Jangan Bilang; Terserah Allah

Seandainya Rasulullah berkata, “Terserah…” ketika Malaikat menawarkan diri 
untuk membalikkan gunung untuk ditimpakan kepada masyarakat Thaif yang telah 
menolak, menghina dan mendzalimi Rasulullah dan para sahabatnya, mungkin tidak 
ada orang beriman dari kota Thaif, dan cerita selanjutnya pun akan berbeda.

Kalau Muhammad Rasulullah Saw kecewa dan marah, dan menyerahkan sepenuhnya 
kepada Allah dan malaikat-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal –atau 
seberat-beratnya- kepada para penduduk yang membenci dan mencederainya, maka 
sejarah tentang keteladanan Muhammad tidak akan terukir indah. Sebab segala apa 
yang dilakukan Rasulullah, sejak dari kecil hingga besar, mulai dari diamnya, 
kata-katanya, duduk, berdiri dan jalannya, serta gerak-gerik sekecil apapun 
adalah kisah-kisah indah yang tak terpisahkan.

Misalkan masyarakat Thaif benar-benar musnah setelah ditimbun gunung atas 
seizin Rasulullah, dan masyarakat di kota-kota lainnya melihat apa yang terjadi 
di Thaif itu, mungkin mereka yang sebelumnya terpesona dengan ajaran Islam akan 
mundur dan lari dari Islam. Yang semula memuji akhlak Muhammad, akan mencibir 
dan tak lagi mau menjadi pengikutnya, menyelami dan mengamalkan ajarannya.

Muhammad memang manusia pilihan, dan pilihan Allah tidak pernah salah. Ketika 
Thaif menghujaninya dengan batu hingga ia terluka, bahkan malaikat yang konon 
tak memiliki perasaan pun bisa marah hingga menawari Muhammad untuk membalikkan 
sebuah gunung ke masyarakat Thaif, Muhammad menolaknya, “Mereka hanya belum 
tahu…” ini jawaban dari lidah yang senantiasa terperlihara indah itu.

Nabi Allah yang terkenal karena kemuliaan hati dan akhlaknya itu tak sedikitpun 
marah, apalagi menaruh dendam atas penolakan dan penghinaan yang diterimanya. 
Padahal, kalau ia mau, orang yang meludahinya bisa saja tiba-tiba tidak bisa 
bicara, atau putus lidahnya. Kemudian orang yang menghina mulutnya penuh borok 
yang tak kan pernah sembuh seumur hidup. Batu yang diarahkan ke dirinya 
berbalik mengenai yang si pelempar, yang menendang kakinya lumpuh, bahkan 
sekadar memeloti saja bisa buta.

Muhammad bisa bilang, “Ya Allah, dia mengejek saya, cabut nyawanya sekarang” 
maka matilah orang itu. Bisa juga Muhammad berdoa, “Ya Allah, siapapun yang 
menolak saya, putuskan rezekinya”, atau doa, “Orang ini tak menerima ajaran 
Islam, bahkan menghasut orang lain untuk menolaknya, buatlah ia miskin ya 
Allah”. Atau setidaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, “Terserah Engkau 
ya Allah akan ditimpakan musibah jenis apa mereka yang telah menghina agama-Mu…”

Tapi fasilitas itu tidak diminta oleh Muhammad, karena ia tahu masyarakat akan 
semakin menolak dan membencinya. Dakwah Rasulullah justru berhasil dengan 
kemuliaan akhlak dan tutur kata. Keindahan perilaku Muhammad berbuah manis 
dengan diterimanya Islam di kemudian hari. 

Bedanya dengan kita, diejek teman tidak cukup balas mengejek, ditambah memukul 
plus sebaris sumpah, “Saya sumpahin mulutmu sobek…”. Ada teman yang mengambil 
makanan di meja tanpa izin, si pemilik berucap, “Yang makan makanan saya 
perutnya buncit seumur hidup”. Pernah juga kita mendengar, “Saya sumpahin 
tertabrak kereta itu orang,” dari mulut orang yang baru saja kecopetan. Ketika 
didzalimi, kemudian kita menangis dan meminta bantuan Allah, “Ya Allah, 
hukumlah seberat-beratnya orang ini…”. Cerita lain, “dia sudah menyakiti saya 
selama bertahun-tahun, kebahagiaan saya adalah kalau melihat dia sengsara 
seumur hidup…”

Maka tak heran banyak fenomena yang menjadi pelajaran berharga bagi kita, ada 
orang yang selama berhari-hari sebelum meninggal berteriak kepanasan lantaran 
mencaplok hak orang lain secara semena-mena, dan baru meninggal kemudian 
setelah orang bersangkutan datang dan memaafkannya. Ada anak terlahir tidak 
bisa bicara karena ibunya pernah menghina saudaranya, dan saudaranya pernah 
berucap, “Saya tidak ikhlas dihina, saya doain semua keturunan kamu nggak bisa 
ngomong…” dan masih banyak kejadian lainnya.

Doa orang yang didzalimi tidak ada batas, bisa langsung terijabah. Hati-hati 
dengan doa yang diucapkan ketika kita marah dalam keadaan terdzalimi, 
perselisihan yang semestinya bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari, bisa 
berkepanjangan akibat sumpah dan doa buruk dari kita. Rasulullah mencontohkan 
dua hal; maafkan dan doakan untuk kebaikannya. Tidak perlu merasa rugi 
mendoakan kebaikan untuknya, Insya Allah kita mendapatkan lebih banyak kebaikan 
dari yang ia terima. Semoga kita bisa meneladani beliau. (gaw)

http://warnaislam.com


Bayu Gawtama
Life-Sharer
http://bayugawtama.net
087 87 877 1961


Kirim email ke