JAWA TENGAH SEBAGAI PENYUMBANG JUMLAH KEMATIAN IBU KEDUA TERTINGGI DI INDONESIA Kami ingin mengarisbawahi pernyataan bahwa berdasarkan SDKI AKI di Indonesia pada tahun 2012 meningkat menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Kami kira pada rentan tahun 2008-2012 masih ada kasus kasus kematian ibu yang tidak diketahui, tidak tercatat, ataupun tidak dilaporkan. Jadi yang mungkin sebenarnya terjadi adalah AKI stagnan di atas 300 selama 4 tahun terakhir (2008-2012) Jumlah kematian ibu di Indonesia banyak disumbang oleh Jawa yaitu sekitar 50%. Jawa Tengah sendiri sebagai provinsi kedua penyumbang kasus setelah Jawa Barat. AKI Jateng cenderung stagnan dari 2008-2012 (114,2; 117,2; 104,97; 116,01; 116,34). Di sini kami ingin memberikan tanggapan mengenai PONEK dan Jampersal di Jawa Tengah. 1. PONEK Kebijakan PONEK (Kepmenkes No.1051 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PONEK 24 jam di RS) seharusnya bisa membantu menurunkan kematian ibu dan bayi di RS, namun kenyataannya bahwa kematian ibu terbanyak di Jawa Tengah berada di Rumah Sakit (>70%). Ironis, pasien hanya ke RS untuk meninggal. Masih banyak RS PONEK yang belum mampu 100% PONEK ( hanya ada 15% yang mampu PONEK). Dari sisi aktor, masih terbatasnya SDMkhususnyadokterSp.OG, Sp.An, Sp.A di sebagian RS sehingga ketika ibu melahirkan dirujuk pun tidak akan menerima penanganan oleh dokter spesialis. RS PONEK seharusnya memberikan pelayanan 24 jam, namun logis saja apakah mungkin dokter spesialis bisa memberikan waktunya selama 24 jam untuk RS tersebut. Dari konteks, tidak semua RS PONEK di Jawa Tengah memiliki alat, sarana prasarana yang mendukung. Begitu pula pendanaan untuk insentif dokter spesialis yang dirasa kurang seimbang dengan pelayanan yang mereka berikan. SeringkalirujukanPuskesmas PONEDkeRS PONEKmasihseringbermasalah antaralaindisebabkan ketidakmampuanpetugasdi tingkatPONEDdalammelakukanstabilisasiataupersiapanpra rujukan,belumadanyakomunikasiyangefektifantaraPONEDdan PONEK. Dari proses kebijakan, informasi mengenai PONEK secara menyeluruh belum dilakukan sepenuhnya. Sistem rujukan KIA yang belum jelas dalam pelaksanaannya. 2. JAMPERSAL Kami tidak sependapat dengan apa yang disampaikan dalam berita di Kompas bahwa seolah-olah kurang berhasilnya kebijakan Jampersal memegang peranan penting dalam kenaikan AKI. Jampersal diimplementasikan tahun 2011, sedangkan stagnasi pencapaian AKI sudah sejak lama dari tahun 2008-sekarang. Kebijakan Jampersal yang dituangkan dalam Permenkes No.2562 Tahun 2011 ini memang banyak mengalami hambatan dalam implementasinya, antara lain: tarif rendah. Tarif pasien Jampersal yang sangat kecil dibandingkan tarif pasien umum pun bisa memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, Kabupaten Brebes(penyumbang kasus kematian ibu terbanyak di Jawa Tengah)Jampersal bersifat wajib untuk bidan desa tetapi untuk bidan praktek swastabersifat sukarela. Besarantarif Jampersal masih dibawah rata-rata tarif persalinan umumdan pembayaran klaim terlalu rumitsehingga bidan cenderung mudah merujuk pasien ke RS. Puskesmas PONED merasa merugi karena hanya menerima 60% (jasa medis) sesuai aturan Perda dan tarif partus resiko sama dengan partus normal. Tim Jampersal Kabupaten Brebes sudah dibentuk tetapi belum maksimal perannya.Seperti halnya Jamkesmas, dana yang turun dari pusat harus masuk kas daerah dan tidak langsung dikelola Dinas Kesehatan danRSdan hal ini menyebabkan keterlambatan pemakaian dan berkurangnya serapan anggaran. Diperlukan dana pendamping dari APBD Brebes untuk biaya operasional lain yang belum ada di pedoman pelaksanaan Jampersal. BPS yang tidak MOU jampersal menyatakan tidak ada keharusan dari pihak Dinas Kesehatan, bila ikut Jampersal tidak menguntungkan secara finansial, proses klaim biaya dan persyaratannya rumit sedangkan mereka mempunyai pasien umum yang mampu membayar. RS swasta belum melaksanakan MOU karena masih membangun tambahan bangsal persalinan. Sosialisasi Jampersal kepada masyarakat dirasakan masih sangat kurang. Program Jampersal sebenarnya cukup bagus, hanya saja perlu dicari solusi untuk mengatasi berbagai hambatan dalam implementasinya. Perlu dibuat regulasi yang lebih detail dalam implementasi Jampersal, keseimbangan antara jasa dengan tarif, kesesuaian tarif umum dan tarif Jampersal. Bukan hanya masalah tarif, masalah kesiapan sumber daya manusia seperti bidan desa, bidan praktek swasta, dokter spesialis, perawat. Kesiapan fasilitas kesehatan dan masih banyak hambatan lainnya yang perlu dievaluasi. Terimakasih (Tim Peduli KIA Jateng)