Dampak Negatif Maksiat dan Dosa :
Maksiat Mengkhianati Pelakunya Pada Saat Dibutuhkan

Di antara dampak maksiat adalah menghalangi pelakunya dalam memperoleh hal yang 
paling dibutuhkan oleh jiwanya. Setiap orang membutuhkan pengetahuan tentang 
perkara yang memberikan manfaat atau mudharat di dalam kehidupannya di dunia 
dan akhiratnya. Orang yang paling berilmu adalah yang mengetahui secara rinci 
tentang hal itu; sedangkan orang yang paling kuat serta paling cerdas adalah 
orang yang mampu menjaga diri dan keinginannya lalu menggunakan kemampuan itu 
untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya dan menjauhkan sesuatu yang 
membahayakannya.
Dalam perkara ini, tingkatan manusia berbeda-beda dari segi pengetahuan, tekad 
dan kedudukan. Orang yang paling mengetahui adalah yang paling memahami 
sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan. Orang yang paling mendapat petunjuk 
adalah yang mengutamakan kebahagiaan daripada kesengsaraan. Adapun orang yang 
paling dungu adalah yang berbuat sebaliknya.
Dalam hal meraih pengetahuan tadi, maksiat mengkhianati seorang hamba dalam 
perkara yang paling dibutuhkan oleh jiwanya, serta mendahulukan bagian yang 
paling mulia, mahal dan kekal atas bagian yang paling rendah, jelek dan tidak 
kekal. Dosa dapat menghalanginya dari kesempurnaan ilmu tersebut, juga dari 
perhatian terhadap perkara yang paling utama untuk dikerjakan, serta berbuat 
sesuatu yang paling bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat.
Apabila hamba tersebut terjatuh pada perkara yang dibenci dan ingin terlepas 
darinya, niscaya dia dikhianati oleh jiwa, hati, serta anggota tubuhnya. Pelaku 
maksiat ibarat orang yang membawa pedang berkarat sehingga tidak mau keluar 
dari sarungnya, padahal dia sedang menghadapi musuh yang ingin membunuhnya. Ia 
meletakkan tangannya pada gagang pedangnya dan berusaha keras untuk 
mencabutnya, tetapi pedang tersebut tetap tidak mau keluar dari sarungnya. 
Akibatnya, musuh segera mendatanginya dan memenangkan pertarungan dengan mudah.
Demikian pula dengan hati. Ia berkarat karena dosa dan mati oleh penyakit yang 
diakibatkan maksiat. Ia tidak berdaya ketika pemiliknya membawanya untuk 
memerangi musuh. Sungguh,  seorang hambu itu maju, berperang, dan bertarung 
dengan hatinya, sedangkan anggota-anggota badan hanyalah mengikuti hati. Jika 
seorang hamba tidak memiliki kekuasaan terhadap seluruh anggota tubuhnya, maka 
bagaimana dia dapat melindungin diri?
Begitu juga halnya dengan jiwa. Maksiat dan syahwat membuatnya buruk. An-Nafs 
al-muthmainnah (jiwa yang tenteram) menjadi lemah ketika An-Nafs al-ammaarah 
(jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan) menguat dan berkuasa. Setiap kali 
jiwa yang satu kuat maka jiwa yang lainnya melemah. Sehingg (dalam konteks 
ini), kekuasaan akan menjadi milik jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan.
Tidak menutup kemungkinan bahwa an-nafs al-muthmainnah tersebut telah mati dan 
tidak mungkin lagi dihidupkan. Seperti itulah kematian di alam barzakh, yang 
tidak pula hidup di akhirat. Kehidupan yang ada tidak bermanfaat, melainkan 
hanya kepedihan yang hadir.
Intinya, ketika pelaku maksiat ditimpa musibah atau bencana, dia dikhianati 
oleh hati, lisan, dan anggota tubuhnya dalam perkara yang paling bermanfaat 
untuknya. Hatinya tidak bertawakal, tidak merendahkan diri, dan tidak kembali 
kepada Allah. Lisannya tidak mau mentaatinya untuk berzikir. Kalaupun dapat 
berzikir, dia tidak mampu menyatukan antara hati dan lisannya. Hatinya terpisah 
dari lisannya sehingga dzikir tidak membawa dampak positif baginya. Ditambah 
lagi, hati dan lisannya terhalang dari apa yang disebutnya dalam dzikir; hingga 
tidaklah dia berdoa atau berdzikir  melainkan dengan hati yang lalai dan 
main-main. Setiap kali orang ini meminta anggota tubuhnya untuk membantunya 
dalam ketaatan, mereka menolak dan tidak mau tunduk kepadanya.
Semua dampak ini disebabkan oleh pengaruh dosa dan maksiat. Pelaku dosa itu 
seperti seseorang yang memiliki pasukan untuk melindunginya dari serangan 
musuh, tetapi dia mengabaikan, menyianyiakan, melemahkan, dan memutuskan jalur 
