Pada zaman perang dunia
kedua yang telah silam, saat Jepang mendarat di tanah Jawa. Bala tentara Dai
Nippon yang mengaku sebagai saudara tua, dielu-elukan karena telah berhasil
membuat lari tunggang langgang para serdadu Hindia Belanda terbirit-birit
mengungsi ke Australia.
 
Saudara tua dari kita itu kemudian
berjanji, ‘kelak dikemudian hari nantinya’
akan memerdekakan bangsa Indonesia, jika Perang Asia Timur Raya telah berhasil
dimenangkan.
 
Berdasarkan janji itu, juga
dengan beberapa pertimbangan lainnya, mulailah dibentuklah PETA dan PUTERA
serta organisasi-organisasi lainnya, dalam rangka mendukung Perang Asia Timur
Raya.
 
Namun, hari berganti hari,
bulan berganti bulan, tahun berjalan terus, sampai hampir tiga tahun belum juga
menampakkan bahwa saudara tua itu akan menepati janjinya. Selalu saja berdalih, 
pasti ditepati di kelak kemudian hari.
 
Namun, janji itu patut
dipertanyakan dan disangsikan hanya sebagai pemanis bibir dan pemanis bibir
serta penghibur hati saja, sebab yang dimaksud dengan kelak dikemudian hari itu 
tak menampakkanadanya langkah konkret yang terlihat nyata menuju ke arah yang
dijanjikan itu.
   
Maka, mulai bangkitlah
perlawanan dari bangsa Indonesia terhadap bala tentara Dai Nippon. Mulailah
terjadi beberapa pemberontakan-pemberontakan skala kecil, dan yang paling
terkenal adalah pemberontakan oleh sekelompok PETA  yang dipimpin oleh 
Supriyadi.
 
Begitulah sekelumit cerita dalam
sejarah pada masa Pra Kemerdekaan Republik Indonesia yang sebentar lagi akan
kita peringati bersama.
 
Berkait dengan janji,
tentulah janji ‘kelak dikemudian hari’-nya
Dai Nippon seharusnya berbeda dengan janji ‘suatu
saat nanti’-nya pak SBY.
 
Berkait dengan janji ‘suatu saat nanti’-nya pak SBY, dibawah
ini adalah copy pastedari sebuah
artikel berjudul ‘Suatu Saat Nanti...!’yang ditulis oleh Andi Surujiserta
dimuat di koran Kompas, Sabtu, 8
Agustus 2009.
 
Selamat membaca !. 
 
*
 
”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan kepada
generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan negara dengan kekayaan
yang makin meningkat, kemakmuran yang lebih merata, dan utang yang makin kecil
atau bahkan tidak ada.”
 
Itulah sealinea dari pidato
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang pengantar Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 beserta nota keuangannya di depan
rapat paripurna luar biasa Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (3/8).
 
Tentu kita patut sambut
dengan tepuk tangan gembira pidato Presiden tersebut. Ada harapan dan tekad
dari seorang pemimpin bangsa, yang baru saja memenangi pemilu presiden-wakil
presiden.
 
Mendengar pidato Presiden
melalui siaran televisi itu, saya pun teringat tiga pertanyaan saya kepada
Presiden SBY ketika berkunjung ke Redaksi Kompas beberapa waktu lalu sebelum
pilpres. 
 
Ketiga pertanyaan itu
menyangkut pengelolaan sumber daya alam,
khususnya sektor energi. Kedua, sektor keuangan yang sudah sangat liberal.
Ketiga, pengelolaan utangyang banyak
dikritik oleh kalangan lembaga nonpemerintah dan politisi.
 
Mengapa ketiga hal itu patut
dipertanyakan ?.
 
Alasannya sederhana.
Ketiganya menyangkut hajat hidup orang banyak dan menentukan masa depan bangsa
Indonesia. Jika ketiga soal itu tidak dikelola secara baik, transparan, dan
akuntabel sejak sekarang, yakinlahbangsa Indonesia kelak akan dikuasai
bangsa asing.
 
Sampai anak cucu kita bakal menjadi bangsa kuli di
negeri sendiri. Paling sial jika
kelak bangsa Indonesia bernasib seperti tikus kurus yang kemudian mati di
lumbung pangan, lumbung kekayaan alamnya yang melimpah ruah.
 
Dalam pidato nota keuangan
di DPR, Presiden menyatakan, ”Saya ingin
menegaskan mengenai masalah defisit anggaran negara dan pembiayaan dalam bentuk
utang yang sering menjadi isu politik dan sekaligus perhatian publik. Perlu
saya sampaikan, pemerintah berkomitmen nyata dalam menetapkan kebijakan yang
tepat berkaitan utang pemerintah dengan senantiasa mengacu pada prinsip
kehati-hatian dan asas manfaat.”
 
Dengan kebutuhan pembiayaan,
baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, rasio utang pemerintah 
terhadapproduk
domestik bruto(PDB) pada akhir 2010 diperkirakan akan menurun dari 57
persen pada tahun 2004 menjadi 30 persen pada tahun 2010. 
 
”Kita patut bersyukur bahwa angka ini adalah rasio utang terendah sejak
era reformasi,” kata Presiden.
 
Baiklah...! . Secara persentase, utang pemerintah menurun. Namun, secara 
nominal, utang pemerintah justru meningkat. 
 
Kalau tahun 2004 utang baru
sekitar Rp. 1.200 triliun, saat ini sudah mencapai Rp. 1.700 triliun. Secara
nominal, utang pemerintah sebenarnya meningkat. Siapa pun pasti mengatakan 
meningkatkalau melihat angka 1..200 ke
1.700.
 
Lha mengapa bisa
berbeda ?. Itu karena cara melihatnya dari sudut berbeda. 
 
Pemerintah menghitung dari
PDB yang memang terus melonjak. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara atau merupakan
jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. 
 
Jadi, walaupun sebenarnya secara nominal utang pemerintah meningkat,
persentasenya menurun terhadap PDB.
 
Liberal.
 
Hal kedua, sektor keuangan
yang sudah sangat liberal. Lebih dari 50
persen aset perbankan nasional sudah di tangan mereka. Singapura dan Malaysia
cukup dominan dalam penguasaan aset perbankan kita. Pasti mereka akan terus
melakukan ekspansi ke Indonesia karena potensi pasar besar, penduduk 230 juta
jiwa.
 
Dominasi asingdalam sektor perbankan tak terlepas dari dosa masa lalu dengan
kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. 
 
Aset-aset yang busuk
kemudian diambil alih negara lalu dilepas ke investor dengan ”murah”. Biaya 
restrukturisasi perbankan
nasional mencapai Rp. 600 triliun.
 
Patutlah bangsa Indonesia salutkepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menolak 
menolak kerasrencana penjaminan penuh(blanket
guarantee) perbankan dikeluarkan pada saat krisis keuangan tahun lalu. 
 
Andai kebijakan itu diambil, cerita BLBI jilid 2 bisa terjadi.
Rakyat lagi yang menanggung pesta pora bankir busuk.
 
Mari kita tengok sekilas
sektor pertambangan dan energi. Sektor ini pun tak kalah memprihatinkan. 
 
Kegiatan eksplorasi minyak
dan gas bumi (migas) di Indonesia sudah berlangsung sejak era kolonial Belanda,
tetapi masih sangat minim partisipasi korporasi nasional.
 
Data dari Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
menunjukkan, kontraktor asingmenguasai 329 atau sekitar 65 persen blok migas di 
Indonesia. 
 
Dari total blok migas yang
beroperasi, perusahaan nasional hanya menguasai 24,27 persen. Selebihnya
dikuasai konsorsium perusahaan lokal dengan multinasional. Namun,
kepemilikan saham perusahaan lokal sangat
minoritas, di bawah 20 persen saja.
 
Per akhir Mei 2009, data
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan keterlibatan perusahaan
nasional baru 29,1 persen. Dari 69,9 persen dominasi
asing dalam industri migas, sekitar 70 persen di antaranya perusahaan AS.
 
Wapres Jusuf Kalladalam suatu perbincangan di Paris, Perancis,
mengatakan, tidak boleh ada perusahaan
dari suatu negara yang dominan mengelola sumber energi kita. ”Jika ada gangguan 
sedikit di dalam negeri,
mereka bisa mengirim kapal induk ke wilayah kita atas nama pengamanan aset dan
warganya. Kalau itu terjadi, habislah kedaulatan kita sebagai bangsa.”
 
Patut kita renungkan tekad Wapresyang ingin mengutamakan sumber
daya energi itu untuk kepentingan usaha dalam negeri. Selebihnya baru diekspor.
 
Menggetarkan ketika ia
menyatakan bahwa kebijakan energi Indonesia ke depan adalah industry follow
energy. Kalau ada yang butuh energi Indonesia, tanamlah modal dan usaha di
sini.
 
Marilah kita berharap pada
ucapan Presiden SBY yang saya cuplik di awal dan menjadi judul tulisan ini. 
”Suatu saat nanti...!” Adakah langkah konkret menuju ke situ yang
kita lihat sekarang ?.
 
*
 
Begitulah artikel itu
menuliskannya. Adakah anda sudah melihat langkah kongkretnya ?.
 
Wallahualambishshawab.
 
*
Catatan Kaki =
Sumber Berita :
        * Artikel diatas
dapat langsung dibaca pada sumber beritanya dengan mengklik disini .
Artikel terkait :
        * 'Dulu Koeli
Sekarang Tetap Jadi Boeroeh', klik disini.
        * 'Menggugat Neoliberalisme',
klik disini.
        * 'Menagih Janjinya
Angin Surga', klik disini.
        * 'Prita Manohara dalam Bahasa
Simbol Neoliberalisme', klik disini.
        * 'Boediono &
Program Privatisasi BUMN', klik disini.
Artikel ini juga dapat dibaca di Kompasiana dengan mengklik disiniatau di
Politikana dengan mengkilk disini.
*
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/08/03360940/suatu.saat.nanti...
http://public.kompasiana.com/2009/05/31/dulu-koeli-sekarang-tetap-jadi-boeroeh/
http://public.kompasiana.com/2009/05/31/menggugat-neoliberalisme/
http://public.kompasiana.com/2009/06/01/menagih-janjinya-angin-surga/
http://public.kompasiana.com/2009/06/04/prita-manohara-dalam-bahasa-simbol-neoliberalisme/
http://public.kompasiana.com/2009/06/23/boediono-program-privatisasi-bumn/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke