Lagi-lagi yang Menikmati Orang Itu-itu juga'
[18/4/07] 
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16540&cl=Berita
Tahun ini kalangan perbankan membuka kran kredit sebesar Rp833 triliun. 
Tujuannya untuk membantu UKM. Nyatanya, kredit itu sebagian besar hanya 
dinikmati oleh orang yang masuk kategori DOT dan konglomerat hitam. 






Jika Anda adalah pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), bersiap-siaplah gembira. 
Pasalnya, pemerintah telah meminta agar kalangan perbankan tak pelit 
mengucurkan kredit usaha. Jika total, jumlahnya cukup fantastis, Rp833 triliun. 
Karena itu, segeralah mengisi form aplikasi pengajuan kredit usaha supaya usaha 
Anda berkembang.

 

Namun, Anda perlu hati-hati. "Ini menjelang Pemilu. Jangan-jangan ini dagangan 
politik," teriak Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang. 
Denny mencontohkan banyak pelaku UKM diseret ke pengadilan secara massal 
lantaran tak mampu melunasi Kredit Usaha Tani (KUT). "Persis beberapa saat 
setelah Pemilu, bisa saja pelaku UKM malah dibuikan," imbuhnya dalam acara 
Obrolan Hukum yang bertajuk Haramkah Kredit bagi Debitur Bermasalah, Selasa 
(17/4).

 

Kondisi yang dialami oleh pelaku sektor informal ini, menurut Denny sangat 
bertolak belakang dengan apa yang dirasakan oleh konglomerat hitam. Denny 
menuduh Bank Indonesia (BI) tidak transparan. "Nyatanya, orang yang jelas-jelas 
masuk dalam Daftar Orang Tercela (DOT) di era BPPN masih bisa menikmati 
kredit," ujarnya.

 

Menurut advokat Juniver Girsang, perbankan memang hanya memberikan kredit 
kepada orang tertentu saja. "Kredit hanya dinikmati oleh orang yang itu-itu 
saja. Padahal, dia bermasalah kepada semua bank," ungkap pengacara dari kantor 
Juniver Girsang and Partners ini.

 

Juniver memberi alasan, konglomerat tersebut berani memberikan suap kepada 
pejabat bank sehingga mulus memperoleh pinjaman. "Makanya mekanisme pengawasan 
penurunan kredit ini harus dijalankan," tutur pengacara yang berpengalaman di 
masa Badan Penyehatan Perbankan Nasional masih beroperasi ini.

 

Pengacara kondang lainnya, Ricardo Simanjuntak memaparkan, praktek ini lantaran 
konglomerat tersebut gencar membuat perusahaan baru. "Setelah badan hukum 
mereka dibubarkan dan dilikuidasi, mereka membuat vehicle dari luar. Jadi, 
seolah-olah putus entitas dengan perusahaan sebelumnya," ujar advokat dari 
Ricardo Simanjuntak and Partners (RSP) ini. 

 

DOT merupakan list yang diedarkan oleh BI. Daftar ini berisi nama-nama 
konglomerat yang haram diguyur pinjaman oleh bank manapun. "Sebenarnya BI sudah 
punya mekanisme kontrol dengan adanya sistem informasi debitur," tutur Direktur 
Compliance Bank Mega Suwartini. 

 

Suwartini menerangkan, seorang debitur bisa tersandung masalah karena dua hal. 
Pertama, faktor iklim bisnis yang memang sedang lesu. Kedua, faktor moralitas 
si peminjam itu sendiri. "Kalau faktor pertama yang eksternal masih bisa 
dipertimbangkan. Jika faktor kedua, akan kita hentikan kreditnya," tandasnya.

 

Faktor kedua ini erat kaitannya dengan kemampuan peminjam mengembalikan kredit 
sesuai jadwal. Hanya, "Kriteria sanggup bayar ini kembali ke masing-masing 
bank. Tak ada rumus khusus yang menjamin debitur lancar melunasi," aku 
Suwartini.

 

Suwartini menegaskan apapun kondisi debitur, jika sudah terantuk palu pidana, 
peminjam kredit tersebut tak termaafkan alias haram mengincipi pinjaman dari 
perbankan. 

 

Menurut Suwartini, kebijakan pelonggaran (relaksasi) yang memudahkan gencarnya 
kredit ini justru bakal menguntungkan UKM. "Porsi bagi usaha cilik cukup 
besar," ujarnya. Menurut Suwartini, perbankan mematok target pertumbuhan kredit 
18-20 persen pada tahun ini. 

 

Denny justru meragukan mekanisme kontrol BI. "Buktinya BI masih tidak 
transparan." Denny memberi contoh banyak konglomerat bodong masih bisa masuk 
menikmati fasilitas BPPN. "Aset di BPPN sudah habis terjual. Yang jelek-jelek 
diwariskan ke keranjang sampah bernama Perusahaan Pengelola Aset (PPA)."

 

Denny menambahkan, selain debiturnya, seorang bankir juga bisa bermasalah. 
"Kalau begitu, bankir mangkir gak boleh jadi bankir lagi dong," ujarnya.

 

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sandiaga Uno mengeluhkan 
bahwa selama ini perbankan memang pelit terhadap UKM. "Ada sebuah ketidakadilan 
terhadap UKM. Kalau debitur cilik tak bisa bayar, asetnya langsung disita oleh 
bank."

 

Sandi mencontohkan, "Hanya sekitar 20 persen kredit bank yang terkucur untuk 
UKM pda masa sebelum krisis 1997-1998." Menurut Sandi, sekitar 10 obligor kakap 
mengemplang Rp37,2 triliun kredit macet. Uang sebesar itu sama besarnya dengan 
36 persen dari total kredit mampet. "Bandingkan dengan pelaku UKM yang hanya 
punya kredit macet 3,9 persen, dari total 10,2 persen NPL perbankan (Non 
Performing Loan, kredit macet, red)."

 

Sandi memamerkan kinerja UKM. Selama ini sektor informal ini mampu mendirikan 
48,9 juta unit usaha dengan menampung 85,4 juta tenaga kerja. "Sekitar 60 
persen pendapatan negara disokong oleh UKM, loh," selorohnya bangga. 

 

Oleh karena itu, menurut Sandi, amat tak adil jika kredit perbankan hanya 
dinikmati oleh penusaha kakap. "Apalagi mereka punya rekam jejak buruk tapi 
masih saja diberi kredit," sambungnya. 

 

Sandi mengakui, pengusaha gelap tersebut bisa saja membuat perusahaan baru atau 
anak perusahaan lainnya. Walhasil, "Jika vehicle sister company sudah lima 
generasi ke bawah, memang susah dirunut," tuturnya. 

 

Sandi pernah mengincar salah satu aset PPA, tambak udang Dipasena. Sandi kala 
itu beraliansi dengan pengusaha muda Rosan Perkasa Roslani dalam Recapital. 
Pada perkembangannya, PPA menyatakan Recapital tak sanggup membeli Dipasena. 
Dipasena sendiri mangkrak ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya, Syamsul 
Nursalim.  

(Ycb)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke