Manusia dihadapan Syari’at Penciptanya

Telah menjadi suratan ilahi bahwa manusia termasuk salah satu makhluk Allah 
yang menjalani roda kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan segala hikmah dan 
keadilan-Nya, Allah menjadikan mereka sebagai makhluk yang dilingkupi oleh 
segala kelemahan dan keterbatasan. Allah menciptakan nenek moyang mereka (Adam) 
dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Hal 
ini sebagaimana firman Allah:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering 
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 26)

Adapun keturunannya, Allah menciptakan mereka dari percampuran setetes air mani 
sepasang insan, suami dan istri. Kemudian Allah menjadikannya mendengar dan 
melihat untuk diuji oleh-Nya dengan berbagai perintah dan larangan. Allah 
berfirman:

“Tidakkah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika 
itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah 
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak 
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia 
mendengar dan melihat.” (al-Insan: 1—2)

Tak ubahnya makhluk hidup lainnya, manusia pun mengalami sekian fase dalam 
kehidupannya. Tercipta sebagai hamba yang lemah, kemudian menjadi kuat 
(fisiknya) dan kembali mengakhiri kehidupannya dalam keadaan lemah. Allah 
berfirman:

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia 
menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia 
menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia 
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha 
Kuasa.” (ar-Rum: 54)

Manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya sangat membutuhkan Allah, 
Pencipta alam semesta, petunjuk, bimbingan, pertolongan, dan syariat-Nya. Allah 
berfirman:

“Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan Allah 
Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 
15)

Kebutuhan tersebut semakin besar manakala manusia ditetapkan oleh Allah Yang 
Mahahakim sebagai makhluk mukallaf (yang berkewajiban menjalankan segala yang 
diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan-Nya) di dunia ini. Tanpa 
pertolongan Allah, taufiq dan hidayah-Nya tak mungkin keselamatan hidup bisa 
didapat. Tanpa mengikuti agama dan syariat yang diridhai-Nya tak mungkin 
kebahagiaan bisa diraih. Tanpa nikmat, karunia, dan kekuatan dari-Nya pula tak 
mungkin manusia bisa menjalani pahit getirnya kehidupan. Bagaimanapun 
kondisinya, ia adalah makhluk yang lemah. Meskipun segudang harta telah 
ditimbunnya dan setumpuk gelar duniawi telah disandangnya. Allah berfirman:

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan (bersifat) lemah.” (an-Nisa’: 28)

Islam, Anugerah Utama yang Diberikan oleh Allah kepada Manusia

Di antara kasih sayang Allah terhadap manusia yang selalu dilingkupi oleh 
kelemahan dan keterbatasan tersebut adalah agama Islam dan syariatnya yang 
mulia. Dialah Yang Maha Berkehendak dan Memilih agama Islam sebagai pijakan dan 
pedoman hidup mereka dalam menjalani roda kehidupan. Allah berfirman:

“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. 
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (al-Qashash: 68)

Islam adalah satu-satunya agama yang dibawa para nabi dan rasul di muka bumi 
ini. Satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah dan tak diterima amalan ibadah 
selain dengannya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 
19)

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan 
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang 
merugi.” (Ali Imran: 85)

Agama Islam yang dibawa para nabi dan rasul tersebut mempunyai prinsip 
keyakinan (aqidah) yang sama, tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya. 
Semuanya bersendikan iman kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, mendekatkan 
diri kepada-Nya dan tunduk patuh kepada-Nya. Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, 
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan segala ketentuan-Nya (qadha 
dan qadar). Kemudian beristiqamah di atas agama yang mulia tersebut, dengan 
menegakkan syariatnya, bersatu di atasnya dan tidak berpecah belah tentangnya. 
Ini sebagaimana firman Allah:

Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 
“Beribadahlah hanya kepada Allah (saja), dan jauhilah segala sesembahan selain 
Allah itu.” (an-Nahl: 36)

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, 
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, 
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka 
mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) 
dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” 
(Mereka berdoa): “Ampunilah kami wahai Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat 
kembali.” (al-Baqarah: 285)

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama apa yang telah 
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa 
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah 
agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

Adapun syariat (rincian aturan hidup yang harus dijalani) yang dibawa oleh para 
nabi dan rasul tersebut kepada umatnya, ada perbedaan satu dengan yang lain 
sesuai dengan hikmah kehidupan yang Allah kehendaki. Allah berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang 
terang.” (al-Maidah: 48)

Di antara perbedaan mendasar antara syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah 
selaku nabi akhir zaman yang tidak ada nabi setelahnya dan syariat para nabi 
serta rasul sebelum beliau adalah bahwa syariat beliau berlaku untuk seluruh 
umat manusia (universal) sepanjang masa, sedangkan syariat para nabi dan rasul 
sebelum beliau terbatas sasarannya (untuk kaum tertentu saja) dan masanya. 
Allah berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai 
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.” (Saba’: 28)

Rasulullah bersabda:

“Dahulu, seorang nabi diutus kepada kaumnya semata, sedangkan aku diutus kepada 
umat manusia secara keseluruhan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat 
Jabir bin Abdillah)

Karena syariat Rasulullah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, dengan 
segala kasih sayang dan hikmah-Nya yang tinggi, Allah menyempurnakan syariat 
beliau sehingga memenuhi segala kebutuhan umat manusia dalam kehidupan mereka 
dan relevan (cocok) untuk setiap generasi di masanya. Firman Allah:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah 
Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai 
agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)

Dengan demikian, cukuplah bagi seluruh umat manusia untuk mengikuti syariat 
Rasulullah semata, tanpa syariat yang dibawa para nabi dan rasul sebelum 
beliau. Bahkan, setelah diutusnya beliau, semua syariat dari agama yang dibawa 
para nabi dan rasul sebelum beliau tidak bisa dijadikan sebagai agama, dan 
tidak bisa pula mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Semua itu telah 
terwakili dengan syariat Islam yang dibawa Rasulullah. Ini sebagaimana sabda 
beliau:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umatku 
ini (yang aku diutus kepadanya) dari kalangan Yahudi dan Nashrani kemudian 
meninggal dunia dalam keadaan belum beriman dengan apa (syariat) yang aku bawa, 
melainkan termasuk dari penghuni neraka (an-Nar).” (HR. Muslim, dari sahabat 
Abu Musa al-Asy’ari)

Di Bawah Naungan Syariat Islam

Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah, selain sempurna dan memenuhi segala 
kebutuhan umat manusia dalam kehidupan mereka, ia pun sangat sesuai dengan 
fitrah yang suci, karena tidak mengandung kesempitan dan belenggu yang 
memberatkan. Ini sebagaimana firman Allah:

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” 
(al-Hajj: 78)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah 
al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Syariat 
ini adalah syariat yang penuh kemudahan, toleransi, kasih sayang, dan kebaikan. 
Syariat yang penuh kemaslahatan yang tinggi dan senantiasa memerhatikan 
berbagai sisi yang dapat mengantarkan para hamba kepada kebahagiaan dan 
kehidupan mulia, di dunia dan di akhirat.”

Betapa indah syariat Islam yang dibawa Rasulullah. Syariat yang memerhatikan 
hubungan antara hamba dengan Allah sang Pencipta, memosisikan-Nya sebagai 
tumpuan hidup, berserah diri kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya, 
memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu 
pun. Syariat yang memerhatikan hubungan antara hamba dan sesamanya, yaitu 
dengan cara menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua, 
menyantuni yang lemah, membantu orang yang terlilit utang, menyambung tali 
silaturahmi, menjaga hubungan baik dengan tetangga, memuliakan tamu, jujur 
dalam segala bentuk transaksi, dan sebagainya. Syariat yang bersifat adil dan 
tepat, tidak berlebihan, serta tidak bermudah-mudahan dalam segala aspeknya.

Tak heran jika Allah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia dan umatnya agar 
mengikuti syariat yang sempurna tersebut. Firman Allah:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (rincian aturan hidup 
yang harus dijalani) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan 
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” 
(al-Jatsiyah: 18)

Para pembaca yang mulia, kehidupan di bawah naungan syariat Islam sangat 
berbeda dengan kehidupan yang jauh darinya. Di bawah naungan syariat Islam, 
umat manusia—yang sebelumnya berada dalam jurang kejahiliahan—terbimbing meraih 
hidayah. Sekian banyak orang —yang sebelumnya tenggelam dalam bid’ah dan 
kesesatan—mendapatkan hidayah kepada as-Sunnah. Dua kekaisaran adikuasa dunia, 
Romawi dan Persia, dapat ditaklukkan. Tidak sedikit dari mereka yang 
mendapatkan hidayah Islam. Demikian pula negeri-negeri kafir yang sebelumnya 
dipenuhi oleh kesyirikan dan kemaksiatan berubah menjadi negeri tauhid dan 
takwa yang berlimpah rahmat.

Demikianlah syariat Islam. Tidaklah masuk pada sebuah individu melainkan 
membuatnya penuh rahmat. Tidaklah masuk ke dalam keluarga melainkan membuat 
mereka penuh rahmat. Tidaklah masuk ke suatu kaum melainkan membuat mereka 
penuh rahmat. Bahkan tidaklah masuk ke sebuah negeri melainkan membuatnya penuh 
rahmat. Sejarah telah mencatat bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah 
adalah rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Allah berfirman:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta 
alam.” (al-Anbiya’: 107)

Sungguh berbeda kondisi orang-orang yang hidup di bawah naungan syariat Islam 
dengan orang-orang yang hidup berkesumat benci terhadapnya. Allah berfirman:

“Apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam 
lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? 
Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk 
mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah orang yang dilapangkan dadanya 
oleh Allah untuk (menyambut) agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala 
hukum (syariat) yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan 
di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah “ia mendapat cahaya dari 
Rabbnya”), sama dengan selainnya? Yaitu orang-orang yang membatu hatinya 
terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah, dan berat hatinya untuk 
menyebut (nama) Allah. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari (ibadah kepada) 
Rabbnya dan justru mempersembahkan (ibadah tersebut) kepada selain Allah. 
Merekalah orang-orang yang ditimpa oleh kecelakaan dan kejelekan yang besar.” 
(Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)

Kewajiban Menerapkan Syariat Islam

Para pembaca yang mulia, dari penjelasan yang telah lalu dapatlah disimpulkan 
bahwa siapa saja yang mendambakan hidup bahagia di dunia dan di akhirat 
hendaknya menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupannya. Apapun 
status sosialnya, apakah ia seorang pemimpin atau yang dipimpin, penguasa atau 
rakyat jelata, guru atau murid, kaya atau miskin, pengusaha atau pedagang, 
nelayan atau petani, lelaki atau wanita, sudah menikah atau gadis, dan 
sebagainya. Semuanya diseru oleh Allah untuk masuk ke dalam agama Islam secara 
total (kaffah) dan menerapkan syariatnya dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan 
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh 
yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)

“Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila 
Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. 
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan 
sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al-Anfal: 24)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah 
al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Allah 
menjadikan sikap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan 
sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Oleh karena itu, 
jelaslah bahwa syariat Islam adalah kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan 
mereka. Sungguh, tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka, tanpa itu 
semua.”

Lebih dari itu, Allah berjanji kepada orang-orang yang menerapkan syariat-Nya 
dalam kehidupan ini dengan beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, akan 
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, meneguhkan bagi mereka agama yang 
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, 
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Hal ini sebagaimana dalam 
firman-Nya:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan 
mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan 
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang 
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang 
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) 
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap 
beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan 
Aku.” (an-Nur: 55)

Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Saya bertekad menerapkan 
syariat Islam yang mulia. Namun, syariat yang seperti apakah yang harus 
diterapkan dan bagaimana cara menerapkannya?”

