UANG SEKARAT
Selasa, 01 Februari 05 - oleh : admin
Mudzakkir Pudja

Menjadi penunggu kotak infak atau sedekah di depan
pintu masjid tentulah menjadi pengalaman unik.
Setidaknya bagi saya. Waktu itu, saya disuruh teman
untuk menggantikan posisinya di depan pintu masjid.
Adzan Jumat baru saja berkumandang. Satu per satu kaum Adam berdatangan ke 
masjid. Dan saya sudah siap dengan sebuah pasu kaleng, penampung uang yang akan 
disedekahkan. Semuanya berjalan seperti biasa. Lumayan banyak yang bersedekah. 
Saya sih cuek aja, enggak memperhatikan berapa uang yang dimasukkan ke dalam 
pasu kaleng itu. Hati dan pikiran saya lebih terfokus mendengarkan isi khutbah 
yang saat itu dibawakan oleh khatib kesukaan saya.

Namun, tidak berapa lama, konsentrasi saya
mendengarkan khutbah jadi terbagi. Tanpa sengaja,
pinggir mata saya melihat benda aneh di dalam pasu
kaleng tadi. Ada sehelai uang kertas ribuan yang sudah
"disalon" di sana-sini. Keriting. Orang kampung
menyebutnya dengan istilah pitih lasua. Masih pantas
enggak ya disebut uang? Warnanya sudah kuning
kecoklatan dan telah dihias dengan "salasiban"
(perekat) yang menempel manis. Pinggirnya sudah
seperti gerigi gergaji. Gambar Kapitan Pattimuranya
tak jelas lagi. Dan ada sebuah bercak merah kehitam-hitaman. Masya Allah! Apa 
itu? Darah mungkin.
Kalau saya tidak salah, orang yang memasukkan uang itu
adalah pemilik sebuah kedai. Mungkin dia berpikir,
pembeli tidak bakalan mau menerima kembalian dengan
uang yang "sekarat" itu. Maka, daripada mubazir, uang
itu ia sedekahkan. Seburuk itukah?

Sejak itu saya jadi rajin memperhatikan kondisi uang
yang disedekahkan orang. Berbagai motif uang sudah
saya saksikan. Ada uang logam seratus yang sudah
gosong, sehingga gambar rumah gadangnya tak jelas
lagi. Ada juga uang kertas yang sudah kena tinta,
sehingga tulisan dan angkanya sudah hilang tak
terbaca. Laku enggak, ya? Pada Jumat berikutnya, saya
menemukan sebuah uang kertas yang ditulisi sebuah
ancaman atau peringatan. Bunyinya kira-kira begini:
"Siapa yang memegang uang ini, berarti dia telah
menyakiti hati perempuan. Hai laki-laki, janganlah
sakiti hati perempuan, jika kalian berperasaan". 
Lho kok? Apa hubungannya? Entah kenapa saya jadi sibuk memikirkannya. 
Mereka-reka kenapa ada kalimat itu? Bahkan terbawa-bawa hingga salat Jumat.
Astaghfirullah!

Menurut hipotesa saya, uang itu dulunya milik seorang
perempuan yang sedang sakit hati karena diputusin
pacar (kacian?deh lu!). Maklum, orang kalau lagi patah
hati, kerjaannya enggak ada yang beres. Sampai-sampai
uang kertas yang tak tahu apa-apa ditulisi dengan
kalimat yang ngawur. Melihat berbagai bentuk uang yang saya temui ketika 
menjaga kotak infaq itu, saya merasa sedih. Sebab, ternyata kaum muslimin belum 
mampu memberikan yang terbaik dari hartanya untuk jalan Allah. Padahal, Allah 
justru menyerukan kepada kita agar memberi sedekah yang berkualitas, yaitu dari
harta yang kita cintai. "Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu 
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya." (QS. Ali Imran: 92).

Bagaimana nasib uang yang sekarat itu nantinya?
Tentunya pengurus masjid mengalami kesulitan
membelanjakannya. Kalau disimpan, siapa pula yang mau mengoleksi benda jelek 
seperti itu. Kalau dibuang,
nanti dibilang tidak amanah. Serba salah.

Meninjau, Sept '04

Dept. Pustaka - DKM AL Kautsar - PT. PAS





===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke