http://www.insideindonesia.org/digest/dig77.htm

 [Image]     Digest 77

             Tetangga setelah berpisah
             30 March, 1999

             Memang tak ada kepastian. Namun banyak pertanda mengarah ke
             pemisahan Timor Timur dari Indonesia. Biarpun Ali Alatas
             meragukannya, kebanyakan pengamat yakin bahwa, asal proses
             konsultasi yang dikelola PBB kelak berjalan jujur, mayoritas
             penduduk Timtim akan memilih merdeka.

             Bagaimana mahasiswa Indonesia akan menyikapi transisi menuju
             pemisahan itu? Terutama sejak 1991, Timtim untuk banyak
             mahasiswa memang termasuk di dalam agenda perubahan. Dalam hal
             ini juga, mahasiswa menghadapi sebuah pilihan abadi: takluk
             kepada kekuasaan, atau berusaha menaklukkan kekuasaan demi
             keadilan.

             Kekuasaan kolonial memang memiliki dinamika tersendiri. Tak
             perlu mencari jauh dinamika kolonial tersebut. Ironis memang,
             sejarah Indonesia-Timtim mengandung banyak kesamaan dengan
             sejarah Belanda-Indonesia.

             Ketika pasukan Belanda menyerang Aceh pada tahun 1873, mereka
             tidak bertindak demi kemanusiaan, melainkan demi keamanan
             negara Hindia Belanda. Sama ketika mereka menyerang Bali pada
             tahun 1906, atau tempat-tempat lain dengan meninggalkan
             tumpukan mayat.

             Namun, pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan bahwa
             pemerintahan kolonial selanjutnya akan bertindak hanya demi
             kesejahteraan rakyat kepulauan Hindia. Datanglah sekian banyak
             guru, doktor serta insinyur pertanian, semua dalam rangka yang
             dinamakan Kebijakan Etis.

             Demikian juga, May-Gen Benny Murdani hanya memikirkan keamanan
             wilayah Indonesia ketika merancang serangan fajar tanggal 7
             Desember 1975 terhadap kota Dili. Dalam suasana Perang Dingin
             pada saat itu, pemerintah Jakarta mengkhawatirkan Timor Timur
             yang merdeka akan menjadi semacam Kuba di wilayah Indonesia -
             pangkalan bagi pasukan komunis untuk mengganggu Indonesia.
             Namun kemudian berkembang kebijakan pembangunan di Timor
             Timur, dengan mengucurkan dana yang melebihi daerah lain.
             Datanglah sekian banyak doktor, guru serta insinyur.

             Belanda mengirimkan intelektual muda seperti Bung Hatta untuk
             dididik di negeri Belanda. Demikian juga, Indonesia
             mengirimkan orang muda yang brilyan seperti Armindo Maia dan
             Joao Mariano Saldanha untuk dididik di universitas terkemuka
             di Indonesia dan di luar negeri. Mereka diharapkan mengikat
             kedua bangsa, supaya yang baru bergabung tidak lagi merasa
             dijajah melainkan berterima kasih dan bahu-membahu membangun
             daerahnya sendiri.

             Namun yang terjadi sebaliknya. Sekembali dari Belanda,
             Mohammad Hatta mendirikan organisasi nasionalis untuk
             memerdekakan bangsanya. Oleh kaum penjajah ia dituduh tidak
             tahu terima kasih, dituduh kekiri-kirian, dituduh kurang
             realistis. Persis seperti tuduhan yang dilancarkan terhadap
             kaum 'klandestin' muda Timor Timur yang sejak akhir tahun
             80-an mulai berorganisasi di kampus-kampus di Yogyakarta,
             Malang, Salatiga, Jakarta, dan di lain tempat.

             Partai-partai politik yang didirikan oleh kaum nasionalis muda
             Indonesia dulu memang banyak kemiripan dengan partai Timor
             Lorosae kini. Partai politik perjuangan ini siap menantang
             kekuasaan demi keadilan. Fretilin adalah partai populis yang
             menampung harapan untuk menjadi merdeka dan egaliter. Unsur
             sosialisme di dalamnya tak berbeda dengan sosialismenya
             seorang Sukarno, Syahrir, ataupun Amir Sjarifuddin. Sebuah
             sosialisme yang bersifat muda, optimis, romantis, patriotik.
             Realistis atau tidak, Fretilin menangkap suara hati sebagian
             besar rakyat Timor Timur sesaat sebelum invasi pada tahun
             1975. Ia berhasil mendirikan pemerintahan yang cukup populer
             di hampir seluruh pedesaan Timtim.

             Tentu saja, semangat Fretilin, persis sama dengan semangat
             Partindo ataupun Gerindo di zaman Belanda, tak diterima oleh
             pihak penjajah pasca-invasi. Selanjutnya, bersama dengan
             kelompok-kelompok baru yang lahir kemudian, Fretilin memotori
             perlawanan bawah tanah dan di hutan.

             UDT adalah partai golongan menengah urban, tak jauh berbeda
             dengan Parindranya M. Husni Thamrin sebelum PD-II, atau dengan
             (katakanlah) Masyumi di tahun 1950-an. Bukannya mereka
             menentang nasionalisme, namun mereka ingin menjalankan politik
             yang lebih 'bertanggung-jawab', dan itu berarti meredam
             semangat nasionalisme demi tertibnya transisi menuju
             pemerintahan sendiri. Meskipun dengan berat hati,
             'realisme'-nya UDT membuatnya bisa bekerja sama dengan
             penjajah Portugal maupun Indonesia, sambil mempersiapkan masa
             depan yang lebih baik. Mario Carrascalao menunjukkan sikap
             seperti itu.

             Apodeti adalah partai kecil yang lebih tergantung pada wibawa
             sejumlah tokoh aristokrat, mungkin mirip (namun tak sebesar)
             PKN, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta, di zaman Belanda. Tanpa
             memiliki ideologi yang jelas, Apodeti mengusulkan bergabung
             dengan Indonesia, dengan syarat mendapat otonomi penuh.
             Kesalahan intel Indonesia adalah membesarkan sebuah partai
             yang sebenarnya tak bisa dibesarkan. Persis sama dengan
             Belanda yang berusaha membesarkan kalangan 'kooperatif' yang
             sebenarnya kurang populer. Setelah merasa dibohongi karena
             memang otonomi tak pernah diberikan, banyak juga anggota
             Apodeti yang membelot, terutama belakangan ini.

             Benny Murdani pernah mengancam sekelompok pegawai negeri di
             Dili: 'Jangan bermimpi mendirikan negara Irian, negara Ambon,
             negara Timtim. Tidak ada itu! Di masa lalu pernah ada negara
             kecil yang ingin berdiri sendiri, dan tanpa ragu pemerintah
             Indonesia mengambil langkah untuk mencegahnya. Seluruh
             kekuatan yang ada pada kami telah dipakai untuk mencegah
             diciptakannya negara kecil. Itu juga berlaku untuk Timtim...
             Jangan berkhayal, jangan bermimpi.' (Dili, 3 February 1990,
             diterjemahkan kembali dari terjemahan Bahasa Inggeris). Persis
             Hendrikus Colijn, Menteri Kolonial Belanda yang pernah
             berkata: 'Kewibawaan Belanda tak dapat diganggu-gugat, ia
             teguh seteguh-teguhnya di Hindia, seperti teguhnya Mont Blanc
             di Pegunungan Alps'.

             Sebenarnya kecongkakan kolonialis a la Colijn ataupun Murdani
             mudah difahami. Pada zamannya, kolonialisme itulah tak lain
             adalah arus sejarah. Hampir tidak ada yang berani menggugat
             kekukuhannya. Namun, siapa yang dapat meramalkan badai
             internasional? Seandainya tidak terjadi Perang Dunia II, yang
             berakibat Jepang menyerbu Hindia Belanda, bisa jadi Belanda
             sampai sekarang belum juga terusir dari Indonesia. Andaikata
             tidak terjadi krismon, yang berakibat Suharto jatuh, bisa jadi
             President Indonesia ke-3 tak perlu memgumumkan mau keluar dari
             Timor Timur sebelum tanggal 1 Januari 2000. Di tengah
             kesusahan, kedua peristiwa itu juga menjadi kesempatan bagi
             kaum tertindas.

