Salam..
Siapapun dia, apabila mengetengahkan suatu hasil penelitian, harus 
mengetengahkan metodologi dan cara pengambilan sampel yang diteliti-tanpa 
mengurangi rasa hormat terhadap peneliti tersebut. Tugas pembaca adalah 
melakukan studi ktitis terhadap publikasi penelitian tersebut.
� Semoga metodologi tersebut dipaparkan dalam buku prof hiromi tersebut (saya 
belum membacanya).
Pendidikan spesialisasi tidak menghancurkan ilmu kedokteran, karena dalam 
pendidikan spesialisasi kita dididik berfikir secara menyeluruh, namun 
bertindak spesialistik. Dalam bahasa sosial disebut think globally, act 
locally. Semua profesi didunia ini berjalan kearah tersebut, karena zaman 
menuntut demikian. Perkara ekses negatif dari kegiatan yang terspesialisasi, 
itu adalah pitfalls. Ibarat pepatah, tak ada gading yang tak retak. Tapi itu 
semua bukan alasan meninggalkan praktik spesialistik.


--- On Sun, 5/17/09, Satrijo Andojo <bg270...@yahoo.co.id> wrote:

From: Satrijo Andojo <bg270...@yahoo.co.id>
Subject: Re: [Dokter Umum] Susu Sapi Bukan untuk Manusia
To: "Milis dokter umum" <dokter_umum@yahoogroups.com>
Date: Sunday, May 17, 2009, 10:01 AM



      Ysh.

Bagaimana dengan susu merk A yg malah berpromosi dengan membantu pencegahan 
ostroporosis, ?

Powered by Telkomsel BlackBerry®



-----Original Message-----

From: adira jakti <adira_...@yahoo. com>



Date: Sat, 16 May 2009 01:00:30

To: <dokter_umum@ yahoogroups. com>

Subject: Re: [Dokter Umum] Susu Sapi Bukan untuk Manusia



Lihatlah  sapi,  kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah

tidak  anak-anak  lagi  tidak akan minum susu



karena sapi, kambing atau kerbau engga bisa minum dari gelas



*maap... asal komen aja nih... soale aku sampe sekarang masih minum susu sapi, 
wuaduh bgmn nih minum susu kok malah rentan osteoporosis*



--- On Thu, 5/14/09, Wie-2x <pr0t31n_w13@ yahoo.ie> wrote:



From: Wie-2x <pr0t31n_w13@ yahoo.ie>

Subject: [Dokter Umum] Susu Sapi Bukan untuk Manusia

To: dokter_umum@ yahoogroups. com

Date: Thursday, May 14, 2009, 11:53 PM



Susu Sapi Bukan untuk Manusia

[catatan Dahlan Iskan, Jawa Pos Edisi 15 Mei 2009]



TIDAK  ada  makhluk  di  dunia  ini  yang  ketika  sudah dewasa masih 
minum susu

–kecuali  manusia.  Lihatlah  sapi,  kambing, kerbau, atau apa pun: 
begitu sudah

tidak  anak-anak  lagi  tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti 
menyalahi

perilaku yang alami seperti itu?



�Itu  gara-gara  pabrik  susu  yang  terus mengiklankan produknya,� 
ujar Prof Dr

Hiromi  Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme 
(Keajaiban

Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal,

katanya,  susu  sapi  adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. 
Manusia

seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum

susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.



Mengapa susu paling jelek untuk manusia?



Bahkan,  katanya,  bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu 
itu

benda  cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. 
Tidak

sempat  berinteraksi  dengan  enzim  yang  diproduksi  mulut  kita. 
Akibat tidak

bercampur  enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu 
tersebut

langsung  menggumpal  dan  sulit  sekali  dicerna. Untuk bisa mencernanya, 
tubuh

terpaksa mengeluarkan cadangan �enzim induk� yang seharusnya lebih baik 
dihemat.

Enzim  induk  itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan 
tulang.

Namun,  karena  enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna 
susu,

peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.



Profesor  Hiromi  tentu  tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus 
terkemuka di

dunia.  Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor 
di

usus  tanpa  harus  membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti 
dia

sudah  sangat  berpengalaman  menjalani  praktik kedokteran. Dia sudah 
memeriksa

keadaan  usus  bagian  dalam  lebih dari 300.000 manusia Amerika dan 
Jepang. Dia

memang  orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter 
terus

mondarmandir di antara dua negara itu.



Setiap  memeriksa  usus  pasiennya,  Prof  Hiromi sekalian melakukan 
penelitian.

Yakni,  untuk  mengetahui  kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan 
dan

minum  pasiennya.  Dia  menjadi  hafal pasien yang ususnya berantakan pasti 
yang

makan  atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu 
antara

lain susu dan daging.



Dia   melihat   alangkah  mengerikannya  bentuk  usus  orang  yang  
biasa  makan

makanan/minuman   yang   �jelek�:   benjol-benjol,   
luka-luka,   bisul-  bisul,

bercak-bercak  hitam,  dan  menyempit  di  sana-sini seperti diikat dengan 
karet

gelang.  Jelek  di  situ  berarti  tidak  memenuhi  syarat yang 
diinginkan usus.

Sedangkan  usus  orang  yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat 
bagus,

bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.



Karena  tugas  usus  adalah  menyerap  makanan, tugas itu tidak bisa dia 
lakukan

kalau  makanan  yang  masuk  tidak  memenuhi  syarat si usus. Bukan saja 
ususnya

kecapean,   juga   sari  makanan  yang  diserap  pun  tidak  
banyak.  Akibatnya,

pertumbuhan  sel-sel  tubuh  kurang  baik,  daya  tahan  tubuh sangat 
jelek, sel

radikal  bebas  bermunculan,  penyakit  timbul,  dan  kulit cepat menua. 
Bahkan,

makanan  yang  tidak  berserat  seperti  daging,  bisa  menyisakan  
kotoran yang

menempel  di  dinding  usus:  menjadi  tinja  stagnan yang kemudian 
membusuk dan

menimbulkan penyakit lagi.



Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya

menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke

perut.



Dia  mengambil  contoh  yang  sangat  menarik,  meski  di  bagian ini 
saya rasa,

keilmiahannya  kurang  bisa  dipertanggungjawabk an.  Misalnya,  dia  
minta  kita

menyadari  berapakah  jumlah  gigi  taring  kita,  yang tugasnya 
mengoyak-ngoyak

makanan  seperti  daging:  hanya  15  persen dari seluruh gigi kita. Itu 
berarti

bahwa  alam  hanya  menyediakan  infrastruktur untuk makan daging 15 persen 
dari

seluruh makanan yang kita perlukan.



Dia  juga  menyebut  contoh  harimau  yang  hanya  makan  daging. 
Larinya memang

kencang,  tapi  hanya  untuk  menit-menit  awal. Ketika diajak �lomba 
lari� oleh

mangsanya,  harimau  akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang 
tidak

makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.



Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu,

katanya,  harus  dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak 
keras

harus  sampai  70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar 
di

mulut  makanan  bisa  bercampur  dengan  enzim  secara  sempurna.  
Demikian juga

kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya,

sebaiknya  setengah  jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus 
lebih

dulu.



Bagaimana  kalau  makanannya  seret  masuk  tenggorokan? Nah, ini dia, 
ketahuan.

Berarti  mengunyahnya  kurang  dari  30 kali! Dia juga menganjurkan agar 
setelah

makan  sebaiknya  jangan  tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur 
itu,

tulisnya,  harus  dalam  keadaan  perut kosong. Kalau semua teorinya 
diterapkan,

orang  bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak 
akan

gembrot.



Yang  paling  mendasar  dari  teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah 
diberi

�modal�  oleh  alam  bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang 
tersimpan di

dalam  �lumbung  enzim-  induk�.  Enzim-induk  ini  setiap hari 
dikeluarkan dari

�lumbung�-nya  untuk  diubah  menjadi berbagai macam enzim sesuai 
keperluan hari

itu.  Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros 
menguras

lumbung  enzim-induk.  Mati,  menurut  dia,  adalah  habisnya  enzim  
di lumbung

masing-masing.



Maka  untuk  bisa  berumur  panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan 
langsing

haruslah  menghemat  enzim-induk  itu.  Bahkan,  kalau bisa ditambah 
dengan cara

selalu  makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. 
Semua

makanan  (mentah  maupun  yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara 
akan

mengalami  oksidasi.  Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di 
udara

terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.



Apalagi  kalau  makanan  itu  digoreng  dengan  minyak.  Minyaknya 
sendiri sudah

persoalan,  apalagi  kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau 
makan

makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu

sudah  lama  dibiarkan  di  udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, 
sangat

bahaya  bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim 
yang

banyak.



Apa saja makanan yang direkomendasikan?



Sayur,   biji-bijian,  dan  buah.  Jangan  terlalu  banyak  makan  
makanan  yang

berprotein.  Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa 
disimpan.

Protein   itu   harus   dibuang.   Membuangnya   pun  
memerlukan  kekuatan  yang

ujung-ujungnya  juga  berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih 
kalau

untuk  mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang 
kelebihannya

juga harus menguras lumbung enzim.



Prof  Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu 
dengan

sungguh-  sungguh.  Hasilnya,  umurnya  sudah 70 tahun, tapi belum pernah 
sakit.

Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan

yang  di  luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas 
usus

terjadi  karena  makanan �jelek� itu masuk ke dalamnya secara 
terus-menerus atau

terlalu sering.



Terhadap  pasiennya,  Prof  Hiromi  juga  menerapkan  �pengobatan�  
seperti itu.

Pasien-pasien  penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan 
dengan

�pengobatan�  alamiah  tersebut.  Pasiennya yang sudah gawat dia minta 
mengikuti

cara  hidup  sehat  seperti  itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, 
katanya,

banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter

yang  mau  melihatnya  melalui  sistem  tubuh secara keseluruhan. Dokter 
jantung

hanya  fokus  ke  jantung.  Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di 
usus.

Demikian  juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah 
yang

menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.



Saya  mencoba  mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 
50

persennya.  Entah,  persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi 
sebulan

ke depan.



Yang  menggembirakan  dari  buku  Prof  Hiromi ini adalah: orang itu harus 
makan

makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang

dan  pikirannya  gembira,  terjadilah  mekanisme  dalam  tubuh yang bisa 
membuat

enzim-induk bertambah.



Nah... gan pei!



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke