Lihatlah  sapi,  kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak  anak-anak  lagi  tidak akan minum susu

karena sapi, kambing atau kerbau engga bisa minum dari gelas

*maap... asal komen aja nih... soale aku sampe sekarang masih minum susu sapi, 
wuaduh bgmn nih minum susu kok malah rentan osteoporosis* 

--- On Thu, 5/14/09, Wie-2x <pr0t31n_...@yahoo.ie> wrote:

From: Wie-2x <pr0t31n_...@yahoo.ie>
Subject: [Dokter Umum] Susu Sapi Bukan untuk Manusia
To: dokter_umum@yahoogroups.com
Date: Thursday, May 14, 2009, 11:53 PM

Susu Sapi Bukan untuk Manusia
[catatan Dahlan Iskan, Jawa Pos Edisi 15 Mei 2009]

TIDAK  ada  makhluk  di  dunia  ini  yang  ketika  sudah dewasa masih minum susu
–kecuali  manusia.  Lihatlah  sapi,  kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak  anak-anak  lagi  tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti menyalahi
perilaku yang alami seperti itu?

”Itu  gara-gara  pabrik  susu  yang  terus mengiklankan produknya,” ujar Prof Dr
Hiromi  Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme (Keajaiban
Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal,
katanya,  susu  sapi  adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia
seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum
susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.

Mengapa susu paling jelek untuk manusia?

Bahkan,  katanya,  bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu
benda  cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak
sempat  berinteraksi  dengan  enzim  yang  diproduksi  mulut  kita. Akibat tidak
bercampur  enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut
langsung  menggumpal  dan  sulit  sekali  dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh
terpaksa mengeluarkan cadangan ”enzim induk” yang seharusnya lebih baik dihemat.
Enzim  induk  itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang.
Namun,  karena  enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu,
peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.

Profesor  Hiromi  tentu  tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka di
dunia.  Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor di
usus  tanpa  harus  membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti dia
sudah  sangat  berpengalaman  menjalani  praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa
keadaan  usus  bagian  dalam  lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia
memang  orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus
mondarmandir di antara dua negara itu.

Setiap  memeriksa  usus  pasiennya,  Prof  Hiromi sekalian melakukan penelitian.
Yakni,  untuk  mengetahui  kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan dan
minum  pasiennya.  Dia  menjadi  hafal pasien yang ususnya berantakan pasti yang
makan  atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara
lain susu dan daging.

Dia   melihat   alangkah  mengerikannya  bentuk  usus  orang  yang  biasa  makan
makanan/minuman   yang   ”jelek”:   benjol-benjol,   luka-luka,   bisul-  bisul,
bercak-bercak  hitam,  dan  menyempit  di  sana-sini seperti diikat dengan karet
gelang.  Jelek  di  situ  berarti  tidak  memenuhi  syarat yang diinginkan usus.
Sedangkan  usus  orang  yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat bagus,
bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.

Karena  tugas  usus  adalah  menyerap  makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan
kalau  makanan  yang  masuk  tidak  memenuhi  syarat si usus. Bukan saja ususnya
kecapean,   juga   sari  makanan  yang  diserap  pun  tidak  banyak.  Akibatnya,
pertumbuhan  sel-sel  tubuh  kurang  baik,  daya  tahan  tubuh sangat jelek, sel
radikal  bebas  bermunculan,  penyakit  timbul,  dan  kulit cepat menua. Bahkan,
makanan  yang  tidak  berserat  seperti  daging,  bisa  menyisakan  kotoran yang
menempel  di  dinding  usus:  menjadi  tinja  stagnan yang kemudian membusuk dan
menimbulkan penyakit lagi.

Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya
menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke
perut.

Dia  mengambil  contoh  yang  sangat  menarik,  meski  di  bagian ini saya rasa,
keilmiahannya  kurang  bisa  dipertanggungjawabkan.  Misalnya,  dia  minta  kita
menyadari  berapakah  jumlah  gigi  taring  kita,  yang tugasnya mengoyak-ngoyak
makanan  seperti  daging:  hanya  15  persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti
bahwa  alam  hanya  menyediakan  infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari
seluruh makanan yang kita perlukan.

Dia  juga  menyebut  contoh  harimau  yang  hanya  makan  daging. Larinya memang
kencang,  tapi  hanya  untuk  menit-menit  awal. Ketika diajak ”lomba lari” oleh
mangsanya,  harimau  akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang tidak
makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.

Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu,
katanya,  harus  dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak keras
harus  sampai  70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar di
mulut  makanan  bisa  bercampur  dengan  enzim  secara  sempurna.  Demikian juga
kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya,
sebaiknya  setengah  jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih
dulu.

Bagaimana  kalau  makanannya  seret  masuk  tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan.
Berarti  mengunyahnya  kurang  dari  30 kali! Dia juga menganjurkan agar setelah
makan  sebaiknya  jangan  tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur itu,
tulisnya,  harus  dalam  keadaan  perut kosong. Kalau semua teorinya diterapkan,
orang  bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan
gembrot.

Yang  paling  mendasar  dari  teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi
”modal”  oleh  alam  bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan di
dalam  ”lumbung  enzim-  induk”.  Enzim-induk  ini  setiap hari dikeluarkan dari
”lumbung”-nya  untuk  diubah  menjadi berbagai macam enzim sesuai keperluan hari
itu.  Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros menguras
lumbung  enzim-induk.  Mati,  menurut  dia,  adalah  habisnya  enzim  di lumbung
masing-masing.

Maka  untuk  bisa  berumur  panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing
haruslah  menghemat  enzim-induk  itu.  Bahkan,  kalau bisa ditambah dengan cara
selalu  makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. Semua
makanan  (mentah  maupun  yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan
mengalami  oksidasi.  Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara
terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.

Apalagi  kalau  makanan  itu  digoreng  dengan  minyak.  Minyaknya sendiri sudah
persoalan,  apalagi  kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau makan
makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu
sudah  lama  dibiarkan  di  udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, sangat
bahaya  bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang
banyak.

Apa saja makanan yang direkomendasikan?

Sayur,   biji-bijian,  dan  buah.  Jangan  terlalu  banyak  makan  makanan  yang
berprotein.  Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan.
Protein   itu   harus   dibuang.   Membuangnya   pun  memerlukan  kekuatan  yang
ujung-ujungnya  juga  berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau
untuk  mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya
juga harus menguras lumbung enzim.

Prof  Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu dengan
sungguh-  sungguh.  Hasilnya,  umurnya  sudah 70 tahun, tapi belum pernah sakit.
Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan
yang  di  luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus
terjadi  karena  makanan ”jelek” itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau
terlalu sering.

Terhadap  pasiennya,  Prof  Hiromi  juga  menerapkan  ”pengobatan”  seperti itu.
Pasien-pasien  penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan dengan
”pengobatan”  alamiah  tersebut.  Pasiennya yang sudah gawat dia minta mengikuti
cara  hidup  sehat  seperti  itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, katanya,
banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter
yang  mau  melihatnya  melalui  sistem  tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung
hanya  fokus  ke  jantung.  Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus.
Demikian  juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang
menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.

Saya  mencoba  mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 50
persennya.  Entah,  persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi sebulan
ke depan.

Yang  menggembirakan  dari  buku  Prof  Hiromi ini adalah: orang itu harus makan
makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang
dan  pikirannya  gembira,  terjadilah  mekanisme  dalam  tubuh yang bisa membuat
enzim-induk bertambah.

Nah... gan pei!




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke