FYI




------- Forwarded Message Follows -------
Date sent:              Sun, 13 Aug 2000 15:51:05 -0600 (MDT)
To:                     [EMAIL PROTECTED]
From:                   [EMAIL PROTECTED]
Subject:                [INDONESIA-NEWS] TAJUK - 'Mutasi' Beking di Meja Judi

X-URL: http://www.tajuk.com/edisi09_th3/peristiwa/kriminal01/kriminal_content.html

                        "MUTASI" BEKING DI MEJA JUDI
   
    Oknum sejumlah laskar sipil dan ormas disebut-sebut terlibat sebagai
   pengaman alias beking di rumah-rumah judi. Mereka menggantikan posisi
     oknum aparat keamanan. Dana yang mereka meraup ratusan juta rupiah
                               setiap bulan.
   
   Nasib militer di pentas politik nasional yang mulai bergeser ke
   pinggir, agaknya, merembes ke dunia hitam. Oknum militer dan polisi
   yang dulunya sangat dominan menjaga rumah-rumah judi di berbagai kota
   besar di Indonesia, termasuk Jakarta, kini mulai kehilangan pamor.
   Peran para oknum aparat keamanan ini digantikan orang-orang sipil
   dengan segala "keampuhan"-nya
   
   Ampuh, karena kaum sipil mudah bergerak dengan bendera kelompok. Dan,
   itulah yang ditakuti semua bos judi. Seperti tampak di beberapa
   tempat, kaum sipil ini dengan gampang menyulut kerusuhan, melakukan
   ancaman pengrusakan dan pembakaran. Makanya, kata sejumlah kalangan,
   pemilik rumah judi mempekerjakan mereka sebagai pengaman alias beking
   di tempat-tempat perjudian. "Mereka dapat gaji dari situ," ujar Eddy
   Hartawan, Ketua Umum LSM Pengabdian Putra Bangsa kepada Tajuk. Siang
   hari, tarifnya Rp 50.000/orang, sedang malamnya Rp 75.000/orang.
   
   Yang ironis, kaum sipil yang bermain dalam bisnis haram beromset
   miliaran rupiah sehari ini, umumnya berada di bawah bendera laskar
   atau ormas (organisasi massa). "Ini sudah keterlaluan. Masa, oknum
   pimpinan ormas atau laskar berbendera agama, sudah berani minta
   imbalan jasa keamanan dari bos judi," kata Panglima Laskar Barisan
   Umat Islam Bersatu (BUISTU), Drs. K.A. Herry Azhari Aziz kepada Tajuk,
   pekan lalu.
   
   Herry memang tidak sembarang bicara.Bulan Mei lalu, BUISTU menurunkan
   sebuah tim investigasi ke sejumlah tempat judi yang tersebar di
   wilayah Kota, sepanjang Jalan Gajahmada dan Hayam Wuruk di Jakarta
   Pusat, Mangga Dua (Jakarta Barat), Kepala Gading (Jakarta Utara), dan
   beberapa lokasi judi lainnya. Selama empat minggu keluar masuk lokasi,
   mereka menemukan bukti kuat keterlibatan sejumlah oknum pimpinan
   maupun anggota laskar sipil dan ormas sebagai beking.
   
   Bukti itu didapat dari temuan di lapangan maupun pengakuan langsung
   pengelola dan bos judi itu sendiri. Disebut-sebut, misalnya,
   keterlibatan oknum dari Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK), Front Pembela
   Islam (FPI), Banser (Barisan Serba Guna) Organisasi Kepemudaan Anshor,
   oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pengurus partai.
   
   Temuan lainnya, oknum dari berbagai latar belakang tadi saling membagi
   kavling dengan damai. Mereka kompromis. Tak seperti mafioso di Italia
   yang sampai bersimbah darah memperebutkan wilayah. Nyatanya, sampai
   sekarang mereka nyaris tak pernah bertengkar soal ini. "Ada mitos di
   kalangan bandar judi. Jika di tempat itu terjadi keributan gara-gara
   uang, akan mambawa sial bandarnya," tutur Halim, pria keturunan
   Tionghoa, yang bekerja di tempat judi milik Apau di Jalan Pancoran.
   
   Itulah sebabnya, sebuah tempat judi bisa dibeking sejumlah oknum yang
   berasal dari laskar sipil dan ormas yang berbeda. Halim mengandaikan,
   tempat judi itu seperti sebuah kue yang lezat. Supaya kue itu tidak
   tercabik-cabik, harus dipotong rata sesuai porsinya masing-masing.
   "Oknum pimpinan ormas yang punya anggota lebih banyak dan militan,
   otomatis akan menikmati kue lebih besar daripada yang lainnya.
   Sementara yang lainnya, cukup menjadi pendamping," kata Halim.
   
   Tajuk
   yang melakukan investigasi di sejumlah lokasi judi selama dua pekan
   terakhir ini, mendapatkan banyak info tentang keterlibatan oknum ini.
   Tempat judi milik Martin di Asemka, misalnya, dijaga kelompok Ongen
   Sangaji dengan bendera Ikatan Solidaritas Maluku (ISM). Orang
   mengenalnya sebagai jawara Asemka. Ia meraih posisi ini, cerita
   seorang sumber, berkat dukungan moril dari anggotanya yang banyak
   tinggal di kawasan itu dan sebagian berprofesi sebagai satpam
   pertokoan, tempat hiburan, atau tempat-tempat judi.
   
   Arena judi milik Martin, berlokasi di lantai enam sampai sepuluh Plaza
   Asemka. Fasilitas judi di sini sangat luas dan banyak digandrungi
   penjudi. Selain tempatnya strategis karena dikelilingi pagar setinggi
   hampir dua setengah meter, tempat parkirnya pun cukup luas: di lantai
   dua sampai lima. Jenis judinya pun bervariasi, mulai dari ketangkasan
   bola, rolet sampai berbagai permainan kartu. Semuanya tersedia dalam
   ruangan khusus dan eksklusif. .
   
   Sistem pengaman di tempat ini sangat rapat dan berlapis. Sepeti
   umumnya tempat judi lainnya, arena judi sudah mulai dibuka sejak siang
   hari. Dan para pengaman siaga setiap saat. Baik di tangga maupun di
   lantai dasar gedung, sudah tampak puluhan pria dewasa nongkrong.
   Mereka mengawasi setiap tamu yang hilir mudik. Sementara di setiap
   ruas jalan menuju ke arena judi, ada satu penjaga berwajah sangar.
   
   Ongen tak bermain sendirian di sana. Ia mengandeng sejumlah oknum
   laskar sipil lainnya, di antaranya : Oknum dari Ikatan Keluarga Banten
   dan oknum Gerakan Pemuda Ka'bah, "Tiga kelompok ini, punya ikatan
   emosional yang sangat kuat, sehingga enggak pernah terjadi selisih
   paham," tutur sumber Tajuk, yang mengaku pernah ikut jadi beking di
   tempat itu.
   
   Lokasi judi yang sering disebut-sebut sebagai pesaing berat Asemka
   adalah arena judi di sepanjang Jalan Pancoran. Persaingan itu pernah
   meletus tahun lalu. Pembeking kedua pihak saling jotos, yang
   menjatuhkan sejumlah korban pada kedua pihak. Di sepanjang jalan ini,
   Tajuk mencatat ada tiga tempat judi. Cuma, fasilitasnya sangat
   sederhana, jauh berbeda dibanding di Asemka.
   
   Menurut Halim, pengelola tempat judi di Pancoran, para pemain yang
   memutar duitnya di sini berasal dari kalangan menengah ke bawah.
   Sebagian besar pedagang yang menggelar dagangannya di sekitar tempat
   itu, "Dan, mereka bukan pemain profesional. Anda lihat sendiri, yang
   main di sini, banyak yang pakai sandal jepit," katanya, seraya
   mengajak Tajuk melihat tempat permainan bola ketangkasan, yang siang
   itu sudah ada pengunjungnya.
   
   Dari judi bola ketangkasan, pihaknya tidak bisa mengambil untung
   apa-apa. Bos Apau, pemilik tempat perjudian, memang ada komitmen :
   Arena judi yang satu ini dikhususnya untuk misi sosial. Di sana
   dipekerjakan lebih dari 80 orang secara bergantian. "Kasihan mereka,
   digaji hanya Rp 50 ribu - Rp 80 ribu. Kalau sampai ditutup, mereka mau
   ke mana." Bos Apau, menurut Halim, hanya memungut untung dari judi
   kartu dan rolet saja. Dan, omset-nya pun tidak sebesar di Mangga Dua
   ataupun di Raja Mas Hayam Wuruk. Diperkirakan, dalam sehari omsetnya
   "cuma"sekitar Rp 300 juta - Rp 500 juta.
   
   Soal beking keamanan di tempatnya, Halim mengakui bahwa semenjak
   reformasi pihaknya tidak lagi mempekerjakan oknum tentara atau polisi.
   "Yang jaga di sini, hanya anak-anak yang kebetulan rumahnya di sekitar
   Pancoran." Ia juga mengiyakan, ketika ditanya tentang oknum Gerakan
   Pemuda Ka'bah (GPK) berperan sebagai pengaman di sana. Syahrial Agamas
   (Ketua Umum GPK yang juga anggota DPR Pusat dari PPP), masih menurut
   Halim, sering nongol di sana.
   
   Halim yang kelahiran Sumatera Barat ini mengaku selalu memegang pesan
   Apau. Meskipun ada oknum laskar sipil membeking tempat itu, dia tetap
   diminta si Bos untuk melayani setiap utusan ormas atau laskar sipil
   lain yang datang ke tempatnya. "Soal permintaan dana, di tempat ini
   bisa kita bicarakan dengan baik-baik. Asalkan mereka menunjukkan
   identitas keangggotaan ormas. Jangan khawatir kita siap membantu,'
   tuturnya dengan mimik wajah tak berdosa.
   
   Ibrahim Rahaor, Komandan Brigade GPK, marah besar ketika dikonfirmasi
   Tajuk soal keterlibatan oknum laskarnya di Pancoran. "Kalau ada
   pembeking tempat perjudian mengaku anggota Gerakan Pemuda Ka'bah,
   tolong Anda catat namanya. Dan, laporkan ke saya, akan saya gorok
   lehernya." Ia menegaskan bahwa organisasi yang dipimpinnya sangat
   sensitif dengan hal-hal yang dilarang agama. "Jadi, kalau ada anggota
   yang ikut jadi pembeking judi, jelas terkena sanksi terberat dari
   organisasi. Dipecat!" tutur Ibrahim dengan nada tinggi. Ketua GPK
   Syahrial Agamas, yang disebut-sebut dalam kasus ini, juga membantah.
   "Saya tidak kenal dengan Apau," katanya kepada Tajuk.
   
   Di pusat-pusat perkantoran dan perbelanjaan di sepanjang Jalan Gajah
   Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, kapling pembeking judi juga
   telah terbagi secara rapi. Jalan Gajahmada, kabarnya, sudah jadi
   daerah kekuasaan oknum pimpinan ormas PDI-P Cabang Jakarta Pusat.
   Oknum dimaksud, seperti tersiar dari mulut ke mulut, bernama Yongki.
   Tak jelas apakah ini nama samaran atau sebenarnya. Sepanjang jalan
   tersebut memang banyak terbuka tempat buang duit, di antaranya :
   Ambusmen 80, 82, dan 85.
   
   Menurut Sugeng, satpam yang sering nongkrong di sana, tempat itu
   sebelumnya dikuasai oknum tentara berpangkat mayor dari Garnizun.
   Namun setelah Yongki masuk, si tentara langsung menghilang entah ke
   mana. Ia tak ingat persis sejak kapan Yongki menguasai wilayah itu.
   Yang dia tahu, Yongki tak masuk sendirian. Namun membawa serta oknum
   satgas PDI-P yang berasal dari Kecamatan Tamansari, Jakarta Pusat.
   
   Kabar oknum Satgas PDI-P menjadi beking judi juga ditemui Tajuk di
   sebuah tempat judi di kawasan perumahan elit Kelapa Gading, Jakarta
   Utara. Sepak terjang satgas di sini sangat menyolok. Mereka tak
   segan-segan memakai seragam dinas Satgas PDI-P, hitam-hitam, saat
   menjaga tempat judi yang berselubung sebuah kantor CV di Jalan
   Boulevard.
   
