Pada dua bulan terakhir ini, saya beberapa kali menemui kesulitan mencari uang kertas pecahan Rp.1.000. Maksudnya, uang kembalian pembayaran tol hampir tak pernah diberikan dalam bentuk uang pecahan Rp.1.000 semua. Selalu dicampur dengan uang pecahan Rp.500. Misalnya, kembalian uang Rp. 4.000 diberikan dalam bentuk satu lembar uang pecahan Rp. 1.000 ditambah enam keeping uang pecahan Rp. 500. Hal itu tidak hanya saya jumpai jika membayar tol saja, namun juga saya jumpai di beberapa supermarket. Bahkan, sudah hampir tak pernah saya mendapatkan uang pecahan Rp. 1.000 dalam lembaran yang masih baru, tidak kucelmaksudnya. Usut punya usut, saya baru ngehsetelah membaca di internet, ternyata pada tanggal 9 Juli lalu, Bank Indonesia secara resmi telah meluncurkan uang kertas baru dengan nominal Rp. 2.000. Uang pecahan ini dicetak untuk menggantikan uang kertas pecahan Rp. 1.000 yang akan dihentikan penerbitannya. Sementara itu, uang kertas Rp 1.000 tidak akan diproduksi lagi dan akan ditarik dari peredaran secara bertahap, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun. Uang pecahan baru yang dominan berwarna abu-abu itu bergambar Pangeran Antasari pada bagian muka, dan gambar Tarian Adat Dayak pada bagian belakangnya. Pangeran Antasari adalah salah satu putra terbaik Kalimantan Selatan yang dilahirkan hampir 200 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1809. “Penerbitan uang kertas emisi baru tersebut merupakan implementasi kebijakan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang yaitu untuk memenuhi kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar”, sebut Pjs Gubernur Bank Indonesia, Miranda S Goeltom, dalam siaran pers BI. Membaca itu, membuat saya yang awam ini menjadi bertanya-tanya. Adakah kelangkaan uang pecahan Rp. 1.000 itu ada hubungannya dengan kebijakan baru dari BI tersebut ?. Lantas, saya yang awam ini juga mereka-reka, apakah ini secara hakikatnya menyerupai kebijakan model sanering?. Saya membatin, tentunya bukan. Karena saneringitu secara harfiahnya berarti pemotongan atas nilai uang nominal yang beredar, yang bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dengan maksud agar inflasi menjadi terkendali. Istilah saneringini berasal dari bahasa Belanda, yang artinya penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Pada masa lalu, di zaman pemerintah orde lama, kebijakan sanering ini pernah beberapa kali dilakukan. Pada pemerintahan Kabinet RIS dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta, pernah dikeluarkan kebijakan moneter terhadap uang kertas De Javasche Bankdan uang pendudukan Belanda, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan tertanggal 19 Maret 1950. Pada waktu itu Menteri Keuangan dijabat oleh Mr Sjafruddin Prawiranegara. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan peristiwa Gunting Sjafruddin. Disebut gunting, karena kebijakan tersebut memang benar-benar mengunting uang kertas menjadi dua bagian, bagian kiri dan bagian kanan. Uang bagian kiri diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dengan nilai setengah dari nilai nominal sebelum digunting. Kemudian secara bertahap, uang bagian kiri ini dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan De Javasche Bank. Sedangkan untuk uang bagian kanan, dapat ditukarkan dengan Obligasi Republik Indonesia 1950, sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3%. Kebijakan saneringini juga pernah terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959. Metodenya dengan menurunkan nilai uang kertas Rp. 500 dan Rp.. 1.000 menjadi Rp. 50 dan Rp.100 . Ditambah dengan adanya pembekuan simpanan giro dan deposito pada bank-bank sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp. 25.000. Selanjutnya simpanan yang dibekukan itu diganti menjadi pinjaman jangka panjangnya pemerintah. Hal itu juga terjadi lagi pada tanggal 13 Desember 1965. Pada waktu itu dengan metode diterbitkan uang pecahan baru yang nilainya diciutkan. Misalnya, nilai uang lama Rp.1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp.1 dalam pecahan uang baru. Nah, bagi saya ini menjadi jelas, bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan sanering. Namun saya masih membatin, apakah dibutuhkannya pecahan baru dengan nominal Rp. 2.000 ini berarti indikasi bahwa harga-harga sekarang ini sudah sedemikian tinggi ?. Dalam arti kata, dulu banyak yang harganya Rp. 1.000 itu hari sudah menjadi dua kali lipatnya, sehingga lebih praktis jika membayarnya dengan pecahan Rp. 2.000 saja ?. Tapi apa ya sampai dua kali lipat kenaikan harganya, karena kalau menurut pemerintah inflasi selalu terjaga, tak lebih dari 1 digitsaja. Sehingga karenanya tentu butuh waktu lebih dari sepuluh tahun untuk harga mencapai dua kali lipatnya. Yah, makin bingung deh. Itulah celakanya kalau jadi orang awam. Tahunya Cuma dari berita saja. Namun kenyataan dikehidupan sehari-hari, pada saat ini jika berbelanja kebutuhan bulanan, kok jadi lebih membutuhkan uang yang lebih banyak dibandingkan waktu-waktu yang lalu ya ?. Kurang beruntungnya, kok ya pendapatan kelihatannya belum ada indikasi mau dinaikkan oleh bos, dalam waktu dekat ini. Padahal disatu sisi, konon katanya harga LPG akan naik lagi, ongkos parkir juga akan naik, pajak kendaraan begitu pula katanya. Belum lagi jika katanya di bulan depan tarif tol akan naik juga. Wah, bakalan makin berabe jika harga BBM pun akan dinaikkan tingkat harganya, semakin didekatkan dengan harga keekonomiannya. Bagaimana pula dengan keadaan kita, yang tak mungkin ikut kecipratan mendapatkan BLT ini. Kecuali mengharapkan gaji segera dinaikkan sesuai dengan kenaikan ongkos kebutuhan kehidupan. Halo bos, harga-harga sudah mau menginternasional nih, gimana ini ?, kapan kita mau naik gaji ?, menjadi berstandar internasional juga ya ?. Wallahualambishshawab. * Referensi Artikel dan Sumber Berita : * 'Ini Dia Uang Kertas Rp 2.000 Baru', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'Wah... Tanggal Lahir Gubernur Jadi Nomor Seri Pecahan Rp 2.000', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'BI Tarik Uang Kertas Rp 1.000', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'Sejarah Bank Indonesia : Moneter : Periode 1959 - 1966', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'Gunting Sjafruddin', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'Berjuang untuk Nasib Kita Sendiri 5 Tahun Mendatang', dapat dibaca dengan mengklik disini. * 'Gaji Standar Lokal, Biaya Hidup Standar Internasional', dapat dibaca dengan mengklik disini. * Artikel ini juga dapat di baca di Kompasiana dengan mengklik disinidan di Politikanadengan mengklik disini. *
[Non-text portions of this message have been removed]