Wahai saudaraku, sesungguhnya ilmu adalah pembimbing utama untuk mengetahui 
rincian syariat yang harus diterapkan tersebut, sekaligus cara penerapannya. 
Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan bimbingan para 
sahabat yang mulia. Untuk mencapainya, tentu dibutuhkan proses menuntut ilmu 
dan senantiasa bertanya kepada ahlinya (ulama) tentang berbagai permasalahan 
yang rumit.

Perlu diketahui, syariat Islam yang harus diterapkan tersebut bersifat 
menyeluruh, mencakup segala aspek kehidupan. Mulai yang terkait dengan ibadah 
mahdhah (murni) hingga masalah muamalah (interaksi dengan sesama). Mulai amalan 
individu hingga amalan yang bersifat kebersamaan (jamaah). Ia tidak terbatas 
pada penerapan hukuman pidana (hudud) semata: qishash, potong tangan pencuri, 
rajam, dan yang semisalnya. Penerapan syariat Islam pun tidak dibatasi oleh 
ruang lingkup atau kondisi tertentu. Tidak seperti paham sesat sekuler yang 
memisahkan antara agama/syariat dan dunia. Agama/syariat tempatnya di masjid 
semata, sedangkan di luar masjid bebas berbuat apa saja. Tidak pula seperti 
doktrin sesat sebagian harakah, syariat Islam apapun bentuknya tidak bisa 
diterapkan selama belum berdiri Negara Islam.

Pembaca yang mulia, penerapan syariat Islam di masa Rasulullah dan para 
sahabatnya tidak menunggu berdirinya Negara Islam. Berbagai syariat yang 
bersifat amalan individu atau yang bersifat kebersamaan dan memungkinkan untuk 
diterapkan, segera mereka terapkan. Dimulai dari elemen terkecil yakni individu 
masing-masing, kemudian keluarga, dan kemudian elemen yang lebih besar lagi 
hingga masyarakat luas.[1]

Adapun syariat Islam yang penerapannya tidak mungkin dilaksanakan selain dengan 
keterlibatan pemerintah Islam, seperti hukuman qishash, potong tangan pencuri, 
rajam, dan yang semisalnya, tidak diterapkan melainkan setelah adanya 
pemerintahan Islam tersebut. Demikianlah yang terjadi di masa Rasulullah. 
Tidaklah hukuman qishash, potong tangan pencuri, rajam, dan yang semisalnya 
diterapkan melainkan setelah adanya pemerintah Islam yang dipimpin oleh 
Rasulullah di kota Madinah.

Berangkat dari sini, marilah kita semua mempelajari hakikat syariat Islam yang 
dibawa oleh Rasulullah secara utuh dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan 
individu dan keluarga kita masing-masing. Dengan itu, insya Allah syariat Islam 
dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Jangan bermimpi syariat Islam dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan 
bermasyarakat sementara kita dan keluarga kita masih buta tentang hakikat 
syariat Islam tersebut. Jangan bermimpi syariat Islam dapat diterapkan dalam 
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sementara orang-orang yang getol 
memperjuangkannya belum menerapkannya dalam kehidupan individu dan keluarganya.

Wallahul Musta’an.

Catatan Kaki:
[1] Berkat kesungguhan dan ketulusan mereka dalam menerapkan syari’at Islam 
itulah akhirnya Allah mewujudkan janji-Nya untuk mereka. Allah menjadikan 
mereka berkuasa di muka bumi, meneguhkan bagi mereka agama yang telah 
diridhai-Nya untuk mereka, dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, 
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, sebagaimana yang 
terkandung dalam surat An-Nur ayat 55 di atas.

Sumber: www.asysyariah.com


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke