Date: Tue, 5 Dec 2006 15:41:02 +0000 (GMT)

  Nabi Muhammad saw Setia Monogami
  Faqihuddin Abdul Kodir, MA:
  ( Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute
  Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas
  Damaskus, Suriah ), 29 Mei 2003

  Bismillah hirRohman nirRohim

  Rekaman sejarah jurisprudensi Islam sebenarnya telah
  lama mematahkan argumen yang sering diyakini oleh
  kalangan propoligami bahwa "poligami itu Sunnah Nabi
  Saw." Usaha mencari justifikasi teologis poligami
  seringkali dipaksakan, meski Q.s an-Nisa: 3 jelas
  menunjukkan kemustahilan berlaku adil ketika
  berpoligami. Tapi, anehnya, kalangan propoligami tetap
  percaya bahwa poligami turut menentukan tolok ukur
  keislaman seseorang.

  Tanya : Anda cukup punya perhatian terhadap masalah
  perempuan pada umumnya dan poligami khususnya.
  Seserius apakah masalah poligami ini di masyarakat?

  FAQIHUDDIN ABDUL KODIR: Cukup serius. Kalangan
  propoligami seringkali menyandarkan argumennya pada
  pemahaman yang salah atas nash Alquran dan hadis.
  Slogan-slogan seperti "poligami itu Sunnah" dan
  "poligami itu membawa berkah" sering mereka pakai.
  Sebetulnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa
  Islam punya dalil untuk membolehkan poligami.
  Sebaliknya, kita juga punya dalil --dalam artian
  teks-yang membicarakan masalah itu.

  Dalam tulisan saya di Kompas (13 Mei 2003) berjudul
  Benarkah Poligami Sunah..? saya mengatakan bahwa
  persoalan poligami dan monogami adalah persoalan
  parsial atau persoalan konteks belaka. Sementara dalam
  fikih ada beragam padangan soal itu.

  Saya membaca lagi kitab Al-Hidâyah karangan
  Al-Murhinani, seorang ulama dari mazhab Hanafi, bahwa
  ada suatu saat poligami bisa diharamkan. Pandangan
  tersebut misalnya, dapat disimak dari Imam Al-Syafii
  dalam Ar-Risalah-nya. Dia pernah mengatakan, seorang
  laki-laki merdeka diharamkan berpoligami dengan
  seorang amat, budak perempuan. Sebab apa?
  Dikhawatirkan, nanti akan terjadi kerusakan pada
  keturunannya. Anak seorang budak, nasibnya saat itu
  akan menjadi budak juga. Artinya, dalam fikih selalu
  ada kemungkinan bahwa antara poligami atau monogami,
  dalam konteks tertentu, salah satunya justru malah
  lebih diunggulkan.

  Tanya : Selama ini orang yang berpoligami mengambil
  landasan dari ayat Alquran. Bagaimana menjawab argumen
  seperti ini?

  FAQIHUDDIN: Sebenarnya kalau mau jujur, dalam Alquran
  ada tiga poin yang terkaitan dengan poligami. Yang
  pertama, anggaplah semacam memberi kesempatan untuk
  poligami. Kedua, peringatan atau warning agar belaku
  adil: fain khiftum allâ ta'dilû fawâhidah (kalau
  engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah!
  -Red). Ketiga, ada ayat yang mengatakan, walan
  tashtatî'û 'an ta'dilî bainan nisâ' wain harashtum.
  Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak
  akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu,
  sekalipun engkau berusaha keras.

  Ini artinya, kalau kita melakukan komparasi atas
  berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat
  membolehkan poligami, sementara dua ayat justru
  (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok
  berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua ayat
  justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan
  proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan
  dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya ayat
  yang seakan membolehkan poligami, yaitu Qs An-Nisa:
  2-3, konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim
  piatu dan janda korban perang.

  Tanya : Bagaimana dengan dalih meneladani praktik Nabi
  Saw?

  FAQIHUDDIN: Kalau kita bicara tentang praktik Nabi,
  ketahuilah Nabi itu menjalani bahtera rumah tangga
  lebih dari 30 tahun. Tapi selama 28 tahun Nabi setia
  dengan praktik monogami. Dan hanya delapan tahun dia
  melakukan poligami. Kalau kita menggunakan proporsi
  waktu juga, maka anggapan bahwa poligami adalah Sunnah
  itu lucu juga. Alasannya, jika memang dianggap sunah,
  mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali
  berumah tangga? Bahkan, praktik monogami Nabi yang
  sangat lama itu dilakukan di tengah situasi sosial
  masyarakat Arab yang menganggap poligami itu lumrah.

  Jadi jelas Nabi lebih bahagia dan sukses ketika
  menjalani kehidupan monogami. Ingat, betapa berdukanya
  Nabi setelah wafatnya Khadijah, isterinya beliau
  satu-satunya dalam praktik monogami. Bahkan, tahun itu
  (kesepuluh kenabian) disebut juga sebagai amulhuzn
  (tahun duka cita, Red). Baru dua tahun sepeninggal
  Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani sebentar
  saja.

  Selain itu, perlu diingat kasus Nabi melarang Ali bin
  Abi Thalib melakukan poligami yang berarti memadu
  putrinya, Fatimah. Itu dikisahkan dalam hadis sahih,
  dan diriwayatkan, di antaranya oleh Bukhari dan Muslim
  dalam kitab sahih mereka. Juga diriwayatkan oleh ulama
  hadis terkemuka seperti Turmudzi dan Ibn Majah.

  Tanya : Artinya, secara subjektif Nabi tidak suka
  anaknya dimadu?

  FAQIHUDDIN: Ya, Nabi marah besar ketika mendengar
  putri beliau, Fatimah, akan dipoligami Ali. Nabi pun
  langsung masuk ke masjid, naik mimbar dan berkhutbah
  di depan banyak orang: Beberapa keluarga Bani Hasyim
  bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk
  mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
  Sabda Nabi: "innî lâ 'âdzan, (saya tidak akan
  izinkan), tsumma lâ 'âdzan (sama sekali, saya tidak
  akan izinkan), tsumma lâ âdzan illâ an ahabba 'ibn Abî
  Thâlib an yuthalliq 'ibnatî, (sama sekali, saya tidak
  akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib (Ali)
  menceraikan anakku dahulu). Lalu Nabi melanjutkan,
  Fâthimah bidh'atun minnî, yurîbunî mâ 'arâbahâ wa
  yu'dzînî mâ 'adzâhâ, Fatimah adalah bagian dari
  diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan
  diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti
  hatiku juga (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor
  hadis: 9026). Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap
  bermonogami sampai Fatimah wafat.

  Tanya : Hadis tersebut jarang sekali disiarkan?

  FAQIHUDDIN: Ya. Itulah ironisnya. Ada distorsi yang
  dilakukan kalangan propoligami. Ketika kita membuka
  kitab-kitab hadits semacam Majâmi' Al-Ushûl, kumpulan
  enam kitab hadis terbesar-misalnya-akan ditemukan tiga
  klasifikasi tentang poligami. Pertama, ada pembatasan.
  Alkisah, ada sahabat yang kawin dengan sepuluh orang,
  lantas Nabi menganjurkan untuk menceraikan selain
  empat orang. Itulah yang dilakukan Nabi pada Ghilan
  bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin
  al-Harits. Kedua, ada hadis tentang moralitas
  poligami. Dalam hadits ini, disebutkan kalau orang
  yang melakukan praktik poligami harus adil, tidak
  berlaku aniaya atas dua isteri; kalau berbuat aniaya
  diancam siksa neraka. Ketiga, perilaku Nabi dalam
  berpoligami.

