arti harfiahnya seperti "tikus mati di lumbung padi" itu seakan-akan kita sangat kaya dan sangat kaya, sangking kayanya kita tidak bisa bernafas sehingga kita mati <<<seperti kisah Korun pada jaman nabi musa. Negara kita mengalami kemunduran yang sangat drastis karena kita sadar bahwa kita kaya raya dan membuat kita lupa bagaimana mempergunakan kekayaan itu secara baik tidak bereuforia semata, kemiskinan seharusnya dapat mendorong kita untuk tetap hidup dan berjuang untuk hidup lebih baik. "Tongkat kayu ditanam jadi tanaman" arti harfiahnya bahwa tanah kita begitu subur sehingga apapun yang kita tanam memperpanjang umur hidup kita, ini mungkin tidak akan terjadi bila kita tidak pernah merawat tanah dengan baik. jadi kita tidak akan jatuh miskin seperti sekarang atau mati kelaparan seperti sekarang bila kita pintar merawat sumber kekayaan kita. Bukan "How to earn a money but How to create money machines"
--- On Wed, 9/24/08, kusumawati <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: kusumawati <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [ekonomi-nasional] Seperti tikus mati di lumbung beras, www.bisnis.com 24 Sep 2008 To: ekonomi-nasional@yahoogroups.com Date: Wednesday, September 24, 2008, 1:40 PM http://web.bisnis. com/artikel/ 2id1555.html <http://web.bisnis. com/artikel/ 2id1555.html> Sebuah bangsa yang memiliki fondasi pembangunan yang kokoh, selalu memiliki syarat mutlak berupa kedaulatan atas pangan bagi rakyatnya dan mampu mengakomodasi setiap bentuk kapasitas rakyat dalam pembangunan untuk menciptakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Itulah yang dikatakan Direktur Eksekutif Centre for Agricultural Policy Studies, H.S Dillon soal pangan. Oleh karena itu, swasembada beras bila digunakan sebagai indikator pembangunan yang sukses sebenarnya persoalan mudah untuk mewujudkannya. Pasalnya, Indonesia memiliki luas lahan pertanian pangan 22 juta hektare. Jika pemerintah mampu mengawal dengan baik pertanaman padi, hasil 32 juta hingga 40 juta ton beras, bukan hal rumit. Cukup mengawal dalam pengertian yang luas. Tidak dipungkiri, pelaksanaan pembangunan pertanian kita harus diakui belum menyentuh daerah-daerah kawasan timur di negeri ini, daerah yang tergolong pelosok. Daerah itu dibiarkan mengurusi dirinya sendiri untuk pangannya. Optimalisasi potensi lahan tanaman padi di kawasan yang tergolong tandus, seperti 'dibiarkan' diserahkan kepada pemilik lahan. Salah satunya adalah Kabupaten Rote Ndao. Kabupaten itu memiliki potensi pertanian yang besar dan beraneka ragam, tetapi masih sedikit atau belum optimal pemanfaatannya. Luas areal potensi pertanian lahan basah, misalnya, sebesar 17.515 ha, yang dimanfaatkan hanya 9.613 ha. Luas areal lahan kering 30.157,90 ha, yang dimanfaatkan untuk budi daya komoditas agribisnis hanya 7.795 ha. Memang tampak ada pembangunan jaringan irigasi. Pertanyaan selanjutnya, apa persoalan selesai? Tentu tidak. Yang jelas, peran pemerintah masih seperti pemadam kebakaran. Namun, jika 'api' tidak muncul, para pejabat pemerintah memilih duduk diam di kantor ber-AC. Pemerintah, tentu saja, dalam pengertian luas. Pusat maupun daerah dan tidak disekat oleh otonomi daerah. Potensi pertanian Kabupaten Rote Ndao Komoditas Luas areal tanam (ha) Hasil produksi (ton) Padi - Sawah - Ladang - Gora 5.708 25 3.880 17.124 38 10.670 Jagung 5.025 12.687,5 Ubi jalar/kayu 25 5 Kacang tanah 320 361,9 Kacang hijau 125 137,9 Sorgum 1.914 2.298 Bawang Merah 290 10 Lombok 46 2 Semangka 50 20 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Rote Ndao Kepedulian pada mampu tidaknya produksi padi itu untuk seluruh kawasan pelosok itu, tidak terlihat. Sepertinya, selama tidak ada keluhan, pemerintah memilih diam, menjadi kesan yang kuat. Bila berbicara lebih jauh lagi soal Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten ini lahir pada 2002 hingga kini masih di posisi yang benar-benar rawan krisis pangan. Dengan masa produksi padi empat bulan dalam satu tahun, kabupaten yang masuk bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ini, mudah menghadapi rawan pangan. Kelaparan atau rawan gizi buruk. Sebab, kondisi alam yang berkarang dan kering, banyak lahan potensial terbengkelai. Apalagi tidak ada alternatif untuk memproduksi pangan lain selain beras sebagai pangan kedua, komoditas alternatif. Diakui, jika kondisi itu terjadi, jawaban yang ada di kepala pejabat pemerintah sudah bisa kita baca. Ya, itu bisa diantisipasi pemerintah dengan penyaluran beras untuk orang miskin (Raskin). Begitu jawabannya. Ah... Namun, persoalan sebenarnya tidak semudah itu. Dengan masih banyaknya warga yang tinggal di rumah adat, yang terbuat dari kayu pohon gewang dan atap dari serat daun Lontar -seperti honay di Papua-dengan berlantai tanah berkapur karena tanah didominasi karang, membuat kita sulit diajak membayangkan bahwa mereka memiliki kemampuan daya beli. Sekalipun itu hanya membeli Raskin. Pekerjaan mereka sendiri, tidak jelas. Kalaupun mampu membeli, krisis pangan di kawasan ini, masih mudah terjadi dan sangat terang-benderang. Kasus busung lapar Tak ayal, di kawasan ini, kerap terjadi kasus busung lapar. Bahkan pemda setempat pernah mengumumkan keadaan luar biasa (KLB) busung lapar itu tahun ini. Hebatnya lagi, kasus itu, salah satunya, terjadi di keluarga yang tinggal di belakang kantor sementara Bupati Rote Ndauo di Kecamatan Ba'a. Rote baru salah satu dari sekian banyak wilayah yang begitu rentan terhadap kerawanan pangan di Indonesia, negeri yang 'mematut-matut' diri sebagai negeri pertanian. Padahal, masih banyak pulau berpenghuni, yang letaknya berjauhan dengan Rote, hanya dipisahkan lautan. Pembangunan pertanian pangan di Indonesia, tidak perlu selalu mengandalkan pada daerah tertentu. Misalnya menggantungkan pada Jabar, Sulawesi Selatan, Sumatra yang dikenal sebagai lumbung pangan. Lantaran, pola itu, akan membuat harga beras di kawasan seperti NTT dalam posisi beras nasional kecukupan, tetap mahal dan sulit dibeli. Harga mudah dinaikkan dan tidak bisa didistribusikan dari daerah terdekat saat pasokan kurang. Pemerintah, tampaknya, harus melihat pembangunan pertanian pangan dalam rangka ketahanan pangan Indonesia Raya, sesuai dengan daerah. Pada kawasan seperti NTT misalnya, benih dengan produktivitas tinggi di atas daerah lain seperti Jawa, misalnya, harus menjadi syarat utama pedagang benih di Rote atau petani yang dibiarkan membuat benih sendiri diarahkan atau didampingi untuk menghasilkan benih dengan produktivitas tinggi, super. Kondisi itu, akan mengamankan ketahanan pangan daerah yang tergolong remote area itu. Apalagi jika Bulog pun mau mendirikan gudang beras di kawasan seperti NTT, kendati mahal untuk proses pembangunannya. Membangun pertanian memang membangun kawasan. Karena, itu tidak hanya menghasilkan komoditas, tetapi juga ikut memakmurkan semua orang yang ada di kawasan itu. Kita tidak bisa lagi mengejar pembangunan pertanian dengan dasar asal tidak impor. Konsepi itu hanya membawa warga negeri ini seperti tikus yang mati di lumbung padi. oleh : Martin Sihombing [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]