informasi mereka. Ironisnya tatakala musuh menyerang, dia ingin agar pasukan 
tersebut mengerahkan segala kemampuan mereka untuk melindunginya, tanpa 
didukung oleh adanya kekuatan pasukan tersebut.
Terdapat perkara lain yang lebih menakutkan dan menyakitkan, yaitu pelaku dosa 
dikhianati oleh hati dan lisannya ketika sedang mengalami sakaratul maut atau 
hendak berpulang menuju Allah; bahkan tidak jarang dia terhalangi dari 
mengucapkan syahadat, seperti yang banyak disaksikan.
Dikatakan kepada sejumlah orang yang sedang menjemput maut :
"Ucapkanlah : Laa ilaaha illallah."
Ada yang menjawab :" ah, ah, aku tidak bisa mengucapkannya."
Ada pula yang menjawab :"skak mati! Sekarang, aku telah mengalahkanmu (teringat 
ketika bermain catur)." Setelah mengucapkan hal itu, dia pun meninggal dunia.
Dikatakan oleh yang lain :"ucapkanlah " 'Laa ilaaha illallah,' tetapi dia 
justru melantunkan sya'ir di bawah ini lantas dia meninggal :
Duhai, siapakah wanita yang suatu hari bertanya dalam keletihan : "manakah 
jalan menuju tempat pemandian minjab?"
Ada  yang ketika sakaratul maut mendendangkan lagu sampai dia menghembuskan 
napasnya yang terkahir.
Ada juga yang justru membantah :" apa yang kamu ucapkan itu tidak bermanfaat 
untukku sebab aku telah melakukan segala macam kemaksiatan." Setelah itu, dia 
meninggal tanpa sempat mengucapkan kalimat syahadat tersebut.
Adapula yang menjawab :"hal itu tidak bermanfaat untukku. Aku sendiri tidak 
ingat, apakah aku pernah melakukan shalat untuk Allah meskipun hanya sekali?" 
ia pun meninggal tanpa mengucapkan syahadat.
Ada diantara mereka yang menentang syahadat:"Aku kafir (mengingkari) terhadap 
yang kamu ucapkan."kemudian, meninggal dunia tanpa mengucapkannya.
Ada yang menjawab:"Setiap kali aku hendak mengucapkannya. Lisanku terhalang 
(kaku)."
Saya pernah diberitahu oleh orang yang pernah menghadiri sakaratul maut seorang 
pengemis. Menjelang ajalnya, pengemis tersebut berkata:"Recehannya, demi Allah, 
recehannya ...," hingga akhirnya meninggal.
Saya juga diberitahu oleh sebagian pedagang, bahwasanya ketika ada kerabatnya 
mengalami saskaratul maut dan di talqin (dituntun) dengan kalimat Laa ilaha 
illallah, dia malah berkata :"Barang ini murah, barang ini bagus, barang ini 
begini dan begitu ...," hingga akhirnya meninggal.
Subhannallah! Sudah banyak orang yang menyaksikan hal ini untuk dijadikan 
pelajaran. Padahal, yang tidak mereka ketahui dari keadaan orang-orang yang 
mengalami sakaratul maut masih jauh lebih banyak lagi.
Jika seorang hamba mampu dikuasai dan dikendalikan oleh syaithan untuk berbuat 
maksiat kepada Allah ketika kekuatan, pikiran dan daya ingatnya berada pada 
puncaknya, sehingga hati dan lisannya dilalaikan dari dzikir kepada Allah serta 
anggota-anggota tubuhnya dilalaikan dari ketaatan kepada-Nya; maka bagaimana 
pula ketika kekuatannya lemah, sementara hati dan jiwanya tersibukkan dengan 
rasa sakit sakaratul maut, ditambah lagi, syaithan telah mengumpulkan seluruh 
tekad, upaya dan kekuatannya untuk mengambil kesempatan di akhir amalnya ? 
kondisi syaithan yang paling kuat adalah pada waktu itu. Sebaliknya, kondisi 
orang hamba justru paling lemah pada saat tersebut. Maka siapa diantara mereka 
yang akan selamat ?
Pada saat itulah, ... : dapat dilihat bahwasanya Allah berfirman pada Surat 
Ibrahim ayat 27.
[cid:image001.jpg@01CE75EC.B2A3BD50]
Dengan demikian, bagaimana mungkin taufik untuk husnul khatimah (cara kematian 
yang baik) akan didapatkan oleh seseorang yang hatinya lalai dari dzikir 
kepada-Nya, yang selalu mengikuti hawa nafsunya, dan keadaannya yang melampaui 
batas ? Sungguh, orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah Subhana wa 
Ta'ala sangat jauh dari husnul khatimah, tertawan oleh syahwatnya, lisannya 
kering dari dzikir kepada-Nya, dan anggota-anggota tubuhnya tidak mentaati 
perintah-Nya; bahkan dia selalu sibuk dengan maksiat. Maka jauhlah dia dari 
husnul khatimah.
Rasa takut kepada Su'ul khatimah (cara kematian yang buruk) telah mematahkan 
tulang punggung orang-orang yang bertakwa. Di sisi lain, orang-orang zalim yang 
berbuat keburukan seolah-olah mendapat jaminan keamanan dalam hal ini. Dapat 
dilihat pada surat Al Qolam ayat 39-40.

