Rupanya masih ada juga berita yg.menyejukan hati,setelah beberapa hari 
terahir saya banyak mendengar/membaca berita2 yg.kurang menyenangkan.
Menurut pendapat saya,alangkah baiknya jika hal2 ideal seperti 
yg.tertulis dibawah ini bisa terwujud di seluruh Indonesia,sehingga hal2 
negatif seperti saling memaki,memfitnah,dst.yg.bisa mempertajam dan 
memperbesar 'perbedaan' diantara kita bisa dihilangkan.
Karena yg.kita perlukan bersama sekarang ialah saling membantu&saling 
melindungi dan utk.itu 'persamaan'diantara kitalah yg.hrs.kita pelihara 
dan kembangkan.

salam.

-------------

WASPADA, Selasa, 16 Maret 1999

Realita Lain di Sejumlah Desa Ambon:
Kristen Dan Islam Saling Melindungi

AMBON (Waspada): Muslim-Kristiani bahu membahu suatu sore di sebuah 
warung
kopi di kota Ambon. Belasan orang terlihat memenuhi warung kopi--sebutan
untuk restoran di sana--yang terbesar di kota itu.

Sejumlah laki-laki berkulit gelap, dengan rambut bergelombang duduk
melingkari meja.  Sedangkan lelaki berkulit agak terang, dengan rambut
lurus, mengikuti berita di pesawat televisi. Di dekat pintu masuk, 
terlihat
seorang lelaki berkulit kuning, dengan mata sipit,  asyik menikmati
makannya. Masing-masing sibuk dengan keperluan mereka.

Mestinya tak ada yang istimewa dari pemandangan itu, sebagaimanaa
dituturkan seorang periset yang baru saja balik dari sana. Tapi setting
biasa tadi berlangsung di sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan 
Sultan
Babulah, kurang lebih 300 meter dari Masjid Alfatah, tempat konsentrasi
masyarakat muslim Ambon. Dan yang menarik, "potret" tersebut berlangsung 
di
awal bulan ini, ketika kerusuhan atas nama suku yang berlanjut dengan
perseteruan atas nama agama masih meminta korban.

"Tak ada Islam, tak ada Kristen, tak ada soal suku, kami makan dengan
tenang," kata mereka. Apakah penggalan "adegan" di atas cermin pela 
gandong
yang kabarnya mulai rontok? Mungkin ya, mungkin tidak.

Tapi ada sederet cerita yang mengungkap sisi lain dari peristiwa 
kekerasan
yang sedang mengharubirukan masyarakat yang menghuni kawasan dengan 
sebutan
seribu kepulauan tersebut. Tak banyak pihak yang memberikan perhatian
khusus terhadap sisi plus yang perlu dijaga. Tak percaya? 

Coba simak kejadian di Desa Poka, di Leihitu, di bagian barat Pulau 
Ambon,
yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Ada beberapa penduduk Islam
tinggal di sana. Tapi di desa ini tak pernah terjadi bentrokan. Kalaupun
ada orang Kristen dari desa lain yang hendak menyerang warga muslim Desa
Poka, penduduk Kristen di desa itulah yang maju menghadang mereka. 
Hingga
kini pun beberapa masjid dan gereja di desa ini masih tegak berdiri.

Unik juga yang tercatat di Desa Larike, di ujung barat Pulau Ambon. 
Jumlah
penduduk Islam dan Kristennya hampir berimbang. Ketika peristiwa Ambon
pecah, penduduk desa itu saling melindungi. Jika ada orang Kristen yang
datang untuk menyerang warga pemeluk Islam,warga desa yang beragama
Kristenlah yang maju menghadang penyerang. Ketika giliran ada orang 
Islam
yang akan menyerang, warga Islamlah yang menghadangnya. Alhasil, 
bentrokan
tak terjadi di desa ini. Masjid dan gereja tak diusik.

Contoh lain terjadi pada 20 Februari lalu di Kampung Air Besar, di kota
Ambon. Warga Kristen yang ada di kampung tersebut tiba-tiba diserbu oleh
warga Islam yang datang dari kampung tetangga. Tapi rombongan penyerbu 
ini
akhirnya bisa dihalau karena kedatangan mereka sudah ditunggu oleh
sekelompok warga Islam Air Besar di sebuah jembatan yang tak jauh dari
kampung itu. Serangan pun urung dilakukan.