   Seorang satgas, yang mengaku bernama Sunaryo, dengan lugu bercerita
   bahwa dirinya bisa bekerja di tempat itu setelah mendapat rekomendasi
   dari seorang pimpinan DPP PDI-P : Roy BB Janis. "Beliau ini, menjadi
   pembeking tempat ini, setahun yang lalu. " Dia mengaku, bekerja di
   sana bersama dua puluh teman lainnya. Pihak pengelola menggaji mereka
   masing-masing Rp 250.000/bulan. Roy BB Janis, ketua DPP PDI-P, terang
   membantah berita tak sedap itu. "Tidak mungkin, orang yang ngomong
   begitu hanya ingin mendiskreditkan PDI-P," kata Roy tenang. Dadang
   Hamdani, Ketua DPC PDI-P Cabang Jakarta Pusat, juga menolak Yongki
   disangkutkan dengan bisnis haram itu.
   
   Kembali ke Jalan Gajahmada, jika ditelisik lebih jauh, masih banyak
   tempat judi yang sering dikunjungi penjudi profesional. Termasuk di
   sejumlah hotel yang berderet di sepanjang jalan itu. Namun yang cukup
   ramai disebut-sebut selama ini adalah nama Raja Mas milik Rudi
   Gunawan. Para petaruh beken acap datang ke sini untuk mengadu
   peruntungannya.
   
   Seperti dlakukan bos judi lainnya, kata si empunya cerita, Rudi amat
   royal memberikan tips kepada oknum aparat keamanan maupun oknum
   organisasi sipil. Ia tak segan-segan memberi imbalan duit puluhan juta
   rupiah kepada ormas yang bersedia menjamin keamanan usahanya. Bahkan,
   seorang oknum FPI Tamansari berinitial K - yang dikenal paling pedas
   melontarkan kritik terhadap bisnis judi, termasuk meminta pemerintah
   menutup tempat perjudian -- bertekuk lutut setelah utusan Rudy
   mengirim uang Rp 40 juta.
   
   Benarkah? "Kalau ada anggota saya menerima duit sebesar itu, rasanya
   tidak mungkin," kata M..Alawi Usman kepada Tajuk. Alasan Panglima
   Laskar FPI itu, bisnis judi Rudy Raja Mas cuma berupa mesin keping
   yang kecil. Jadi, kalau dia kasih duit, paling banter Rp 5 jutaan.
   Lain halnya kalau Apau, bos judi di Jalan Pancoran, yang omsetnya
   sampai miliaran setiap hari. "Mungkin masuk akal kalau dia mau memberi
   duit sebanyak itu kepada oknum FPI." Namun Alawi menegaskan, FPI tidak
   akan kompromi terhadap setiap anggotanya yang ketahuan menerima duit
   judi.
   
   Selain oknum FPI, Raja Mas juga disebut-sebut menggandeng oknum Banser
   dan sejumlah LSM militan di Ibukota. Mereka dipekerjakan sebagai
   tenaga keamanan di lokasi hiburan milik Rudy. Sayang sekali, Rudy tak
   bisa dihubungi. Senin lalu, ia terbang ke Australia untuk suatu urusan
   sehingga tidak dapat dikonfirmasi soal tuduhan yang mengarah padanya.
   Namun sumber Tajuk yang mengaku dekat dengannya mengatakan, Raja Mas
   milik Rudy bukanlah tempat judi. Melainkan tempat hiburan biasa yang
   legal. "Jadi, tidak benar kalau ia disebut bos judi, apalagi menyuap
   orang segala," katanya.
   
   Sama seperti di Gajahmada, lokasi judi di sepanjang Jalan Wuruk tak
   kalah ramainya. Salah satunya di Hayam Wuruk 85 milik Youngki. Tempat
   itu, kabarnya, "dijaga" Eddy Hartawan dengan LSM Pengabdian Putra
   Bangsa (PPB). Di organisasi ini, Eddy duduk sebagai Ketua Umum. Untuk
   menjaga tempat itu, demikian sumber Tajuk, PPB terjun bersama 14 LSM
   lainnya yang notabene semuanya milik Eddy Hartawan pula. Ketika
   dikonfirmasi, Eddy membantah. "Dia mau bayar saya berapa, Bung. Nama
   baik saya tidak bisa dibayar dengan uang," katanya lantang.
   
   Menurut Eddy, LSM binaannya bergerak di berbagai bidang. Dari namanya,
   sudah jelas kemana sasaran tembakannya, seperti : Geram (Gerakan
   Remaja Anti Madat), Gerakan Anti Koruptor, dan Gerakan Pemburu
   Koruptor. Ia mengaku menggerakkan roda LSM itu dengan duitnya sendiri.
   "Saya punya tempat yang saya kontrakin buat restoran Padang. Duit dari
   situ cukup untuk kegiatan. Saya juga punya dana abadi." Makanya, Eddy
   heran jika muncul rumor macam-macam kepada organisasinya. Padahal
   sejak dua tahun lalu, katanya, sudah aktif memberantas judi. Di
   antaranya, pernah menutup tempat-tempat judi di daerah Kota.
   
   Kapling beking lain yang tak kalah populer adalah kawasan Mangga Dua.
   Pusat perkulakan internasional yang punya omset terbesar di Indonesia,
   bahkan di Asia Tenggara, itu dikenal paling subur bisnis judi. Para
   penjudi asing banyak berdatangan ke tempat itu. Lokasi judinya sangat
   eksklusif, di sejumlah lingkungan gedung International Trade Centre
   (ITC).
   
   Yang santer disangkutkan sebagai beking judi di wilayah ini adalah
   oknum Banser pimpinan Haris Sumby. Pria berusia 34 tahun, kelahiran
   Flores NTT ini, bersama anak buahnya menjaga keamanan para penjudi
   yang main di sini. Sejumlah sumber bahkan suatu waktu melihat Haris
   dan anak buahnya memakai pakaian banser di lokasi. Eddy Hartawan,
   misalnya, mengaku pernah menegur alumni Universitas Merdeka Malang
   ini, karena memakai atribut Banser-nya. "Janganlah kau pakai celana
   Banser itu, tidak pantas dilihat orang. Jagalah nama baikmu. Jangan
   karena duit, lalu kau hancurkan kariermu. Kau masih muda," katanya.
   "Ya. Bang," jawab Haris, seperti ditirukan Eddy.
   
   Haris bersama anggota Banser-nya juga dituduh menjadi beking judi di
   Hotel Horison Ancol, dan judi di kapal pesiar di perairan Kepulauan
   Seribu. Selain Haris, judi di Horison juga "dipagari" seorang oknum
   tentara. "Namanya Kolonel Hamdi," ujar Eddy Hartawan. Ia tahu, karena
   ketika datang ke Ancol langsung disergap Hamdi dengan ucapan : "Kamu
   pulang saja. Pekerjaan saya adalah mengantarkan orang mati," kata
   Eddy, mengulang kata-kata si kolonel. Sementara judi di kapal pesiar,
   menurut pria brewokan ini, dicukongi tiga orang : Sugeng, Beny, dan
   Rudy Gunawan. Yang terakhir ini bukan pemilik Raja Mas. Beny adalah
   anaknya Sugeng. "Kapal pesiar itu hanya bohong-bohongan. Itu tempat
   judi. Mereka yang mau main di sana, berkumpul dulu di Ancol," tutur
   Eddy.
   
   Sama seperti yang lainnya, Haris menolak mentah-mentah semua tudingan
   yang terarah padanya. Kepada Tajuk ia bercerita, dirinya menjadi Ketua
   Kelompok Kerja Mangga Dua yang membawahi 630-an anggota dari 8
   (delapan) etnis. Kelompok ini, katanya, bertanggung jawab terhadap
   pengamanan kawasan Mangga Dua secara keseluruhan. Bukan rumah judi.
   "Saya bahkan memasang maklumat di tempat judi, yang melarang orang
   pribumi muslim berjudi," katanya tenang. Sasus soal perannya di Ancol
   dan kapal pesiar pun ditampiknya.
   
   Duit-lah yang menarik para oknum itu terjun ke lokasi judi. Berapa
   besar? Tak ada data pasti tentang hal ini. Menurut Herry Aziz, setiap
   tempat judi mempekerjakan sekitar 500-700 orang. Ini mulai dari Ketua
   RT, warga sekitar lokasi, sampai oknum sejumlah ormas dan laskar yang
   memang sengaja bekerja di sana. Mereka bekerja secara bergiliran. Pada
   siang hari, mereka diberi duit Rp 50 ribu/orang, sedang malam hari Rp
   75 ribu/orang. Kalau ditotal, demikian Herry Aziz, ada sekitar Rp 1
   miliar/ milik si bos judi yang disebarkan kepada pengaman itu setiap
   bulan.
   
   Menurut Tobing, seorang yang sudah lama malang melintang di meja judi,
   uang jasa centeng itu di-manage secara profesional oleh pemilik rumah
   judi. Ada standar upah dan waktu khusus mencairkan dana haram itu.
   Sebuah tempat judi di pusat perdagangan ibukota, katanya, menyediakan
   uang jasa centeng sampai ratusan juta rupiah perbulan. Pastinya, oknum
   setiap ormas dan laskar yang bekerja di situ bisa mengantongi Rp 30
   juta - 40 juta setiap bulannya. Pengambilannya tidak sekaligus. Tetapi
   dibagi dalam tiga termin, yakni setiap tanggal 10, 20 dan 30.
   Tujuannya, untuk memudahkan administrasi.
   
   Kalau ada oknum ormas dan laskar yang mengambil di luar jadwal itu,
   berarti dia bukan pembeking utama. Orang tersebut, masih berada di
   ring kedua. Bukan berarti jatahnya tidak ada. Si bos tetap memberinya,
   cuma di bawah standar pengaman utama. Besarnya bervariasi,antara Rp 5
   juta - Rp 15 juta setiap bulannya. Angka ini bisa berubah-ubah,
   tergantung pamor organisasinya. Semakin militan kelompok itu, maka bos
   judi pun akan memberi penghargaan lebih.
   
   Itu baru dari satu tempat judi. Jika yang bersangkutan sampai masuk ke
   beberapa lokasi, katakan 8 sampai 10 lokasi di kawaan Kota, maka dalam
   sebulan ia bisa meraup Rp 400 juta. "Ini bukan hitungan fiktif. Omset
   judi di kawasan itu mencapai Rp 1,5 miliar sehari. Jadi, uang jasa
   centeng sebesar itu tidak ada artinya," ujar Tobing. Duit itu semua
   diberikan dalam bentuk cash, tanpa pakai tanda terima segala. "Jadi,
   wajar jika kita kesulitan membuktikan oknum pimpinan dan anggota ormas
   atau laskar tertentu telah menerima uang haram atau enggak," ujar
   Harry Aziz.
   
   Begitulah, panggung judi di tanah air diramaikan para pemain baru di
   bidang pengamanan. Baru atau lama, dalam satu hal sama saja :
   perjudian tak akan sampai hilang dari peredaran. Sudah sejak lama
   aparat mengganyang bisnis haram ini. Polda Metro Jaya, misalnya,
   selama 1999 sudah menangani 185 kasus judi -- 164 di antaranya sudah
   dirampungkan. Namun, meja judi masih terbuka di mana-mana sampai
   sekarang.
   
   Makanya, banyak usulan agar judi dilegalkan seperti di masa Gubernur
   Ali Sadikin. Usulan ini sempat pula terlontar dari Gubernur DKI Jaya,
   Sutiyoso. Pertimbangannya jelas : duit judi bisa terkontrol ke kas
   negara, tidak lagi lari ke kantong oknum-oknum. Lokasi judi bisa
   dilokalisir di sebuah pulau, sehingga tidak mengganggu masyarakat
   luas.
   
   Ide Sutiyoso, dan juga yang lainnya, belakangan luruh sebelum tumbuh.
   Berbagai kalangan menentangnya, termasuk sejumlah laskar sipil dan
   ormas di Jakarta. Judi memang rumit, sekaligus manis bagi segelintir
   orang.
   
   Tim Tajuk
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=====================================

* Ijtihad untuk mencerdaskan ajaran Islam yang sekarang ini penuh ketololan, 
kedunguan, kegoblokan dan kebodohan

* Ijtihad untuk memanusiawikan ajaran Islam yang sekarang ini biadab, keji dan nista


Kirim email ke