Karena Ukhuwah Begitu Indah Penulis : Mujahid Alamaya KotaSantri.com : Juli 2003, adalah kali pertama saya mengenalnya. Berawal dari data di KSC, saya menyapanya lewat YM. Setelah perkenalan, kemudian berlanjut ke obrolan santai lainnya. Sampai suatu hari, kami bertemu di Daarut Tauhiid Bandung. Kebetulan, sohib saya ini sedang mengikuti program Santri Siap Guna di Daarut Tauhiid.
Sohib saya ini asli Kalimantan, tepatnya Samarinda. Usianya tidak jauh beda dengan saya. Saat itu, ia tinggal di rumah kakaknya di kawasan Tebet - Jakarta Selatan dan sering bolak-balik Jakarta - Bandung untuk mengikuti program Santri Siap Guna. Dan, saya tidak menyangka kalau di antara kami akan terjalin persahabatan sampai sekarang. Setelah beberapa bulan kenal, saya baru tahu bahwa ternyata sohib saya ini sering kopdar dengan netter KSC lainnya. Sehingga kami pun intens berkomunikasi seputar KSC dan komunitas lewat YM. Tapi, Allah SWT berkehendak lain, sohib saya harus pulang ke kota asalnya di Kalimantan. Sehingga, kami pun jarang berkomunikasi karena keterbatasan akses internet di sana. Pernah suatu ketika, di awal bulan Ramadhan tahun 2003, saya dan teman-teman hendak berangkat ke Balikpapan untuk menghadiri suatu acara. Saya pun menghubungi sohib saya itu dan janji untuk bertemu. Rupanya, Allah SWT belum mengijinkan saya, saya batal berangkat ke Balikpapan karena tidak kebagian tiket. Pertemuan pun batal. Tapi apa yang saya dapat? Sohib saya menitipkan oleh-oleh khas Samarinda kepada teman saya. Di awal tahun 2004, sohib saya kembali ke Jakarta karena mendapatkan pekerjaan di sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka. Sohib saya menyempatkan ke Bandung untuk sekedar silaturrahim dengan teman-temannya sesama Santri Siap Guna di Daarut Tauhiid. Saat itu, karena saya ada acara, saya tidak bisa bertemu. Lalu, apa yang saya dapat? Sohib saya menitipkan oleh-oleh lagi kepada temannya. Dengan kembalinya sohib saya ke Jakarta, maka kami jadi sering berkomunikasi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kami terlibat dalam sebuah komunitas. Suka dan duka kami alami bersama. Sampai pada suatu saat, gara-gara pihak lain, kami terlibat kesalahpahaman. Ketegangan pun terjadi. Tapi, alhamdulillaah, hanya beberapa waktu saja. Selanjutnya, suasana kembali normal seperti semula. Di awal tahun 2005, sohib saya memutuskan untuk kembali ke Kalimantan. Ya, kembali ke tempat kelahiran untuk selamanya, untuk menjemput rizki di sana. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Rasa sedih dan haru begitu terasa. Apalagi bagi rekan-rekan yang lain. Melepas kepergiannya, seorang sahabat perjuangan, begitu berat. Tapi, walaupun jauh di mata, mudah-mudahan dekat di hati. Di pertengahan tahun 2005, tepatnya bulan Juli, sohib saya datang ke Bandung untuk mengantarkan adiknya mengikuti Pesantren Kilat di Daarut Tauhiid. Kami pun sepakat untuk bertemu. Tapi, karena saya harus pergi ke Yogyakarta, maka saya tidak bisa berlama-lama untuk bertemu. Maklum, jadwal kereta api tidak bisa diajak kompromi. Dan, lagi-lagi saya mendapat oleh-oleh darinya. Setelah pertemuan itu, kami jarang berkomunikasi. Sesekali komunikasi lewat YM, jika kebetulan sohib saya sedang online. Sampai pada suatu hari, sohib saya bercerita mengenai masalah yang sedang dihadapinya. Saya pun berusaha semaksimal mungkin untuk membantunya. Alhamdulillaah, masalah itu tidak sampai berlarut-larut dan dapat diselesaikannya dengan baik. Dan, Sabtu yang lalu, antara terkejut dan tidak, saya mendapat telepon dari sohib saya ini, "Ditunggu di Waroeng Steak Setiabudi ya!" Tanpa basa-basi lagi, saya langsung meluncur ke tempat yang dimaksud. Ternyata, sohib saya ini sedang jalan-jalan bersama kakak dan adiknya, sekaligus silaturrahim bersama teman-temannya sesama Santri Siap Guna. "Sekalian reuni," tuturnya. Di sela-sela obrolan, sohib saya itu memberikan sebungkus plastik. "Oleh-oleh umroh," katanya. Subhanallaah, ternyata sohib saya itu baru saja menunaikan umroh dan berlebaran di Mekkah bersama kakak dan adiknya. Lalu, obrolan pun berlanjut ke hal-hal yang lain. Tapi, karena sohib saya masih ada acara lain, maka pertemuan pun harus diakhiri. Dan, kami pun berpisah. *** Satu hal yang saya garis bawahi dari sohib saya ini, adalah tidak menghitung segala sesuatu dengan nilai materi. Dari sekian banyak pemberiannya dalam bentuk materi, saya belum bisa membalasnya dalam bentuk materi juga. Tapi, lagi-lagi sohib saya ini selalu saja memberikan sesuatu bagi saya. Begitu pun dari segi yang lainnya. Sohib saya ini selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi orang lain, tanpa pamrih. Maka tak heran jika beberapa rekan yang lain merasa kehilangan ketika harus berpisah dengannya. Bukan karena melihat dari sisi materi, tapi dari sisi kebersamaan yang tercipta. Semua itu, berawal dari dunia maya, berlanjut ke dunia nyata. Sampai akhirnya terjalin sebuah persahabatan yang indah, dalam suka dan duka. Ah..., ternyata ukhuwah begitu indah dan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata... Yathie (Laa ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu minazhahaalimin...Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'azhim)