[cid:image002.jpg@01CE75EC.B2A3BD50]
[cid:image003.jpg@01CE75EC.B2A3BD50]

Hal itu sebagaimana yang dikatakan dalam syair :
Wahai orang yang merasa aman dengan perbuatannya yang tercela, apakah 
tandatangan (jaminan) untuk mendapatkan keamanan telah kau miliki ?
Engkau gabungkan dua perkara : rasa aman dan hawa nafsu, padahal satu dari 
keduanya membinasakan seseorang.
Orang-orang yang baik selalu berjalan dia atas jalan kekhawatiran, sementara 
jalan tersebut, untukmu, tidak pernah kau lewati.
Engkau lalai menanam di musin tanam karena kebodohan, lalu bagaimana mungkin 
ketika orang lain panen kau akan menuai ?
Beginilah, sungguh, suatu yang menakjubkan dirimu adalah berpaling dari 
kehidupan negeri abadi dengan kehidupan (dunia) yang akan kau tinggalkan.
        Jadi, demi Allah, siapakah orang yang bodoh itu, engkaukah? Atau orang 
yang tertipu dalam jual beli yang segera ia ketahui.

Sumber : Kitab Ad-Daa' wa ad-dawaa', Pengarang : Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah.




***** This message may contain confidential and/or privileged information. If 
you are not the addressee or authorized to receive this for the addressee, you 
must not use, copy, disclose or take any action based on this message or any 
information herein. If you have received this communication in error, please 
notify us immediately by responding to this email and then delete it from your 
system. PT Pertamina (Persero) is neither liable for the proper and complete 
transmission of the information contained in this communication nor for any 
delay in its receipt. *****


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke