saya rasa beberapa data besar level nasional yang dijadikan dasar kebijakan makro maupun meso masih perlu diperdalam lagi, karena paling rendah hanya bisa menggambarkan level kabupaten. masih perlu pendalaman lagi sampai ke level kecamatan atau lebih dalam lagi.
saya rasa isu di republik yang sangat luas ini masih belum bergeser. aksesibilitas! mungkin saya paparkan saja sedikit gambaran dari hasil perjalanan beberapa waktu lalu; - kabupaten pegunungan bintang, papua; di wilayah ini terdiri dari 13 kecamatan yang hanya 3 kecamatan saja bisa diakses secara darat, sisanya hrs dng pesawat. persalinan oleh dukun pun diklaimkan jampersal, karena mmg bidan jarang. ada kepala puskesmas yg hanya lulusan SPK, karena mmg dia satu2nya petugas kesehatan di wilayah tersebut. - puskesmas benjina, kabupaten kepulauan aru, maluku; seluruh petugas kesehatan ngumpul di puskesmas. dng wilayah kerja berupa kepulauan masyarakat didatangi bila tersedia dana utk sewa perahu, itupun harus bersandar pada dana BOK. - kabupaten kepulauan raja ampat, papua barat; hampir sama dng kondisi benjina. di wilayah ini masyarakat banyak tinggal di pulau-pulau kecil berkoloni hanya dengan sekitar 20-60 jiwa per pulau tanpa fasilitas umum apapun. apapun! puskesmas terapung keliling tetap menunggu dana dari langit (BOK), sebulan sekali pun sudah bisa bersyukur. - kabupaten natuna, kepulauan riau; kabupaten kaya ini menolak dana jampersal krn merasa sudah sanggup membiayai dirinya sendiri. petugas kesehatan menumpuk di pulau induk. kecamatan lain yang ada di pulau-pulau lain yang perlu waktu berjam-jam untuk mencapainya, itupun bila laut bersahabat, tenaga kesehatan sangat minimalis. - kabupaten wakatobi, sulawesi tenggara; pelayanan dasar sudah sangat bagus dan mau jemput bola, tapi pelayanan lanjutan kosong (usulan pak CS cocok di sini). pemda sudah berinisiatif mendatangkan dokter obgyn, tp sarana RS tdk mendukung, jadi tetap saja hrs dirujuk ke kabupaten lain. wilayah ini jg kepulauan, yg biaya rujukannya tujuh digit atau lebih. - kota balikpapan, kalimantan timur; di wilayah ini biaya persalinan sangat tinggi. dengan menggunakan jampersal, masyarakat masih harus merogoh kocek untuk tambahan sampai 1 juta rupiah. hal ini sepengetahuan IBI dan Dinas Kesehatan. - kabupaten lombok tengah, nusa tenggara barat; di wilayah ini jasa persalinan yang diterima bidan di puskesmas dengan jampersal Rp. 50.000,-. ini resmi. demikian, sedikit pengalaman saya bagi. ADL- “Ini tugas berat, tentu saja!karena itulah kita ada” ________________________________ From: "kotase...@hotmail.com" <kotase...@hotmail.com> To: Desentralisasi <desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> Sent: Sunday, September 29, 2013 11:33 AM Subject: Re: Bls: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi? Setuju Dr Kartono dan sdr Syahrul bukankah data dan laporan intervensi sudah tersedia mulai dari desa siaga, jampersal, IPKM dan intervensinya( dgn fasilitasi litbangkes) , emergency obsteteri seingat saya malahan intervensi banyak dilakukan di luar jawa terutama yg didorong lembaga internasional seperti UNFPA di ditambah adanya data sdki, sensus, IPKM dan Rifaskes dan sebentar lagi data riskesdas 2013 kita harus jelas apa masalahnya dan apa intervensi di puskesmas , kabupaten dan kota , dan kita harus lihat apa yg jalan dan tak jalan salam CS Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT ________________________________ From: <mohnuh2...@yahoo.com> Sender: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Date: Sun, 29 Sep 2013 03:37:24 +0000 To: Desentralisasi<desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> ReplyTo: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Subject: Re: Bls: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi? Prof, Indonesia bukan hanya Jakarta atau Jawa. Dan penyumbang AKI yang tinggi justru di luar Jawa. PONED pernah dicobakan di lebih dari 100 puskesmas, terutama di Jawa. Kemudian berguguran dan terabaikan. Mari kita kaji kembali segala cara yang pernah dicobakan. Lalu buat diagnosis kausatif yang lebih tepat. Selama ini berbagai terapi telah dicobakan, bukannya AKI menurun tetapi justru naik. Mungkin terapi itu yang kurang tepat. KM Sent from Windows Mail From: kotase...@hotmail.com Sent: Sunday, September 29, 2013 10:12 AM To: Desentralisasi Usul sy coba kaji unsur proses, lihat Rifaskes ttg emergency obstetri di rs dan puskesmas rasanya jelek semua dan setahu saya Emergency obstetri di rs puskesmas merupakan syarat mutlak utk penurunan aki termasuk kualitas layanan (ketrampilan provider dan waktu pelayanan) selama ini hal ini kurang diperhatikan kita hanya konsentrasi di anc K1 dan K4 padahal sejak th 2009 orientasi dunia ke emergency obstetri. sbg unsur utama utk menurunkan AKI , saya usul lihat daerah aki yg meningkat korelasikan dgn keberadaan emergency obstetri dan sekalian perhatikan keadaan persalinan usia muda ( upaya KB pasangan muda ) Singkatnya analisa utk intervensi dari pada berdebat salah atau benar Salam Charles Surjadi Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT ________________________________ From: Tjahjo Harsojo <tere_hars...@yahoo.co.id> Sender: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Date: Sun, 29 Sep 2013 10:50:58 +0800 (SGT) To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com<desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> ReplyTo: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Subject: Bls: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi? Apapun perbaikan sistemnya, sepanjang SDM kualitasnya makin turun hal ini akan terus terjadi. Pendidikan bidan, makin lama makin memprihatinkan. Lulus bidan keterampilan dalam menolong persalinan perlu dipertanyakan. Dulu dikatakan lulus bidan kalau sudah dapat menolong 50 persalinan normal, sekarang jadi partus pandang malah bisa jadi partus dengar. Akibatnya di Jawa Timur ada sinyalemen bidan hanya menjadi tukung rujuk persalinan, tentunya TST dengan nakes lainnya. Jadi, saya pikir wajar angka AKI masih tinggi. ________________________________ Dari: syahrul aminullah <syr...@yahoo.com> Kepada: "desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com" <desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> Dikirim: Jumat, 27 September 2013 14:15 Judul: Re: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi? Prof Laksnao, sewaktu di Kupang sambil sarapan pagi di Htl Timore, sy dan pak Ascobat berdiskusi dua angka kontravesial tersebut dan sy laporkan sms saya kepada dua petinggi kita (bu Naf dan Prof FJ), katanya mau diserahkan ke Bappenas yg akan memutuskan angka mana yg akan di rujuk Saya dan prof Asco berpendapat dua-dua angka ini masih tinggi Pertanyaanya ada apa dg dua angka kontraversial ini? apkah bagian dari politk pembangunan seperti jama Orba..unutk dapat bantuan LN angka yg dimunculkan yg buruk-buruk agar baik, ttp kalu dimonitr oelh donor maka akan muncul angka yg baik-baik Saya 5 tahun menjadi Presidium ALiansi Pita Putih Indonesia (yg di bian o Bu ANy SBY, 4 tahun lalu angka-angka yg kecil (228-red) dudah turun, ada politisasi AKI kah? SAlam Jajaga Kesehatan Selalau Syahrul Aminullah Mantan Predisium Pita Putih Indonesia ________________________________ From: Laksono Trisnantoro <trisnant...@yahoo.com> To: "desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com" <desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> Sent: Friday, September 27, 2013 8:14 AM Subject: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi? Dear all. Ada berita menarik dari Sindonews. AKI meningkat tinggi. Mengapa terjadi, perlu dibahas dengan detil. Kami dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan akan membahas kasus ini secara sistematis. Kami mulai diskusi melalui miling-list ini untuk khusus membahas kasus ini. SIlahkan berkomentar. Salam Laksono Trisnantoro Berita kemarin Sindonews.com - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, hasil survei yang dilakukan Badan Kepala Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengeluarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, dijamin akurasinya dan validitasnya. Agung menjelaskan, hal itu dikarenakan, survei tersebut berbeda dengan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga politik yang belakangan sangat popular di Indonesia. “Survei politik cenderung tidak objektif, karena publikasi terhadap hasil survei lebih kepada tujuan untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas tokoh tertentu,” kata Agung, saat ditemui di Peluncuran Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, di Jakarta, Rabu 25 September 2013. Berdasarkan SDKI 2012, rata-rata angka kematian ibu (AKI) tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Dalam hal ini, fakta lonjaknya kematian ini tentu sangat memalukan pemerintahan yang sebelumnya bertekad akan menurunkan AKI hingga 108 per 100 ribu pada 2015 sesuai dengan target MDGs. Salah satu pihak yang menolak mengakui hasil SDKI 2012 adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi berdalih, terjadi perbedaan metode perhitungan dalam SDKI 2012 sehingga angka kematian ibu melahirkan melonjak. Kontroversi angka kematian ibu inilah yang menyebabkan peluncuran SDKI 2012 selalu tertunda. Menurut Agung sangat masuk akal jika SDKI 2012 mencatat rata-rata AKI melonjak. Pasalnya, sejumlah program terobosan untuk menekan kematian ibu melahirkan seperti Jaminan Persalinan (Jampersal) diakui kurang berhasil. Selain itu, sejak otonomi daerah, dukungan pemerintah daerah pada program KB memang jauh menurun. Oleh sebab itu wajar saja, lanjut Agung, jika angka kematian ibu melonjak. “Pemakaian metode KB (Keluarga Berencana) jangka panjang hanya sebesar 10,6 persen. Dan ini menjadi pekerjan yang harus kita selesikan dimasa mendatang,” lanjut Agung. Berbagai persoalan di bidang kependudukan dan KB tersebut jelas Agung akan membawa implikasi pada pencapaian MDGs dan penetapan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Para petugas survei juga melakukan pendataan tentang angka kematian ibu dan balita, sehingga hasil survei jauh lebih lengkap dan sempurna.