To: [EMAIL PROTECTED]
From: [EMAIL PROTECTED]
Date sent: Thu, 13 Jul 2000 12:26:42 -0000
Send reply to: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [proletar] Re: (Fwd) Konlik Legislatif - Eksekutif
> [EMAIL PROTECTED] wrote:
>
> > >
> > > suhendra:
> > > interpelasi yang berakhir dengan mosi tidak percaya,
> > > ndak ada dalam tata hukum dan tata negara indonesia
> > > yang berlaku saat ini.
> > >
> >
> > jusfiq:
> > Ya, tapi kita bisa melihat ke tradisi diluar Indonesia,
> > ke logika hukum ketatanegaraan.
> > Buat apa kita punya Hans Kessel
> >
>
> suhendra:
> kamu betul fiq. secara teoritis ya jelas kita bisa mengambil
> acuan di luar negeri, tapi apakah itu bisa diterima oleh
> common sense kelas menengah dan elit politik serta
> kelompok intelektual indonesia...., itu masalah lain.
> selanjutnya di bawah...
>
Saya sebut nama Hans Kessel (atau saya lagi salah nulis ?),
karena orang Austria itu adalah teoritikus Rechtsstaat yang
terbernas.
Ada prinsip Rechtstaat yang baku, yang kudu diturutkan.
> --cut---
> >
> > Just for the sake of discussion: tidak ada tradisi (tidak
> > mengenal) belum berarti bahwa kita tidak bisa memulai sebuah
> > tradisi.
>
> suhendra:
> yang saya maksud disini: tradisi hukum.
> hakim-hakim di Amerika Serikat misalnya,
> kalau memutus suatu perkara yang belum ada aturannya,
> atau belum jelas hukumnya, bisa mengambil referensi
> dari keputusan hakim-hakim lain dari kasus yang dianggap serupa.
> jadi ada kebiasaan begitu.
>
Yurisprudensi maksud anda?
Atau hak Judiciary Amerika untuk me review?
> jelas, kita bisa membuat suatu preseden hukum.
> masalahnya, masyarakat indonesia tidak percaya
> sama institusi hukumnya... kerna itu potensi konflik besar.
> lalu kalau sudah konflik, yang masuk tentara..
> masalah kedua, ilmiawan dan pakar hukum di indonesia,
> sudah hampir tidak ada lagi yang dianggap independen,
> yang omongannya bisa dijadiin panutan semua pihak.
> kebanyakan mereka semua dianggap ikut bertarung dan
> berpihak kepada salah satu kekuatan politik.
>
Ya, ini betul.
Dulu, ditahun lima puluhan, sebelum Joko Sutono buka celana dan
nunging dihadapan Soekarno, ahli hukum itu ada.
Sesudah itu yang ada cuma Ismail Sunny, Sri Sumantri, Yusril dan
cabo-cabo lain.
> jadi dalam wacana, kita bisa menujukkan kelemahan sistem
> hukum kita. dalam praktek, siapa yang harus memperbaikinya?
> apa kita mau menyerahkan masalahnya sama legislatif saat ini?
>
> > jusfiq:
> >
> > Dan lagi adalah keliru untuk menyalahkan Abdurrachman Wahid yang
> > mengganti menterinya, karena itu adalah haknya.
>
> suhendra:
> betul. malah hak itu tertera dalam konstitusi yang berlaku.
>
> > > suhendra:
> > > jadi yang bisa dijadikan sandaran sekarang
> > > adalah 'tradisi' hukum kenegaraan secara umum.
> > > seorang kepala negara bisa membubarkan parlemen (dpr),
> > > itu lumrah. tapi saya pikir tidak bisa membubarkan mpr.
>
> > jusfiq:
> > Artinya separuh anggota MPR.
>
> suhendra:
> betul. apakah hal itu akan berarti
> bahwa mpr tidak berfungsi dan harus bubar?
> interpretasi ini memang bisa diperdebatkan.
>
Dpr bubar, lalu perimbangan kekuatan di mpr akan berubah.
> selanjutnya di bawah..
>
> >jusfiq:
> > Saya belum begitu yakin bahwa presiden tidak bisa membubarkan
> > mpr.
> >
> > Jangan kita lupa bahwa presiden di Indonesia bukan hanya kepala
> > pemerintahan, tapi juga kepala negara, yang disaat ada konflik
> > antara eksekutif dan legislatif berkwajiban untuk meminta
> > pemilih untuk jadi hakim.
> >
>
> suhendra:
> masalahnya, sistem mpr dan dpr itu memang kacau.
> kacau dalam arti: itu sistem setengah-setengah.
> parlementer bukan, presidensiil bukan.
>
Bikameralisme yang kaco memang.
MPR disebut Senat ya nggak, kalau disebut Kongres (DPR + Senat)
lalu mana senatnya?
Fraksi utusan daerah?
> dalam sistem presidensiil, (definisi umum: kewenangan presiden
> yang kepala negara sangat besar dalam menentukan kebijakan
> pemerintah atau sekaligus merangkap kepala pemerintahan)
> biasanya presiden dipilih langsung oleh rakyat.
> dalam hal ini, adalah sangat logis untuk rakyat,
> kalau setiap penentuan presiden baru dilakukan
> lewat pemilihan umum baru.
> tapi tetap presiden jarang sekali bisa membubarkan
> lembaga semacam mpr. clinton tidak bisa membubarkan kongres.
>
> saya pikir, hal itu hanya bisa dilakukan dalam
> situasi-situasi darurat. seperti dulu sukarno.
Ntar dulu, soal Soekarno kita kesamingkan dulu, karena ini
masaalah lain atau prsisnya, saya usulkan agar anda baca kembali
tulisan saya di apakabar tentagn UUD45 dan Dekrit 5 Juli.
> tapi gus dur mana mau menempuh jalan begitu?
>
> dalam sistem parlementer, pergantian seorang
> kepala pemerintahan tidak perlu dilakukan lewat pemilihan
> umum baru. bisa saja dengan perubahan koalisi.
Ini dalam sistem multipartai, seperti di Belanda, tapi dalam
sistem Inggeris lain lagi.
> barulah kalau ada dead lock, dalam arti tidak mungkin
> lagi terbentuk koalisi yang punya mayoritas, biasanya
> digelar pemilihan umum baru.
>
> jadi, satu-satunya jalan menyatakan pemilihan umum baru
> apalah menyatakan situasi dead lock itu.
Di sistem multi partai ya!
Major dan Chirac dulu membubarkan DPR untuk (tapi salah hitung)
memperkuat posisinya.
> hanya, biasanya pernyataan dead lock dalam sistem presidensiil
> tidak lumrah dinyatakan oleh si presiden, tapi disadari sendiri
> oleh legislatifnya...
> ini nyang saya bilang refoot.
> (gaji anggota mpr itu diatas 6 juta.
> dan kalau dia bukan anggota dpr atau badan pekerja,
> dia kerjanya kan hanya duduk-duduk di rumah...)
>
Hampir sama dengan gaji anggota parlemen berbagai negeri di
Eropa yang kerjanya kayak kuda!
> saya bilang sistem kita ngawur,
> sebab kewenangan presidennya memakai gaya presidensiil,
> tapi cara pemilihan presidennya memakai gaya parlementer.
> jadi kan kacau. lalubagaimana menilainya
> dari segi 'kebiasaan-kebiasaan umum'.
> sistemnya saja sudah ndak umum.
>
Ya saya setuju, dan bukan hanya ngawur, tapi Dekrit 5 Juli itu
adalah juga Dekrit illegal.
>
> > jusfiq:
> > Di saat judiciary lagi loyo begini, lembaga legislatif bisa
> > menjadi tongtong keadilan...
> >
>
> suhendra:
> ini maksudnya ironis.. atau gimana...?
>
Ah, ngak.
Lagi mau realis saja.
Tapi situasinya memang ironis!
Atau persisnya menyedihkan.
> >
> > Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
> > =====================================
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=====================================
* Ijtihad untuk mencerdaskan ajaran Islam yang sekarang ini penuh ketololan,
kedunguan, kegoblokan dan kebodohan
* Ijtihad untuk memanusiawikan ajaran Islam yang sekarang ini biadab, keji dan nista