surat terbuka ini tampaknya lebih tepat dikirim ke kepala sekolah.

mengajarkan pasal2 perkelahian antar pelajar saya kira gagasam
brilian utk kondisi jakarta. khususnya mereka yg pernah
melihat langsung perkelahian pelajar (anak2 SMP sering lebih 
ganas dari anak-anak SMA).

bilogi? sejuah nama2 latin tsb yg dikeluhkan, tampaknya tidak
banyak berubah dari materi 25th lalu.

apakah kemudian semua itu harus dihafal mati. juga beban 16 pelajar
dari 10 standar komepetesi yg diatur pemerintah. itu yg mesti di
bicarakan dng pihak sekolah. saat ini, lain sekolah lain kebijaksa-
naan. buku pelajarannya pun berbeda-beda.

persoalan yg muncul tampaknya tidak jauh2 dari ongkos memikul
beban memasukan anak di sekolah yg dianggap "favorit". dan ini
bukan kesalahan mendiknas.

HBM


> ......di sebuah SLTP Katolik yang 
> cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-
> tiga bulan terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah 
> menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. 

> Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya 
> sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu 
> banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia 
> tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya.

> tetap saja setiap sekolah akan berusaha 
> memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak 
> dinilai "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit". Apalagi, dalam 
> sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" 
> (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber 
> ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan 
> tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti 
> internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan 
> seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
> membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
> merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada 
> umumnya. 

> Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya 
> beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak 
> saya, paling tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran 
> umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, 
> Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan 
> Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa 
> harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku - saya 
> mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - 

> mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara 
> Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda 
> tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan 
> antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan 
> seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di 
> sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa 
> lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"

> Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk 
> siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? 
> Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-
> pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum "perkelahian 
> pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau 
> mati", pasal-pasal mana untuk "perkelahian pelajar secara 
> berkelompok", dan pasal-pasal mana yang dipakai jika "pelajar 
> menyerang guru"!
> 
> Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar 
> mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan 
> oleh pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar 
> membawa senjata api atau senjata tajam"...
> 
> Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci 
> beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat 
> ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan 
> kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung 
> semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan 
> jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada 
> umumnya.
> 
> Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi 
> yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun 
> kognitif anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak 
> memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-
> mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-
> soal ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya 
> berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya 
> kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan 
> kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat menakutkan bagi anak-
> anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.
> 
> Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
> menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
> pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan 
> anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *
> 
> ***
> Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar 
> Agama), Jakarta




_____________________________________________
Situs milis    http://groups.yahoo.com/group/cyber-gki
Situs laci     http://www.cybergki.net
Moderator      [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Administrator  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]

Klik alamat sesuai maksud, kosongkan subject dan body.
posting    cyber-gki@yahoogroups.com
nonaktif   [EMAIL PROTECTED]
aktif lagi [EMAIL PROTECTED]
berhenti   [EMAIL PROTECTED]
digest     [EMAIL PROTECTED]
daftar     [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/cyber-gki/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to