Sikap Wara’ Dalam Beragama 

(Syarh Hadist Ke-6 Al-Arbain Annawawiyyah)

Dari Abu Abdillah anNu’man bin Basyir –semoga Allah meridlainya- beliau 
berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya 
terdapat perkara yang samar (musytabihat) tidak diketahui oleh kebanyakan 
manusia. Barangsiapa yang menghindari syubuhat maka ia membersihkan Dien dan 
kehormatannya. Barangsiapa yang masuk ke dalam syubuhat maka ia (hampir) masuk 
ke dalam haram, bagaikan penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar 
himaa (wilayah yang dilindungi), hampir-hampir saja ternak itu makan di tempat 
yang dilindungi tersebut. Ingatlah, sesungguhnya setiap raja memiliki wilayah 
khusus yang dilindungi, ingatlah bahwa wilayah khusus yang dilindungi bagi 
Allah adalah keharamannya. Ingatlah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal 
daging. Jika baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika rusak, maka rusaklah 
seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa (segumpal daging)
 itu adalah hati (H.R alBukhari dan Muslim)

SEDIKIT PENJELASAN TENTANG SAHABAT NU’MAN BIN BASYIR

Sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini adalah anNu’maan bin Basyir. Beliau 
adalah Sahabat Nabi yang dilahirkan 8 tahun sebelum Rasul shollallahu ‘alaihi 
wasallam wafat (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir dalam Usudul Ghobah). 
Para Ulama’ menganggap bahwa periwayatan Sahabat Nabi yang masih kecil (saat 
Nabi menyampaikan hadits) adalah periwayatan yang sah.

Pelajaran penting yang diambil dari sini, orang tua tidak perlu menghalangi 
seorang anak kecil yang tertarik dengan suatu majelis ilmu untuk hadir dan 
menyimaknya dengan baik, karena hal itu sudah memberikan kebaikan yang banyak 
kepadanya. Bahkan, suatu faidah ilmiyah yang pernah ia dapatkan dari suatu 
majelis akan tertanam kuat hingga bertahun-tahun kemudian. Hal ini berlaku 
untuk anak yang tenang saat ta’lim dan punya ketertarikan yang tinggi dengan 
kajian ilmu [21]

KESALAHPAHAMAN TENTANG HADITS 

Sebagian orang salah memahami makna hadits ini. Mereka menganggap bahwa untuk 
setiap orang, hukum itu terbagi 3 : halal, haram, dan samar (musytabihat).

Padahal, yang dimaksud oleh Nabi adalah tidak sama antara satu orang dengan 
orang yang lain. Bagi si A, hukum perkara tertentu adalah tidak jelas (samar), 
sedangkan bagi B yang lebih alim dibandingkan A, ia bisa membedakan dengan 
jelas bahwa perkara itu benar-benar halal atau benar-benar haram. Kesamaran itu 
menjadi berkurang atau bahkan hilang ketika ilmu Dien seseorang bertambah. Dari 
sini nampak pentingnya ilmu, karena ilmu adalah sebagai penerang jalan yang 
memudahkan seseorang membedakan suatu yang haq dengan yang batil, dan yang 
halal dengan yang haram. Sehingga ia beramal di atas keyakinan, dan 
meninggalkan sesuatu juga di atas keyakinan. Sedangkan kesamaran meninggalkan 
keraguan.

SIKAP WARA’

Hadits ini merupakan landasan sikap wara’. Wara’ adalah suatu sikap 
berhati-hati meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan kehidupannya 
di akhirat nanti. Seseorang yang meninggalkan suatu hal yang masih samar karena 
khawatir termasuk perbuatan haram, itu adalah bentuk sikap wara’.

Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau menjadi manusia yang paling (tinggi 
kualitas) ibadahnya (H.R Ibnu Majah, dinyatakan sebagai sanad yang hasan oleh 
alBushiri dalam Mishbahus Zujaajah)

Ibnul Mubarak (salah seorang guru Imam al-Bukhari) berkata: Sungguh aku 
mengembalikan harta satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih aku 
cintai dari pada bersedekah dengan seratus ribu (dirham),…hingga 600 dirham 
(Shifatus Shofwah (4/139)).

PERUMPAMAAN ‘WILAYAH YANG DIJAGA’

Dalam hadits ini Nabi menyatakan bahwa raja-raja biasanya memiliki 
wilayah-wilayah yang dikhususkan. Biasanya areal wilayah khusus yang memiliki 
banyak rumput untuk penggembalaan ternak tertentu. Barangsiapa yang tanpa ijin 
menggembalakan ternaknya di tempat itu, bisa terkena hukuman dari raja.

Sedangkan Allah memiliki wilayah khusus yang berupa larangan-larangan/ sesuatu 
yang diharamkan. Barangsiapa yang masuk dalam wilayah itu, akan terkena adzab 
Allah.

Perumpamaan seseorang yang mengambil sesuatu yang samar (musytabihaat) adalah 
bagaikan penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekeliling wilayah yang 
dijaga tersebut. Sangat riskan sekali ternaknya masuk ke dalam wilayah 
terlarang itu. Seperti perkara yang ‘samar’ bagi seseorang sangat mudah 
menjerumuskannya ke dalam keharaman.

MEMPERBAIKI HATI

Dalam hadits ini disebutkan bahwa hati adalah ‘raja’ bagi seluruh anggota tubuh 
yang lain. Jika baik hatinya, akan baik seluruh anggota tubuh, sebaliknya jika 
buruk, maka yang lain tidak akan baik.

Ada beberapa upaya untuk menghidupkan, melembutkan, dan menjernihkan hati. Di 
antaranya:

1. Membaca dan tadabbur (memikirkan dengan penuh pemahaman) al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah penghidup hati yang mati. Karena itu Allah sebut al-Qur’an 
sebagai “ruh”. AlQuran adalah penyinar hati dan membuatnya bercahaya

Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dari perintah Kami. 
Sebelumnya engkau tidak tahu apakah kitab dan iman itu. Akan tetapi Kami 
jadikan ia (al-Quran) sebagai cahaya yang dengannya Kami memberikan hidayah 
kepada siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami (Q.S asy-Syuuro:52)

Al-Qur’an adalah obat hati:

Wahai sekalian manusia, telah datang nasehat dari Tuhanmu (alQuran) dan sebagai 
obat bagi yang berada di dalam dada (hati), dan sebagai petunjuk serta rahmat 
bagi orang yang beriman (Q.S Yunus:57)

2. Berdzikir dengan lisan dan hati

“Ingatlah, dengan berdzikir hati menjadi tenang” (Q.S arRa’d:28).

3. Menjaga lisan dari segala ucapan yang mengandung dosa dan kesia-siaan.

Tidaklah akan istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidak 
akan istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya (H.R Ahmad, dihasankan oleh 
Syaikh al-Albany dalam Shahih atTarghib wat Tarhiib)

4. Selalu berusaha untuk mengingkari kemungkaran menjadikan hati putih bersinar.

“Hati senantiasa dihadapkan dengan ujian (kemunkaran) bagaikan anyaman tikar 
sehelai dan sehelai. Hati yang menelannya akan diberi bintik hitam, sedangkan 
hati yang mengingkarinya akan diberi bintik putih. (Demikian terus berlangsung) 
hingga akan terdapat 2 jenis hati: (1) Hati yang hitam bagaikan mangkuk 
terbalik tidak mengenal mana yang ma’ruf dan mana yang munkar, kecuali yang 
diserap hawa nafsunya. (2) Hati yang putih (cemerlang) yang tidak akan 
berpengaruh mendapatkan fitnah selama masih ada langit dan bumi” (H.R Muslim).

5. Puasa Ramadlan dan diikuti 3 hari setiap bulan (Hijriah)

Puasa pada bulan kesabaran (Ramadlan) dan 3 hari setiap bulan akan 
menghilangkan ‘wahar’ (dengki, permusuhan, kemarahan) dalam dada (H.R Ahmad dan 
alBazzar, alHaitsamy menyatakan bahwa rijalnya adalah rijal as-Shohih).

6. Istighfar dan taubat penjernih hati

Sesungguhnya seorang mukmin jika berdosa akan ditandai titik hitam pada 
hatinya. Jika ia bertaubat, mencabut kemaksiatannya dan beristighfar, maka 
hatinya akan mengkilap (H.R Ahmad)

Catatan kaki
[21] Namun, kondisi tiap anak berbeda satu sama lain. Ada di antara mereka yang 
diam ketika ikut ta’lim, namun tidak sedikit yang justru menimbulkan kegaduhan 
dan mengganggu jalannya ta’lim. Untuk anak-anak yang seperti itu (mengganggu 
jalannya ta’lim) semestinya ‘diamankan’ dan tidak dilibatkan, karena hal itu 
bisa memberikan mudharat yang lebih besar.

Kegaduhan pada saat penyampaian kajian ilmu adalah sebuah mudharat yang besar. 
Penerimaan ilmu dari peserta kajian menjadi tidak seperti yang diharapkan. 
Padahal ilmu Dien adalah suatu hal yang sangat penting dan krusial. Keliru 
dalam memahami, bisa berdampak besar. Penjelasan tentang suatu hukum yang 
haram, bisa saja ditangkap sebagai suatu hal yang halal, dan sebaliknya, karena 
suara penceramah berbaur dengan bunyi kegaduhan tersebut. Penceramah juga tidak 
bisa menyampaikan ilmu dengan baik.

Sumber: 
http://www.salafy.or.id/sikap-wara-dala-beragama-syarh-hadist-ke-6-al-arbain-annawawiyyah/


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke