Hello,
Cerita ini sepertinya dirancang utk mendeskreditkan puyer, jadi apa pun 
yg bisa ditulis lalu dikembangakan seolah puyer adalah barang najis, 
barang yg tdk bermanfaat dlsb.
Nah kalau boleh tau, puyer itu dibuat oleh apotik atau sang dokter, 
menggunakan bahan baku apakah?
apakah ada obat sendiri hasil penelitian sendiri, yg kemudian di buatkan 
sebagai puyer?
Dlm pengertian saya tentu tdk, bahan2 baku akan diambil dari jenis obat 
yg dituliskan dlm resep, jadi entah itu generik atau patened name obat, 
semua dimabil, dibagi sesuai dg jumlah yg diinginkan dlm resep yg 
disesuaikan dg kebutuhan sang anak berdasarkan pengalaman n analisa 
serta doiagnosa sang dopkter yg meresepkannya.
Jadi kalau oabat puyer adalah obat yg berbahaya, yg patut dihindarkan? 
lalu apakah bahan bakunya obat patent atau generik kalau diminum dg 
suruhan misalnya:
" Ibu nanti pulang tebus resep ini ya? ibu kasikan ke anak di petek dulu 
bagi emapat bagaian, yg diberikan cuman 1 bagain saja ya?"
Maka akan diapakankah obat tersebut oleh sang ibu?
Apakah benar akan dipetek bahgi emapat, atau dlm pikiran sang ibu, wah 
ini kan obat, kalau dianjurkan petek bagi emapat n saya kasikan 1 kan 
jauh lebih manjur ya?, maka diberiaknlah dlm jumlah 1 tablet penuh 
sekaligus.
Sapa yg salah? bukan puyer yg tepat dosis tentu, tetapi karena harus 
tablet utuh dg berabagi alsana yg ditulis oelh seorg dokter seperti 
disini, maka jadilah over dosis, n anak keracunan; Ini juga alngkah 
ekstrim seperti yg dituliskan oleh sang dokter yg memberikan pengakuan 
disini, tetapi juga merupakan langkah konkrit yg sering terjadi.

Resep, resep memang diajarkan ketika dibangku kuliah, akan tetapi kenapa 
lalu banayk muncul obat2 dg kombinasi tertentu dlm jumlah yg variatif 
tergantung masing2 pabrikan?
Apakah sang dokter adalah robot, sehingga tdk perlu menggunakan pikiran 
sehat, melihat kondisi sang pasien, menganalisa jumlah takaran obat n 
memberikan dlm jumlah yg tepat bagi sang pasien?
Kalu begitu, kenapa tdk membuat robot yg pratek, jadi anak tinggal 
dibaringkan, tangan n kaki di gelangkan, badan langsung diambil 
temperatur, pulse, tekanan darah, masukan symptoms n keluarlah obat2 
patent sesuai dg symptoms yg diberikan seperti vending machine?
Apakah tindakan robotik semacam ini justru dibenarkan?
Saya kok melihat lebih manusiawi (terbatas dari sang dokter yg mengcopy 
resep senior tanapa berpikir lebih dalam ttg pasiennya) bila sang dokter 
melihat, memeriksa, menganalisa, dan mendiagnosa perlu apakah  obat yg 
tepat dg dosis yg tepat buat si pasiennya dibanding dg kerja robot yg 
pasti sama persis utk semua symptoms yg sdh diprogramkan.
Jadi barangkali tdk perlu mesti Ibu mentri bilang boleh baru tdk 
diperdebatkan, karena sebenarnya semua dokter bisa belajar hal yg sama 
walau tdk mesti dari universitas yg sama, akan tetapi pengalaman, seni 
atau arts menganalisa symptoms, seni atau arts menetukan jenis obat n 
kombinasinya (tentu dg memperhatikan drug interaction dlsb) karena dg 
demnikian baru bisa di temukan bahwa ada dokter yg bila didatangin 
pasien, pasien yakin sembuh, n kemudian obatnya memang membantu dlm 
dosis yg tepat, semntara ada doktrer yg justru ditinggal pasiennya 
karena hanya mengikuti buku n literatur sehingga hasilnya snag paseien 
seolah dipermainkan dg obat n tdk sembuh2.

mengenai simptomatis, saya pikir walau saya tdk gunakan drug atau 
obat2an, memang diperlukan utk mengurangi pendritaan walau hanya semu, 
tetapi misalnya kalau itu serangan virus, lalu adakah obat utk virus 
selain beristirahat, tenang, tidur nyenyak n makan yg baik kecuali 
memang ada pembelajaran ttg bagaimana meningkatkan immunitas yg berbeda 
dari yg diatas tersebut, maka obatnya adalah symptomatis.
kenapa symptomatis, karena dg symptomatis, anak merasa lebih nyaman, 
maka anak mulai bisa makan, anak mulai bisa sedikit melupakan sakitnya, 
n dg demikian anak mulai bisa tidur dg tenang, n karena itu immunitasnya 
ikut bertambah.

Jadi sebenarnya kalau anda tdk mengikuti pendidikan dokter atau ilmu 
kesehatan manusia lainnya, maka barangkali yg pertama kalau anda berobat 
ke dokter misalnya, maka anda mesti percaya bahwa sang dokter tdk 
bermaksud mencelakakan anda.
Yg kedua kalau anda tau sedikit, maka anda juga perlu bertanaya kepada 
sang dokter apa maksud n tujuan dari pemberian obata2 tersebut, jadi dg 
demikian anda bukan target penggunaan jumlah obat agar mendapat bonus yg 
di cari, tetapi kesembuhan sang pasienlah yg di targetkan.
Puyer asalnya adalah dari obat2 yg ada, yg kemudian di kombinasikan agar 
bisa tepat pada symptoms yg ada, jadi bukan b arang yg aneh. irasional 
atau berbahaya karena toh asalnya adalah obat2an yg memang dianjurkan.

Jamu juga pada mulanya adalah tumbuhan yg di puyerkan, kemudian atas 
kepandaian industri ditambahkanlah pengawet dlsbnya supaya hasilnya bisa 
tahan lama n menjadi kental kalau di seduh, n ini justru yg berbahaya, 
karena pencampuran bahan2 kimiawi n bahan2 obat bahkan oabat2 dg daftar 
G (harus dg resep dokter) tanpa mempelajari efek and interaksi oabat n 
jamu, justru membahayakan yg menggunaknnya.

Dg demikian barangkali kita semua bisa belajar bahwa sesuyatu yg 
menayangkut manusia hendaknya dibuat secara manusiawi, n bukan hanya 
sekedar bisnis atau money oriented saja.

Mengenai tayangan Tv saya pikri lebih mendewakan dokter karena doketr 
begitu sakti, tanpa memriksa, bisa tau sakitnya apa n bisa membuat resep 
puyer, sakti khan??

Sallam,


hoesana wrote:
>  
>
> Ketika saya lulus menjadi seorang dokter, terus terang saya bagaikan
> orang
> buta yang baru pernah melihat merasa senang kegirangan karena status
> dokter
> yang saya sandang, tetapi masih meraba raba juga karena belum tahu apa
> yang
> harus saya lakukan.
>
> Menangani pasien pertama kalinya (sebagai seorang dokter tentunya)
> merupakan
> suatu kebanggaan tersendiri. Pasien datang, mendengarkan keluhannya,
> memeriksa, dan memberikan obat.
> Puas? Tentu saja puas rasanya. Pasien puas, karena keluhan berkurang
> bahkan
> menghilang. Dan bulan berikutnya pasien ada keluhan mereka kembali
> kepada
> saya karena merasa cocok dengan obat yang saya berikan.
>
> Sebagai catatan ketika saya bilang pasien, termasuk orang tua pasien
> untuk
> pasien saya yang tergolong anak anak. Anggap saja saya sedang
> membicarakan
> pasien anak anak.
>
> Tapi apakah saya sudah menangani pasien tersebut dengan baik? Tentu saja
> TIDAK jawabannya.
> Mengurangi keluhan pasien bukan berarti menyembuhkan, bahkan tanpa
> disadari
> bisa membahayakan pasien.
>
> Ada satu titik balik dimana saya menyadari terdapat kesalahan dalam
> penanganan pasien saya selama ini, dan di kemudian hari saya bertemu
> dengan
> komunitas yang membuat saya semakin belajar dan belajar setiap harinya.
>
> Sebelumnya puyer menjadi andalan saya, pasien (orang tua pasien) puas,
> waktu
> yang dibutuhkan untuk menangani pasien jauh lebih singkat. Cukup
> berkata: oh
> ini batuk pilek, obatnya cukup minum, 3 hari tidak sembuh balik kembali.
> Rutinitas yang saya lakukan selama sekitar 6 bulan pertama saya menjadi
> dokter.
>
> Sampai suatu saat saya menemukan suatu kejadian yang begitu menampar
> saya.
> Datanglah seorang pasien berumur 5 bulan, datang dengan keluhan mencret
> mencret. Seperti biasa, meresepkan puyer sepertinya sudah ada cetakan
> tersendiri di otak saya. Lalu saya berikan resep puyer yang kurang lebih
> fungsinya menghentikan kerja usus, sehingga keluhan mencret mencret
> berkurang.
> Apa yang terjadi. Apakah puyer yang saya berikan menjadi solusi atas
> kasus
> pasien saya? Ternyata tidak. Pasien saya tidak mencret lagi, tetapi
> jatuh ke
> dalam kondisi dehidrasi sedang. Karena apa? Sudah merasa yakin dengan
> puyer
> yang saya berikan, sehingga lupa dengan tata laksana diare akut yang
> seharusnya, pemberian larutan rehidrasi oral.
>
> Sejak saat itu saya menyesal, bukan hanya menyesali perbuatan saya yang
> melupakan guideline, tetapi penyesalan itu dilanjutkan dengan penyesalan
> dengan entah berapa resep puyer yang saya berikan.
>
> Terkadang saya merasa, Tuhan sangat baik terhadap saya. Masih menuntun
> saya,
> meskipun dengan tamparan, ke jalan yang seharusnya.
>
> Ketika saya masih merasa tidak ada yang salah dengan puyer, tapi di
> komunitas itu memperdebatkan penggunaan puyer. Lalu saya bertanya pada
> diri
> saya sendiri. Saya yang salah atau mereka yang menentang puyer yang
> tidak
> mengerti.
>
> Lalu pertanyaan pertanyaan yang mengalir di komunitas itu membuat saya
> lebih
> membuka mata saya, memanfaatkan teknologi canggih untuk memperbaharui
> keilmuan saya. Dan ternyata sebenarnya itu bukan ilmu baru, hanya saja
> saya
> yang terlalu malas dan bodoh untuk mengamalkan pelajaran saya yang
> semestinya.
>
> Mengapa saya harus memberikan puyer? Saya tidak hidup di daerah yang
> terpencil. Dimana akses untuk obat obatan dosis anak mungkin sulit
> sekali.
> Dan kalaupun membutuhkan obat hanya satu jenis saja, tapi rasanya
> parasetamol sirup bisa diusahakan, hanya kalau terdesak baru menggunakan
> parasetamol tablet yang dihancurkan (note hanya parasetamol tablet)
>
> Ya... saya telah bermain main dengan 3 hal. Puyer, polifarmasi, dan
> pengobatan yang tidak rasional.
>
> Lalu kemanakah ilmu farmakologi saya. Menguapkah seiring dengan kenaikan
> tingkat saya. Lupakah saya bahwa setiap obat dikemas sedemikan rupa
> sesuai
> dengan cara penggunaannya. Lupakah saya dengan interaksi obat. Dua obat
> yang
> dicampur saja risiko interaksi obat cukup berat, apalagi tiga atau empat
> macam obat. Mungkin saya tidak lupa dengan interaksi obat, tetapi saya
> tidak
> paham betul dengan interaksi obat.
>
> Lalu dimana ilmu klinis saya. Apa iya setiap pasien dengan keluhannya,
> yang
> diterapi adalah keluhannya bukan diagnosis atau penyakit itu sendiri.
>
> Apa iya saya harus memberikan puyer hanya karena pasien saya (orang tua
> pasien) merasa hanya puyer yang manjur untuk keluhan anaknya.
> Apa iya saya harus memberikan puyer hanya untuk mempersingkat waktu
> kunjungan dibanding saya harus menjelaskan panjang lebar mengenai
> diagnosis
> penyakitnya.
> Apa iya demi semua kenyamanan orang tua, maka anak kecil harus menerima
> risiko yang ditimbulkan oleh puyer.
> Apa iya memberikan puyer supaya harga obat yang harus ditebus bisa lebih
> murah? Lalu bagaimana dengan risiko penyakit yang ditimbulkan dari
> puyer,
> apa bisa tergantikan dengan harga obat yang murah.
>
> Saya tidak bisa membayangkan ketika parasetamol berinteraksi dengan
> diazepam
> atau berinteraksi dengan luminal, akan menghasilkan metabolit yang
> justru
> membahayakan hati anak tersebut yang nota bene belum berfungsi dengan
> baik.
> Baru parasetamol saja, belum obat obatan yang lainnya.
>
> Saya belajar dan belajar lagi. Sekali lagi Tuhan sayang sekali kepada
> saya.
> Masih diberikannya kesempatan saya untuk memperbaiki diri saya.
>
> Mengapa harus puyer? Jikalau keluhan yang disebabkan oleh virus sembuh
> sendiri dan tidak membutuhkan terapi apapun. Mengapa harus puyer, jika
> parasetamol sangat terjangkau dan dapat didapatkan di puskesmas dengan
> gratis. Kalaupun tidak ada dosis yang sesuai, mengapa tidak sertakan
> pemberian pipet atau spuit tanpa jarum untuk membantu pemberian obat.
> Atau
> parasetamol tablet pediatrik pun bisa digunakan.
> Apa tidak tahu bahwa anak batuk tidak boleh diberi obat batuk?
> Apa tidak tahu bahwa diare tidak boleh diberi obat diare?
> Apa tidak tahu bahwa muntah tidak boleh diberi obat muntah?Lalu apa
> gunanya diagnosis? Terapi sesuai dengan diagnosis bukan "a pill for
> an ill". Obat obatan simtomatik yang terkandung di puyer, tidak
> menyelesaikan permasalahan, justru menimbun penyakit diam diam, efeknya
> tidak hari ini tapi di masa depan.
>
> Mengapa harus puyer, jikalau saya yang tidak paham mengenai
> farmakodinamis
> dan farmakokinetik obat ini tidak berpikir secara higinis. Bersihkah
> mortar
> tempat membuat puyer, dapat menjamin tidak tercampur dengan bahan bahan
> lain
> atau tidak?
>
> Mengapa harus puyer, jikalau saya yang harus menguasai keluhan umum,
> harus
> membabi buta dengan memberikan puyer pada setiap keluhan pasien tetapi
> tidak
> mengindahkan kaidah "good manufacturing practice", dan apakah saya bisa
> menjamin bahwa campuran itu homogen dan pembagian dosisnya sudah sesuai
> ditiap-tiap bungkus puyer itu.
>
> Apa saya bisa menjamin semuanya. Menjamin bebas dari interaksi obat,
> menjamin kebersihannya, menjamin bahwa obat itu fungsinya tidak berubah
> ketika bentuknya tidak sesuai dengan yang seharusnya?
>
> Apa disekitar saya begitu terbatasnya sehingga saya tidak bisa
> memberikan
> obat yang berbentuk sirup?
>
> Apa saya tidak bisa meyakinkan kepada pasien bahwa, yang diterapi adalah
> penyakit/diagnosis bukan keluhannya?
>
> Apakah dektsrometorfan, luminal, efedrin, diazepam, kodein, ambroksol,
> bromheksin, papaverin, teofilin, antibiotik, dan beberapa jenis obat
> lainnya
> yang sering diresepkan pada puyer anak sebegitu mendesaknya untuk
> diberikan
> kepada anak sehingga melupakan kaidah pengobatan yang seharusnya?
> Apakah itu menjadi nilai ekonomis?
>
> Jika puyer membantu, maka mengapa tidak ada standar dalam pembuatan
> puyer?
> Apakah setiap dokter sama seperti rumah makan memiliki resep tersendiri
> dalam pemberian obatnya? Lalu apa bedanya ilmu yang dipelajari? Apa
> gunanya
> Guideline, apa gunanya text book?
>
> Sampai saat ini saya tetap berkata tidak kepada puyer untuk menghindari
> diri
> dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelumnya, Karena
> menjadi
> dokter adalah amanah yang cukup berat. Memegang janji antara saya dengan
> Tuhan saya Allah SWT. Jika saya tidak menggunakan puyer semata mata saya
> takut dengan sang Khalik. Takut tidak menjalankan amanah dengan sebaik
> baiknya.
>
>   

-- 

   "Absolutely Drug less Health Care solution Organization"

Kirim email ke