  Coba lihat kitab Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita
  temukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk
  menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
  lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk
  solusi. Sebagian besar yang dinikahi Nabi adalah
  janda-janda yang ditinggal mati suaminya ketika
  berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.

  Jadi anjuran --baik dari Alquran atau hadis-- yang
  menyebut poligami sebagai sesautu yang baik tidak ada
  sama sekali. Karena itu, pandangan yang beredar di
  masyarakat, seperti kasus Puspowardoyo atau Drs.
  Muhammad Thalib yang menulis buku Tuntunan Poligami
  dan Keutamaannya kurang tepat. Mereka jelas-jelas
  menganjurkan, bahkan menganggapnya perintah. Dalam
  pandangan mereka, orang yang berpoligami lebih baik
  daripada yang monogami (Rhoma Irama yang berpoligami
  juga berpendapat demikian, Red). Bahkan disebutkan
  bahwa poligami akan menambah rezeki, memberi peluang
  masuk surga lebih banyak. Ini lucu sekali!

  Tanya : Apa isi buku Tuntunan Poligami dan
  Keutamaannya itu?

  FAQIHUDDIN: Poin paling utama dari buku itu mengatakan
  bahwa poligami adalah anjuran Islam, dan orang yang
  melakukan poligami lebih baik dari orang yang
  melakukan monogami. Sebetulnya, perkataan ini bukan
  berdasarkan Alquran dan hadis, tapi garis besarnya
  dari perkataan Ibn Abbas yang berbunyi, tazawwaj
  fainna khaira hâdzi al-ummah aktsaruhâ nisâ'an. Dia
  mengatakan itu kepada temannya, Said bin Zubeir:
  "Kawinlah! karena sungguh sebaik-baiknya umat Islam
  adalah yang banyak isterinya". Ini sesuai dengan
  terjemahan buku itu.

  Padahal, kalau kita membahas artinya, akan banyak
  sekali terjemahan yang tidak pas. Tapi, taruhlah
  terjemahan dia benar, maka masalah (yang tersisa) ini
  adalah perkataan Ibnu Abbas, seorang sahabat.

  Tidak semua ulama mengatakan perkataan sahabat sebagai
  hujjah atau sesuatu yang bisa dijadikan argumen agama
  yang valid. Imam Syafi'i misalnya, mengatakan bahwa
  mazhabus shahâbah, laisat bihujjatin muthlaqah,
  perkataan sahabat itu bukan dalil sama sekali. Kalau
  Imam Hanafi lain lagi. Dia masih mengatakan, wain
  khâlafahul qiyâs fainnahu hujjah, wain lam yukhâlif,
  fahiyâl hujjah. Artinya, kalau bertentangan dengan
  analogi (qiyâs), maka bisa dianggap sebagai hujjah,
  khususnya kalau dalam bidang akidah. Sebab, bagian
  akidah dalam agama tidak bisa dilandaskan pada
  analogi. Selagi berbicara masalah keimanan, azab
  kubur, dan lain-lain, perkataan sahabat bisa dijadikan
  sebagai argumen. Tapi kalau bicara tentang sesuatu
  yang ada analoginya, maka dia tidak bisa dijadikan
  hujjah, karena masing-masing akan punya analogi;
  sahabat punya, tabi'in juga punya.

  Jadi menurut Hanafi, pendapat sahabat bisa dijadikan
  sandaran dalam masalah akidah. Tapi kalau berkaitan
  dengan muamalah dan kehidupan sehari-hari justru tidak
  bisa. Masalah poligami termasuk dalam masalah
  kehidupan sosial (muamalah), sehingga perkataan
  sahabat tak bisa dijadikan sandaran.

  Tanya : Tapi dalam literatur fikih kita selama ini,
  soal poligami dianggap sebagai praktik agama yang
  legal dan sah-sah saja. Kenapa formulasi fikih bisa
  seperti itu?

  FAQIHUDDIN: Kita harus pahami kalau fikih ditulis di
  masa lalu, di mana posisi perempuan dan daya tawarnya
  sangat lemah. Tak banyak orang yang menyuarakan
  kepentingan perempuan. Jadi ketika mereka berbicara
  tentang keadilan, jarang sekali yang berbicara dari
  perspektif kaum perempuan.

  Tanya : Kitab-kitab fikih juga kebanyakan ditulis oleh
  laki-laki?

  FAQIHUDDIN: Itu salah satu poin juga. Tapi ada suatu
  masa di mana ada sekitar 9900 ahli hadis perempuan.
  Tapi begitu masanya makin ke belakang, justru yang
  terjadi sebaliknya. Mereka tinggal beberapa orang
  saja, bahkan kita tidak mengenal seorang ulama
  perempuan dalam bidang fikih. Kalau tasawuf kita
  mengenal Rabiah al-Adawiyah, tapi dalam hal fikih,
  kita tidak mengenal satu orang pun. Ini salah satu
  persoalan mengapa faktor advokasi perempuan kurang
  banyak dilakukan.

  Tanya : Pengaruhnya sampai kini juga masih terasa.
  Juru dakwah, ulama atau cendekiawan dari kalangan
  perempuan juga sangat sedikit jumlahnya?

  FAQIHUDDIN: Itulah kenyataannya. Selama ini yang
  mengalami ketidakadilan adalah perempuan. Makanya,
  monogami atau poligami merupakan persoalan parsial
  atau partikular saja. Analoginya, kita boleh mencatat
  atau tidak mencatat hutang-piutang. Itu persoalan
  pilihan saja. Sementara yang prinsip dalam Islam
  adalah nilai keadilan. Artinya, masing-masing pihak,
  baik perempuan atau laki-laki, memperoleh hak mereka
  secara proporsional. Nah, ketika kita bicara prinsip,
  tentu saja kita harus kembalikan kepada realitas.

  Masalah poligami itu terkait antara laki-laki dan
  perempuan. Pertanyaannya: sejauh mana keadilan
  diwujudkan melalui poligami. Kalau tidak terwujud,
  poligami bisa dilarang. Keadilan itu tidak hanya
  diterjemahkan oleh persepsi laki-laki semata. Selama
  ini, sering kali makna keadilan diterjemahkan satu
  arah saja. Itu tidak tepat. Agar tahu tentang
  keadilan, banyak yang perlu dilibatkan, terutama
  perempuan sebagai korban poligami. Lembaga
  penelitian/advokasi yang mencermati kasus-kasus
  poligami juga dapat diminta pendapatnya.

  Tanya : Bagaimana bila ada perempuan yang menganggap
  poligami itu adil bagi dirinya?

  FAQIHUDDIN: Kalau secara kasuistik, mungkin saja ada
  perempuan yang merasa adil. Tapi kita bicara secara
  sosial. Artinya, bicara fikih, maka kita bicara
  tentang apa yang sifatnya umum, bukan sesuatu yang
  sifatnya kasuistik. Sifat umum itu artinya sesuatu
  yang bisa diaplikasikan dan dirasakan banyak orang.
  Nah, dalam kaitannya dengan orang-per-orang, tentu
  harus dilakukan penelitian terlebih dahulu.

  Saya kira, kalau kita bicara statistik secara sosial,
  praktik poligami akan lebih banyak mendatangkan
  bahaya. Itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh banyak
  penulis, yang menurut saya, lebih jujur dibandingkan
  teman-teman kita yang mempromosikan poligami itu.

  Tanya : Kalau perempuan tidak mau dimadu, bagaimana
  status mereka dalam kacamata fikih?

  FAQIHUDDIN: Dari sisi fikih, perempuan yang tidak
  ingin dimadu punya hak. Dalam fikih ada syarat-syarat
  bagi laki-laki yang ingin melakukan poligami. Isteri
  boleh mengajukan syarat pada suaminya agar jangan
  sampai dimadu. Memang, ada beberapa ulama yang
  berpendapat bahwa syarat seperti itu tidak sah. Akan
  tetapi, ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa
  perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan
  agar tidak dimadu.

  Saya katakan dalam artikel saya, poligami adalah
  proses dehumanisasi perempuan. Perempuan yang dimadu
  banyak yang mengalami self-depreciation, penderitaan
  lahir batin luar biasa. Ada yang menganggap
  penderitaan itu bagian dari pengorbanan, takdir, atau
  menyalahkan dirinya sendiri sehingga membuat suaminya
  poligami. Kasihan sekali, bukan?

  Tanya : Jadi ada reduksi atas ajaran Islam dengan
  menganggap bahwa ayat poligami adalah pengesah
  (poligami) dengan sendirinya, sembari mengabaikan
  kenyataan sosial dan pendapat ulama yang beragam dalam
  menafsirkan ayat tersebut. Menurut Anda?

  FAQIHUDDIN: Ya. Inilah salah satu hal yang mendistorsi
  pemikiran atau perkembangan pemikiran fikih kita:
  ketika fikih dilihat dari satu pendapat saja dan yang
  lainnya tidak dianggap. Padahal, dalam fikih pandangan
  itu justru banyak dan mengikuti konteks sosial
  masing-masing ulama. Ketika berbicara bahwa poligami
  itu sunnah, mungkin itu hanya dilihat dari persoalan
  dan konteks di masa lalu. Jadi, sangat naif kalau
  fikih hanya meladeni satu pandangan saja.

  Tanya : Kita tahu, Nabi beristeri sembilan. Tapi dalam
  kaidah fikih, ada hal yang tidak boleh diikuti dari
  Nabi. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

  FAQIHUDDIN: Itulah yang dinamakan dengan khushûsiyyât,
  atau spesifikasi yang dimiliki Nabi dan tidak dimiliki
  dan tidak boleh dituruti orang lain. Mungkin dalam hal
  ini termasuk masalah poligami juga. Tentang klaim
  bahwa poligami berguna untuk proteksi bagi mereka yang
  janda misalnya sebagaimana Nabi, mestinya mereka yang
  ingin poligami melirik ke janda. Tapi sayangnya, daun
  muda nampaknya lebih disukai.

  Hadis yang saya sebutkan di atas membuktikan poligami
  itu menyakitkan, baik bagi anak yang dimadu maupun
  orangtua yang anaknya dimadu. Atas pertimbangan
  semacam ini, poligami itu nantinya bisa saja ditekan,
  bahkan dilarang. Dalam konteks personal, poligami itu
  dilarang karena menyakiti.

  Tanya : Mungkin di masa Nabi terjadi proses graduasi
  hukum. Suatu ketika yang diidealkan hukum Islam adalah
  monogami, dan poligami malah dianggap haram. Tanggapan
  Anda?

  FAQIHUDDIN: Bisa saja. Itu salah satu bentuk
  transformasi. Kebanyakan isteri-isteri Nabi itu janda.
  Jadi masalah proteksi itu betul-betul terwujud. Ini
  berbeda dengan praktik-praktik poligami di sini yang
  tidak seperti yang dilakukan Nabi, sehingga proses
  proteksi dan transformasi terhadap perempuan tidak
  lagi kelihatan. Karena itu, beberapa ulama seperti
  Muhammad Abduh, bahkan berani mengatakan bahwa pada
  zaman kini hukum poligami haram. Poligami rupanya
  menimbulkan persoalan, seperti anak terlantar,
  pertengkaran, dan lain-lain. Jadi praktik di Mesir
  saat itu menginspirasi Abduh untuk mengatakan bahwa
  pada masa sekarang, poligami bisa haram. Apalagi Islam
  amat menekankan masalah keadilan.

  Wallahu alam bishowab, Wa min Allah at tawfiq


Reply via email to