Begitu pula masyarakat di Desa Wakal, yang komposisi penduduk Islam dan
Kristennya hampir sama. Mereka saling melindungi. Kalau ada serbuan yang
dilakukan oleh pihak Kristen, yang menghadang adalah orang Kristen. Dan
kalau ada serbuan yang dilakukan orang Islam, yang menghadang adalah 
orang
Islam. Masjid dan gereja di tempat ini pun tak tersentuh bara kemarahan.

Cerita yang lebih dramatis terjadi di Dusun Wahatu, Desa Wakal, yang
umumnya dihuni masyarakat asal Buton yang beragama Islam. Di dusun ini
bermukim tiga keluarga beragama Kristen. Salah satu di antaranya guru SD 
di
dusun itu. 

Sebelum 20 Januari-tanggal penyerbuan balasan oleh warga Islam-keluarga
Kristen tadi diberi tahu bahwa mereka akan diserang. Karena itu, warga
Buton menganjurkan agar mereka mengungsi. Untuk sementara ketiga 
keluarga
tadi disembunyikan di rumah tiga orang Buton muslim. Namun, sikap warga
Wahatu asal Buton itu diketahui oleh para penyerang. Karena itu, pihak
penyerang, yang juga beragama Islam, mencaci-maki orang Buton di Wahatu 
dan
mengancam akan melanjutkan penyerangan. 

Khawatir ancaman itu benar-benar dilakukan, beberapa warga dusun ini 
lalu
memindahkan keluarga Kristen itu ke rumah-rumah mereka yang ada di
kebun-kebun di perbukitan. Keluarga Kristen tadi akhirnya diselamatkan 
oleh
petugas keamanan yang datang setelah dipanggil oleh warga Buton itu.
Konflik yang terjadi di Ambon agaknya memang tak bisa dilukiskan secara
hitam-putih.

Masih banyak sisi lain yang mungkin tak begitu digubris pers: kerukunan
warisan lama tradisi pela gandong yang tersisa di sudut-sudut desa. Tapi
tak ada seorang pun yang bisa meramal, akankah nilai-nilai luhur tradisi
ini bakal berumur panjang, meski cuma di secuil desa. Apalagi jika sumbu
konflik makin kerap dinyalakan dengan api kemarahan yang kian panas.

Situasi keseharian yang terus mencekam bisa jadi pertanda buruk. Sebut 
saja
peristiwa "Subuh Berdarah" tempo hari. Jika tak dijelaskan duduk perkara
sesungguhnya, itu niscaya bakal memperburuk keadaan. Dari gerakan Islam,
mereka masih saja ngotot bahwa penembakan terjadi "di dalam masjid", 
meski
dibantah berdasarkan keterangan resmi pemerintah setempat.

Di sisi lain, kalangan Kristen malah mengungkit betapa pihaknya tak 
kalah
menderita. "Tapi jangan sampai kerusuhan di Ahuru-Rinjani itu 
didramatisasi
untuk kepentingan politik," kata Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku 
(GPM)
Kota Ambon, Pdt. A.Z.E. Pattinaya. Ia menegaskan, warga jemaatnya tak
pernah dan tak akan menyerbu sesama bangsanya. "Peristiwa itu musibah 
yang
tak terpikirkan sebelumnya," kata Pattinaya.

Mungkin Pattinaya benar. Tapi di sejumlah desa yang sentimen suku dan
agamanya menggumpal, maut tetap saja menghadang. Pendatang masih kerap
ditanyai soal identitas agama dalam kartu penduduknya. "Saya masih takut
memasuki kawasan Kristen. Pernah saya masuk ke kantong penduduk muslim,
tapi mereka tak yakin, sampai saya disuruh membaca syahadat," ujar 
seorang
wartawan senior Antara yang telah bertahun-tahun bertugas di Ambon.

Dari cerita di atas, tak mengherankan jika salah seorang anggota 
Kontras,
divisi antikekerasan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang 
dikirim
ke Ambon belum lama ini, berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi 
bukanlah
perang agama, melainkan lebih merupakan frustrasi sosial yang menjadikan
agama sebagai identitas "pihak sana" lawan "pihak sini". (GSJ/Tempo)

______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the
message body the line:
unsubscribe demi-demokrasi

Kirim email ke