memberitahukan dulu kepada para pedagang jika ada penertiban kaki lima. "Kalau saya ditertibkan sih nurut saja, soalnya usaha saya bisa jadi serba salah," sambungnya. Dari sisi Satpol PP sendiri, ternyata panilaian mengenai Satpol PP dipersenjatai tidak seragam, Sebagian ada yang bersetuju, sebagian kecil lainnya menolak. Subur, kordinator lapangan Satpol PP Provinsi DKI, menilai senjata itu diperlukan karena massa sekarang sulit dikendalikan dan akan berguna jika keadaan terdesak seperti pada kasus Kerusuhan Priok. Tetapi dia menggarisbawahi bahwa senjata yang digunakan adalah berpeluru hampa. Ia mengungkapkan, kekerasan muncul karena kondisi lapangan yang membuat mereka beralih menggunakan cara-cara yang tidak persuasif. Sebaliknya, seorang anggota Satpol PP Provinsi DKI, Erwin CK, menilai jika pun senjata diberikan kepada kesatunnya, maka peruntukkannya harus dijamin bukan untuk main-main, melainkan harus tepat sasaran atau sesuai kapasitas serta tingkat kematangan emosi penggunanya. Erwin sendiri mengaku akan menolak pemberian senjata karena dinilainya malah akan membebaninya, apalagi stabilitas emosinya belum matang. "Saya tidak setuju mendapat senjata bila tidak melalui proses psikotes dan seleksi yang ketat karena saya belum mampu mengontrol emosi saya," aku Erwin.(*)