--- Pada Rab, 15/7/09, Ken Aulia Irawadi <kenau...@yahoo.com> menulis:

Dari: Ken Aulia Irawadi <kenau...@yahoo.com>
Judul: [alumni-ipb] Apakah kita bangsa terkutuk ?
Kepada: alumni-...@yahoogroups.com
Tanggal: Rabu, 15 Juli, 2009, 6:58 PM






 




    
                  Sorry bila doble posting....



------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

PEMULUNG NAIK KRL UNTUK MENGUBUR ANAKNYA



Salemba, Warta Kota



PEJABAT Jakarta seperti ditampar.. Seorang warganya harus menggendong



mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta



rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger Minggu (5/6).



Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn)



tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan



memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa



KRL.



Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas



dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban



kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas



karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa



Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.



Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari



terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke



Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke



puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas,



meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan



botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari,” ujar



bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di



Cikini itu.. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan



sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan



kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai



hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.



Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa



menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.



Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam



gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada



siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski



termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain



kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai



harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak.



Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat



itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat



menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor . Ia berharap



di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.



Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.



Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus



jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan



terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang



Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono



menggendong Khaerunisa menuju stasiun.



Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang



menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh



Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor



spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung



berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi



menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang



ambulans hitam.



Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.



Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat



permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang



terbujur kaku.



Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya



telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh



adiknya.



Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut,



lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono



harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung



sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan



uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor . Para pedagang di



RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan



Muriski di perjalanan.



Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku



benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut



karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi



perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang



seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa.



Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan



tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa



Indonesia ,” ujarnya.



Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa



itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan



kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini,



pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin



kata Wardah.




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      &quot;Coba Yahoo! Mail baru yang LEBIH CEPAT. Rasakan bedanya sekarang! 
http://id.mail.yahoo.com&quot;

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke