Penunjukan Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebagai Managing Director World
Bank, merupakan intervensi asing untuk menjegal penuntasan skandal Bank
Century. Itu kata mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie lho, seperti dikutip
situs detik.com. Benarkah demikian? Entahlah. Yang jelas, pada 2008,
Bank Dunia menggelontorkan utang untuk mendanai Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebesar USD 400 juta. Utang ini
harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID yang
diteken 6 Juni 2008. Bank Dunia juga memberi utang untuk mendanai
program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai USD 600 juta, yang
harus dilunasi hingga 2033. Utang juga diberikan untuk menduiti Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Peningkatan Kapasitas Sistem Pendidikan Tinggi,
dan lain-lain. Utang-utang tersebut menggelembungkan utang luar negeri
Indonesia. Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu
(8/2/2010), pemerintah memiliki utang US$ 169,13 miliar atau setara Rp
1.589,78 triliun. Terdiri dari pinjaman US$ 64,93 miliar dan surat
berharga US$ 104,2 miliar. Tahun ini, pemerintah harus membayar utang
luar negeri US$ 8,270 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. Terdiri pokok
utang US$ 5,754 miliar dan bunga US$ 2,517 miliar. Tahun depan, utang
luar negeri yang jatuh tempo US$ 7,474 miliar, terdiri pokok US$ 5,127
miliar dan bunga US$ 2,347 miliar. Tentu saja, there is no such free
lunch. Tak ada makan siang gratis. Presiden Amerika John F Kennedy sejak
1962 sudah mengatakan: "Bantuan luar negeri merupakan suatu metode
Amerika Serikat untuk mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan
memiliki pengawasan di seluruh dunia..." (Magdoff, The Age of
Imperialism). Menurut hasil studi oleh Teresa Hayter, hal-hal yang
dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya: (a) pembelian
barang dan jasa dari negara kreditur; (b) peniadaan kebebasan dalam
melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan
asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) permintaan untuk
melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikehendaki, terutama
swastanisasi dan denasionalisasi. Berdasarkan hal itu, menurut Hayter,
utang secara umum membuat negara-negara debitur menyesuaikan politik
internalnya, menyeleraskan kebijakan luar negerinya, dan terutama
politik ekonominya, dengan kehendak lembaga atau negara kreditur.
Benarlah do'a yang diajarkan Rasulullah SAW: `'Ya Rabbi, aku
berlindung kepada-Mu dari belitan utang (ghalabat al dayn) dan dari
cengkeraman kekuasaan orang lain (qahr al-rijal)`'.Beliau pun
melarang umatnya meninggalkan generasi yang lemah (HR Bukhary).
Ketimbang terus membelitkan diri pada jerat utang luar negeri, para
pegiat ekonomi syariah dan praktisi zakat sudah lama mengajak pemerintah
untuk mandiri dengan potensi swadaya. Termasuk potensi zakat nasional,
yang menurut Menteri Agama RI Suryadharma Ali dan Ketua Umum Badan Amil
Zakat Nasional  Prof Dr Didin Hafidhuddin, bisa mencapai Rp 80 triliun
per tahun (Republika, 18/1/10). Namun, Peneliti Shariah Economic and
Management Institute, M Shiddiq al-Jawi, mengingatkan, zakat tidak bisa
dipaksakan untuk memikul semua beban sistem ekonomi kapitalisme yang
telah menciptakan jurang lebar kaya-miskin (Strahm, 1999:14; Budiman,
1996:65). Tanpa menafikan potensi zakat, kemandirian Indonesia
diniscayakan dengan potensi kekayaan sumberdaya alamnya. Prof Amien Rais
dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, menggambarkan
kekayaan alam Indonesia yang mayoritas sudah dikuasai asing. Misalnya di
sektor migas. Berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001, pemain asing boleh
masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR Hendri
Saparini, lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita
dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel perhari
Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas
Medco 75 ribu barrel. Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron
sekitar 450 ribu barrel perhari.  Seperti diungkapkan Abdullah Sodik,
Ketua Serikat Pekerja Pertamina, dalam diskusi bertema `'BBM Naik,
SBY-JK Turun?'' di Jakarta, 19 Mei 2008, perusahaan independen
lokal baru menguasi cadangan minyak 12% persen dan gas 5%. Sisanya
dikuasai 60-an perusahaan asing termasuk The Big Five: ExxonMobil,
ShellPenzoil, TotalFinaEIf, BPAmocoArco, dan ChevronTexaco, yang
menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Perusahaan asing Major
seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex,
Japex, menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%.  Sebanyak 105
perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas,
termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004). Perusahaan itu antara lain
British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC),
Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Mereka mulai
beroperasi setelah pemerintah dua kali menaikkan harga BBM pada 2005.
Produksi minyak sulit meningkat karena lebih dari 88% sumur minyak
Indonesia dikuasai asing. Kepemilikan minyak mentah perusahaan asing di
perusahaan nasional lebih dari 90% (Investor Daily, 12 Mei 2008). pane
fadlan
Sumber
<http://www.alazharpeduli.com/index.php?menu=berita&judul=mandiri-dengan\
-zakat-dan-sda> 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke