Senin, 13 Maret 2006

Seni Tidak Bebas Nilai

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16

Ismail F Alatas
Mahasiswa Sejarah di University of Melbourne, Australia

Indonesia tengah diguncang perdebatan publik seputar pornografi dan pornoaksi. 
Perdebatan yang dipicu Rancangan Undang-undang (RUU) Antipornografi dan 
Pornoaksi, telah mengundang berbagai pendapat, baik pro maupun kontra. 

Di tengah maraknya antusias publik atas isu yang kontroversial ini, hadir 
suara-suara --baik dari kalangan budayawan, artis maupun praktisi media-- yang 
menyerukan kebebasan berekspresi serta mengingatkan bahwa kesenian akan 
menderita akibat RUU tersebut. Menurut mereka, dalam ranah kesenian, karya seni 
yang bersifat pornografi sah-sah saja. Oleh sebab itu, karya-karya seni harus 
diselamatkan dari RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Namun, satu hal yang mereka 
telah lupa, bahwa seni tidak pernah dan tidak akan pernah bebas nilai.

Kesenian bukan sekadar seputar keindahan dan kenikmatan inderawi. Ia bukan pula 
benda yang disuntikkan nilai-nilai estetika. Karya pornografis yang diberikan 
nilai estetika melalui pencahayaan, permainan gaya, maupun pelukisan tidak 
lantas menjadikannya sebuah karya seni.



Kebenaran
Seni, seperti kata filsuf Jerman, Martin Heidegger, adalah sesuatu yang 
menyodorkan kita sebuah kebenaran tentang ''Ada''. Kebenaran yang tidak 
bersifat teoretis maupun praktis. Sebuah kebenaran tentang konflik antara alam 
(earth) dan dunia (world). 

Bagi Heidegger, alam adalah entitas-entitas azali yang ada di alam semesta ini 
dalam arti sebenarnya, tanpa adanya pemaknaan-pemaknaan manusia. Sedangkan 
dunia dapat diterjemahkan sebagai budaya, yaitu sistem makna yang memungkinkan 
manusia memahami diri dan sekitarnya.

Dengan demikian, seni adalah sebuah kreativitas manusia yang membuka dunia dari 
alam. Dengan kata lain, memberikan pemaknaan-pemaknaan kepada alam yang 
sebelumnya tidak bermakna.

Tubuh manusia, misalnya, adalah sebuah bagian dari alam yang bebas dari 
pemaknaan. Pada saat tubuh manusia dilukis oleh seorang seniman, terbukalah 
dunia tubuh tersebut dengan munculnya pemaknaan-pemaknaan di seputarnya.

Berbeda dengan Heidegger yang menekankan bahwa kemunculan dunia atas alam dalam 
karya seni sebagai proses yang ambivalen. Saya lebih condong pada sentralitas 
sang seniman dalam membubuhkan pemaknaan-pemaknaan pada karya seninya. Akan 
tetapi, sang seniman tidak kemudian berfantasi secara bebas dan mendapatkan 
ilham karya seni dari negeri antah-berantah.

Sang seniman, yaitu seorang manusia, adalah produk dari ruang dan waktu di mana 
ia berada. Ia merupakan objek dari sebuah super-sistem metafisika, ontologi, 
psikologi, dan sejarah yang membentuknya. Baru kemudian ia menjadi subjek dalam 
menciptakan karya seni yang pada hakekatnya juga merupakan kepanjangan-tangan 
dari super-sistem yang berada di ruang dan waktu spesifik.

Dengan kata lain, karya seni adalah sentuhan artikulatif dari sebuah 
pandangan-hidup yang telah terpatri dalam benak para seniman dan karenanya, ia 
sarat akan nilai-nilai partikulir.

Jika kita melihat kembali pada perjalanan sejarah kesenian Eropa, maka akan 
tampak jelas bagaimana perubahan di tingkat super-sistem menghasilkan perubahan 
pada bentuk, subjek, dan tampilan seni. Pada abad pertengahan, karya-karya seni 
yang lahir di Eropa lebih menyodorkan cuplikan-cuplikan biblikal. Trend ini 
menandakan mentalitas masyarakat relijius yang berpegang pada nilai-nilai luhur 
berlandaskan doktrin gereja. 

Dari karya seni, seseorang dapat menerka mentalitas, cara berpikir, 
pandangan-hidup, dan sistem nilai masyarakat kala itu. Seiring dengan proses 
sekularisasi yang dimotori oleh roda kapitalisme yang mulai berputar, karya 
seni Eropa mengalami perubahan dari berbagai sudut. Pada kurun abad pencerahan 
mulai terlihat karya seni yang tidak lagi menyodorkan kisah biblikal ataupun 
para dewa. Fokus kesenian lebih tertuju pada manusia dan apa saja yang 
bersangkutan dengannya. 

Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci yang mengangkat figur seorang wanita 
sebagai lokus seni, menandakan timbulnya konsep humanisme dan individualisme. 
Mozart lewat operanya Escape from Seraglio mengangkat kisah profan tentang 
manusia dan kehidupannya. 

Musik dan opera tidak lagi dikomposisi guna menjadi saksi atas keagungan Tuhan. 
Kesenian telah terfokus pada profanitas, seiring dengan perubahan orientasi 
pandangan-hidup manusia dari teosentris menjadi antroposentris. Pengkultusan 
terhadap objek-objek metafisika digantikan oleh objek-objek fisikal. Mulai saat 
itu, pornografi dapat dijadikan karya seni.



Jangan mengekor
Berbeda dengan Eropa, Indonesia adalah sebuah bangsa dengan pengalaman historis 
berbeda. Ia tidak mengenal abad kegelapan dan era pencerahan. Proses historis 
berbeda telah membentuk varian pandangan-hidup partikular dan kemudian 
menghasilkan sistem-nilai yang distinktif. 

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Mitologi kita tidak mengenal 
figur Prometheus: seorang pahlawan manusia yang memberontak kekuasaan langit. 
Manusia Indonesia lebih memilih untuk menjadi khalifatullah fil ardl (wakil 
Tuhan di bumi) atau imago dei (jembatan antara Tuhan dan bumi).

Dikarenakan pandangan-hidup distinktif itulah, karya seni yang dihasilkan dari 
zaman Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah menjadi artikulasi dari sistem-nilai 
yang telah tertanam dalam psikologi dan epistemologi manusia Indonesia. Para 
seniman besar Indonesia selama perkembangan sejarahnya telah bersikap sebagai 
juru bicara sistem-nilai yang ada sehingga dapat memberikan pemaknaan-pemaknaan 
pada alam.

Oleh karenanya, sudah sepatutnya manusia-manusia Indonesia lebih memilih untuk 
menjadi diri mereka sendiri. Seniman-seniman Indonesia mempunyai tugas agung 
dalam mengemban super-sistem yang telah menjadi karakter dasar kita untuk 
kemudian diartikulasikan kedalam karya seni. Kita harus lebih kritis dalam 
melihat karya seni karena seni tidak pernah bebas dari nilai-nilai partikulir.

Dalam pandangan hidup dan budaya kita, pornografi dan pornoaksi adalah fenomena 
di luar sistem-nilai. Karenanya, kesenian yang bersifat demikian bukanlah karya 
seni yang patut diapresiasi. Bangsa kita sudah menjadi bangsa 'pengekor' dalam 
politik, ekonomi, dan gaya hidup. Untuk itu janganlah kesenian ditambah lagi 
menjadi objek 'ekoran'. 

Karena itu, sudah sepatutnya bagi mereka yang tetap berpegang teguh pada 
pandangan-hidup dan sistem nilai Indonesia menolak segala bentuk pornografi dan 
pornoaksi. Dan jika ada yang menyatakan pornografi sebagai seni, maka jawaban 
kita adalah: ''seni tidak bebas nilai!''





===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke