>> >> Sasis:
>> >Subject: JAWAPOS - Adi Sasono: Pemerintah Sulit Dipercaya
>> >
>> >> FYI,
>> >>
>> >> Saya juga dapat berbeda dengan siapapun mengenai hal apapun. Dalam hal
>> >> Adi Sasono (AS), saya punya pendapat berbeda dengan angku Jusfiq atau
>> >> Saut Situmorang.
>> >>
>> >> Menilai AS hanya karena dia beragama Islam dan pengurus ICMI adalah
>> >> tidak adil.
>> >
>> Jusfiq:
>> > Bahwa dia beragama Islam tidak pernah saya kritik, tapi ikut ICMI
>> > saya anggap sebagai kesalahan politik.
>> >
>>
>> Saya tidak paham kenapa ikut ICMI dianggap sebagai kesalahan politik. FYI,
>> ICMI didirikan sebelum ada politisi yang direkrut oleh ICMI. Seingat saya,
>> Dawam Rahardjo dan Adi Sasono adalah pendiri ICMI dan mengangkat Habibie
>> sebagai anggota kehormatan selagi HBB masih menteri, entah menteri apaan.
>> Kronologinya: Cendekiawan dan LSM-LSM "ijo"/islam mendirikan ICMI, lalu
>> merekrut tokoh-2 politik.
>>
>> Apakah salah "ikut ICMI" sebelum ada politisi sama sekali di dalamnya?
>> Sama dengan Jusfiq yang "ikut HMI". Lalu sekarang banyak anggota KAHMI
>> yang brengsek dan berada di pemerintahan. Apakah angku salah dengan "ikut
>> HMI"..? Atau AS harus keluar dari ICMI begitu Habibie masuk ICMI?
>>
>> KRONOLOGI, angku.
>>
>>
>
JH:
> Saya anggap saja informasi anda akurat, artinya ICMI didirikan oleh Adi
> Sasono, Dawam dll. Lalu mereka merekrut politisi.
>
> Jadi inilah yang salah: merekrut tokoh politik yang ketika itu sedang
> dicaboi Soeharto, seperti Habibie dll.
>
> Kesalahannya adalah, yang pertama, kesalahan moral: berjabatan tangan
> dengan fascsist atau cabo fascsist adalah salah.
>
> Dan - sekali gus - kesalahan politik.
>
> Tugas demokrat adalah membentuk kekuatan politik alternatif yang kredibel.
>
> Baiklah saya surut ke kritik saya atas orang-orang segenerasi saya +
> yang sedikit dibawah saya yang tidak berhasil menyusun kekuatan politik
> alternatif yang kredibel.
>
> Saya ulangi: tugas demokrat dihadapan fascsisme adalah menyusun kekuatan
> demokratik yang kredibel.
>
> Inilah yang dilakukan oleh oposisi Portugal terhadap rezim Salazar dan
> oposisi Sepanyol terhadap Franco, terutama oleh orang-orang sosialis dan
> komunis.
>
> Ketika Franco ko'it dan ketika Spinola menjatuhkan Salazarisme maka oposisi
> itu bisa memberi alternatif demokratik terhadap fascisme di kedua negeri
> itu.
>
> Di Indonesia, kekuatan itu mestinya disusun oleh orang yang katanya
> demokrat (dan ketika itu memang punya pikiran demokratik) yang dulunya
> giat di berbagai ORNOP yang berusaha menegakkan HAM atau ORNOP lain.
>
> Tapi mereka tidak melakukan penyusunan kekuatan alternatif yang kredibel
> itu.
>
> Inilah kesalahan mereka.
>
> Kesalahan itu berakar dari tidak sanggupnya oposan Indonesia untuk
> membedakan antara antara oposisi didalam rezim dan oposisi terhadap rezim.
>
> Oposan Indonesia tidak menolak rezim, tidak berusaha menghancurkan rezim,
> mereka berusaha untuk memperbaiki rezim.
>
> Jangan kita lupa: Petisi 50 barusaha untuk 'menagih janji Orde baru' dan
> LBH berusaha untuk mengakkan hukum direzim fascist, sebuah contradictio in
> termini.
>
> Karena tidak adanya garis pemisah itu maka Adi Sasono tidak melihat
> keganjilan untuk mengajak Habibie ikut ICMI. Dan bukan hanya Adi Sasono
> yang bikinkesalahan begini: sampai-sampai saat terakhir, berapa orang
> Indonesia yang kaget dengan kunjungan Abdurrachman Wachid ke Soeharto?
>
> Kekaburan analisa inilah yang tidak memungkinkan terbentuknya gerakan
> oposisi demokratik yang kredibel di Indonesia.
>
> Sekali lagi di Portugal ada Suarez yang dari Perancis beroposisi terhadap
> Salazar dan salazarisme, di Spanyol ada gerakan anti fascsist yang antara
> lain dipelopori oleh orang komunis.
>
> Akibatnya, sekarang ini yang berada di gelanggang politik adalah
> anak-anak raja Jawa. Anak raja yang satu, Abdurachman Wachid mestinya kudu
> masuk rumah sakit gila; yang satu lagi, Megawati Soekarnoputri, bisanya
> tidur siang yang berkepanjangan.
>
> Anda akan berkata: ngomong begitu sekarang gampang, di tahun 1991 kita
> tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi tahun 1998. Sepanjang yang
> menyangkut kami yang ada di luar negeri, dari tahun 1991 kami telah
> berteriak dari Los Banyos: dirikan partai dan jangan lupa mendukung gerakan
> buruh.
>
> Tapi nggak ada yang dengerin di Indonesia.
>
> Dan ketika Soeharto dijatuhkan oleh Camdemsus, yang namanya oposisi di
> Indonesia itu tidak ada.
>
> Nggak ada Soareznya!
>
> Yang ada cuma anak raja Jawa.
>
>
Saya setuju dengan analisa angku.
>> > Yang saya kritik adalah sikapnya yang mempertahankan kesalahan
>> > (antara lain tentang laporan Kentot) dan pelaksanaan 'ekonomi rakyat'
>> > tanpa kemungkinan kontrol pembayar pajak.
>> >
>>
>> Saya setuju dengan analisa angku. Namun pelaksanaan 'ekonomi rakyat' itu
>> dapat dianggap sebagai kesempatan untuk memindahkan dana kepada rakyat,
>> daripada dikasihkan ke Bank-bank yang super brengsek. Angku lihat sendiri,
>> sumber kekacauan finansial Indonesia adalah hancurnya sistem perbankan,
>> dengan dana rakyat untuk membiayai mereka. AS hanya mengembalikan lagi
>> uang-uang itu kepada rakyat.
>>
>> Mengenai "kemungkinan kontrol pembayar pajak", bagian/sektor apa di
>> Indonesia yang dapat dikontrol oleh pembayar pajak..?
>> Pembayar pajak di Indonesia dianggap sebagai taik kebo. Tak dianggap sama
>> sekali, yang penting: bayar, bayar, bayar.
>>
>> Kalau angku mengkritik item "kemungkinan kontrol pembayar pajak", kritik
>> itu jangan hanya diarahkan ke satu orang. Arahkan kritik itu kepada
>> seluruh orang Indonesia. Terutama Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan
>> Lembaga-2 audit Negara. Saya sendiri tak tahu pajak yang saya bayar itu
>> dipakai untuk apa. Mungkin untuk menggaji tentara yang barangkali malah
>> akan menggebuk saya sendiri.
>>
>
> Kita kembali ke masaalah two wrongs do not make one right.
>
Artinya, kita tak dapat menyalahkan siapapun secara spesifik dalam hal
kontrol harta rakyat, meski tidak dapat membenarkan langkah-langkah yang
dilakukan orang Indonesia. Kadang kita akan bingung kalau mesti memilih
hitam atau putih. Ya atau tidak.
Namun kalau kita melihat dana-2 yang harus dibayar anak cucu dan
diselewengkan secara gila-2 an dalam rekapitalisasi bank dan lolosnya
Soeharto, keluarga dan kroni-nya dari daftar orang tercela (DOT), saya
pribadi dapat berlega hati melihat langkah AS yang memindahkan sebagian
kegilaan itu menjadi keberpihakan.
Namun dalam perkembangannya, saya juga melihat banyak kejanggalan manajemen
program-2 AS. Saya selalu katakan: Banyak avonturir dan orang brengsek di
sekitar AS. AS sendiri tak pernah tegas menindak orang-2 nya yang telah
jelas brengsek.
Barangkali ini point yang hendak angku JH kemukakan. Accountability suatu
program, namun ingat kita sekarang dihadapkan pada banyak brogram gila yang
tidak accountable. Banyak lagi langkah-2 yang "worse than my worst
nightmare", lebih mengerikan dari mimpi buruk saya yang paling buruk. Saya
sependapat bahwa banyak program AS yang memang tidak accountable. Tapi ada
kata "better, worse dan worst". Saya dapat mengatakan bahwa sebagian program
AS "are better than most government programs".
>> > Sayapun tidak anti dengan affirmative action untuk 'orang pribumi',
>> > tapi kudu dilakukan setelah dipikirkan matang-matang, dikontrol
>> > dengan baik dan tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik.
>> >
>> >> Yang harus dilihat: kejujuran pada diri. Termasuk "track record"nya. Ia
>> >> melakukan kritik terhadap tempat dia cari makan. Jarang ada orang
>> >> demikian.
>> >>
>> >
>> > Ini hipokrisi, bukan kejujuran, karena dia melakukan apa yang
>> > dikiritiknya (yang dianggapnya salah) dan bukan tempat dia cari
>> > makan!
>> >
>>
>> Yang dianggap AS salah, adalah tidak adanya "keberpihakan" dan kejujuran
>> dalam pemerintah. Namun dia konsisten melakukan yang dianggapnya benar.
>> Dan yang saya lihat, ia hanya mengembalikan uang rakyat kepada rakyat.
>>
>
> Saya tetap berpendapat bahwa penggunaan uang bersama harus dilakukan
> menurut keputusan yang diambil bersama dan dikontrol bersama.
>
> Selama keputusan bersama tidak ada dan selama kontrol bersama tidak ada,
> angguran tu duit disimpan dulu dalam bentuk berkurangnya hutang IMF.
>
Kita injak bumi angku. Dalam mekanisme "peproyekan' di Indonesia, uang dana
proyek selalu dihabiskan. Kalau tidak habis, dana itu dianggap hangus.
Dengan demikian, kalau tidak ada alokasi proyek-2 semacam proyek AS, dana
itu akan dialihkan ke program-2 yang lebih gila. Angku baca sendiri program
perbankan yang gila-2 an. Setiap dolar yang tidak dialokasikan ke program
lain akan disedot ke sana.
Saya sangat sependapat dengan angku, sebaiknya kita stop utang-2 baru.
>
>> Apa maksud angku dengan "dia (AS) melakukan apa yang dikiritiknya (yang
>> dianggapnya salah) ...?
>>
>> Apakah karena dia juga ngomong:
>> >> pada dasarnya, yang namanya kekuasaan selalu korup
>> >> dan tidak bisa dipercaya. Prinsip itu berlaku baik di negara berkembang
>> >> maupun negara maju yang demokrasinya sudah mapan. Untuk mengontrol agar
>> >> kekuasaan tidak korup, diperlukan pranata-pranata demokrasi seperti
>> >> keterbukaan dan pers yang bebas.
>>
>
> Ya!
>
>> Saya ingatkan, sampai sekarang "kontrol kekuasaan" masih belum ada di
>> Indonesia, namun AS mengingatkan kita untuk itu. (Termasuk kontrol program
>> koperasi, tentunya). Lebih lanjut lagi, kalau tuntutan "kemungkinan
>> kontrol pembayar pajak" diajukan pada saat ini, sama dengan menuntut
>> politisi untuk diam, tidak berbuat apa-apa sama sekali. Sebab "kemungkinan
>> kontrol pembayar pajak" belum ada.
>>
>
> Tugas demokratlah untuk membentuk kekuatan pengontrol itu dan menghalangi
> - sebisanya - diambilnya keputusan tanpa kontrol dan yang pelaksanaannya
> tidak bisa dikontrol!
>
Tentu perhatian kita mesti diarahkan kepada "penyedot dana paling gila".
Arahkan enerji angku ke sana. Kita selalu saja berputar-putar mengkritik dan
mengoreksi hal-2 yang kurang signifikan, dan membiarkan hal penting dan
berbahaya melindas kita semua.
>> Saya bisa bilang bahwa seluruh lurah di Indonesia bersalah, karena rakyat
>> tidak dapat mengontrol mereka dan lurah-2 itu tidak
>> mempertanggung-jawabkan tindakannya kepada rakyat pembayar pajak. Atau,
>> semua orang di Ditjen pajak salah. Semua polisi salah. Saya juga salah,
>> karena pakai alat/komputer yang didanai oleh uang rakyat (Aceh). Semua
>> orang yang terkait dengan pajak yang dibayarkan rakyat salah.
>
> Lama saya terhenti dihadapan alinea ini - itu sebabnya posting ini saya
> parkir terus dan tidak saya kirimkan.
>
> Dan hingga hari ini tidak bisa memberikan komentar.
>
Kita cari dan kritik sumber malapetakan keuangan terbesar. Curahkan enerji
untuk menghalangi mereka.
>> Angku Jusfiq
>> juga salah, karena menyebabkan orang lain membalas e-mail angku dengan
>> memakai fasilitas yang dibayar rakyat, tanpa dapat dikontrol oleh rakyat
>> pembayar pajak.
>>
>
> Wah ini saya nggak bisa terima: saya tidak mengharuskan orang untuk mmbaca
> atau menjawab posting saya.
>
Kesalahan angku: angku tidak memperingatkan bahwa para penjawab itu
bersalah. Malah dengan senang hati berbalas-balasan e-mail, bertahun-tahun lagi.
Tapi ini adalah kesalahan kecil, yang dapat dikompensasi dengan hal lain.
Ada banyak hal penting yang dihasilkan dari surat menyurat semacam ini, dan
kebaikannnya/manfaatnya jauh lebih besar dari kerugian/mudharat. Kalau kita
kembali ke hitam putih, kita semua mesti diam, tidak melakukan apa-apa.
> Masing-masing yang membaca dan mengomentari posting sayalah yang harus
> memutuskan - sesuai dengan hati nurani mereka - untuk memikul tanggung
> jawab morilnya.
>
>> Dan jika angku mempertahankan tuntutan itu, artinya angku tetap menuntut
>> agar orang Indonesia diam semua, tak boleh membuat keputusan apapun.
>>
>
> Sekali lagi: tugas demokrat - pada saat ini - adalah untuk (mulai)
> mengontrol dan mendorong adanya kontrol!
>
Setuju. Mari kita kontrol hukum (law enforcement), departemen keuangan, Bank
Indonesia, DPR, MPR, tentara, dan Pemilu.
Sasis
============
>
>
>Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=
>======================================
To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the
message body the line:
unsubscribe demi-demokrasi