             Pada tahun 1946, pemilu di Belanda berputar pada masalah
             Indonesia. Hampir seluruh dunia sudah yakin bahwa Indonesia
             akan segera merdeka. Kecuali masyarakat Belanda. Mereka
             memilih pemerintahan yang lebih konservatif lagi, terdorong
             oleh slogan 'Hindia lepas berarti musibah' (Indie verloren,
             rampspoed geboren). Itulah sikap takluk kepada kekuasaan,
             tanpa memedulikan tuntutan Indonesia akan keadilan. Persis
             sama dengan PDI 'Perjuangan', yang hingga kini tak mau melepas
             Timor Timur karena khawatir Indonesia akan berantakan. Kaum
             konservatif khawatir 'Timtim lepas berarti musibah'.
             Kemungkinan besar, sama dengan slogan Belanda tentang 'Hindia
             lepas', sepuluh tahun kemudian kekhawatiran itu sama sekali
             dilupakan.

             Menaklukkan kekuasaan demi keadilan, sebaliknya, lebih memberi
             harapan. Di tengah kaum penjajah selalu terdapat orang yang
             tidak termakan oleh kecongkakan penjajah. Contoh orang Belanda
             yang banyak berjasa untuk menjernihkan duduk persoalannya bagi
             bangsanya sendiri adalah D.M.G. Koch dan Hendrik Kraemer.
             Demikian juga, orang Indonesia yang banyak berjasa untuk
             menjelaskan masalah Timtim yang sebenarnya adalah Seno Gumira
             Ajidarma, Y.B. Mangunwijaya (almarhum), Coki Naipospos, dan
             masih banyak lagi. Mereka merasakan beban tanggung jawab moral
             yang luar biasa, yang harus mereka sampaikan ke sesama
             bangsanya.

             Apabila benar Timor Timur menjadi Timor Lorosae yang merdeka,
             maka tantangan moral untuk menaklukkan kekuasaan demi keadilan
             malah bertambah berat. Sebab, tidak seperti Indonesia yang
             memang jauh dari Belanda, Timor Lorosae tak akan pernah jauh
             dari mantan penjajahnya. Timor Lorosae akan menjadi negara
             mikro ('micro-state') mirip Tonga atau Bermuda. Kemungkinan
             besar, biarpun merdeka, ia miskin dan lemah, mudah diganggu
             oleh kekuatan yang kurang bersahabat. Indonesia (dan juga
             Australia!) akan selalu menjadi tetangga yang raksasa.

             Begitu banyak masalah transisi menuju pemisahan yang perlu
             ditangani dengan sangat urgen. Di antaranya soal:
             * Pengunduran aparat negara Indonesia (tanpa menerapkan 'bumi
             hangus'!),
             * Penduduk Timtim asal Indonesia (kewarganegaraannya
             bagaimana?),
             * Penduduk asal Timtim di Indonesia (ditto),
             * Keamanan di perbatasan (bagaimana menghindari perang gerilya
             baru?),
             * Penulisan sejarah (apa yang sebenarnya terjadi?),
             * Bahkan mungkin soal pampasan perang (Jepang membayar mahal
             ke Indonesia, bagaimana dengan Timor?).

             Indonesia, dan juga Australia, perlu menjadi tetangga yang
             baik dengan Timor Lorosae. Untuk itu, mahasiswa yang idealis
             perlu menunjuk jalan.

             Gerry van Klinken, editor, 'Inside Indonesia' magazine.

                                                                    [Image]

To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the
message body the line:
unsubscribe demi-demokrasi

Kirim email ke