Suamimu bukan Suamimu
                
                
                        oleh Agam 

------------

                                
                                Belakangan
ini, tema poligami gencar diperbincangkan di berbagai lapisan. Tidak
hanya masyarakat awam, para petinggi negara pun menyuarakan wacana ini,
tentunya di balik skenario pihak-pihak yang mencoba mengambil
kesempatan. Tak terbayangkan sebelumnya, seorang Aa Gym mampu membuat
seantero Indonesia ini gempar dengan keputusannya untuk mengambil
langkah poligami.

Banyak kalangan dengan berbagai latar belakang dan prinsip angkat
bicara, tentunya suara mayoritas menggugat keputusan Aa Gym yang
tentunya (mencoba berhusnuszhon) sudah dipertimbangkan sangat matang.
Ibu-ibu yangdulunya ngefans berat Aa Gym puntak pelak pula merasa "sakit hati" 
atas tindakan sang idola. Padahal, sang isteri, Teh Ninih mah
oke-oke saja. Meski banyak pula yang berprasangka bahwa sikap Teh Ninih
hanyalah kepura-puraan semata. Mencoba tersenyum di atas luka yang
menganga. Benarkah demikian, Teh? Kasihan sekali ummi yang mencoba
tulus tetap saja dipandang sebelah mata.

Entah setuju atau tidak tentang poligami, jika merujuk lebih jauh
akan ketakutan seorang isteri jika suaminya berpoligami adalah sebuah
ketakutan untuk kehilangan suami. Ketakutan tidak mendapatkan cinta dan
perhatian sepenuhnya. Sebuah ketakutan untuk berbagi. Namun jika kita
mau berkata jujur, bukankah kehidupan ini memang tempatnya untuk
berbagi?

Dalam kehidupan yang banyak dijalani ummahat saat ini pun, meski
suami tidak berpoligami, tetap kita dituntut untuk membagi suami kita.
Dalam drama kehidupan dakwah yang penuh perjuangan dan aktivitas, suami
kita bukanlah sepenuhnya milik kita. 
Suami adalah milik umat tempatnya
berjihad, suami adalah milik Allah yang hanya dipertemukan dengan kita
dalam istana cinta yang dibangun atas dasar untuk mencari keridaan-Nya.
Suatu saat, entah kapan, pasti Dia akan mengambilnya kembali dari
kita.Yap, suamimu bukanlah suamimu sepenuhnya. Dia adalah milik dakwah,
milik umat. 
Jika kemudian ada umat lain yang membutuhkan perhatian dan
cintanya, sulitkah untuk berbagi?

Pernyataan ini saya harap jangan diartikan sebagai sebuah legitimasi
untuk memberikanjalan luas bagi suami untuk "membagi cintanya" tanpa
ada alasan kuat yang menjadikannya membuat keputusanitu. Alangkah
bijaknya ketika niat poligami itu didasarkan semata untuk memberikan
maslahat kepada orang lain, bukan hanya dorongan seksual semata.
Belajar dari Rasulullah, setiap memutuskan untuk menikahi seorang
wanita pasti ada pertimbangan politis yang diambilnya demi untuk
kemaslahatan dakwah dan Islam. Bukankah pertimbangan seperti itu pula
yang seharusnya melandasi para suami untuk "mendua."

Sungguh... alangkah lebih legowonya kita ketika harus berbagi dengan
kerangka ingin mencari ridha-Nya sehingga nantinya semua bisa
menghadap-Nya dengan digelimangi cinta, sepenuh cintahanya untuk-Nya.
                                
sumber:eramuslim.com
---------------------
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian 
itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke