Jajak Pendapat yang dilakukan Kompas berkaitan dengan reaksi keras Indonesia terhadap Malaysia, yang berjudul 'Menakar Kecintaan Budaya Lokal', ada 2 hal yang menarik perhatian saya. Pertama, sikap keras yang diekspresikan itu ternyata tidak berkorelasidengan interaksi yang intens dengan produk-produk budaya yang diklaim Malaysia. Ternyata lebih dari separuh responden hanya tahu sedikit tentang budaya lokal Indonesia, tarian (67,8%) musik dan lagu (68,8%) pakaian (67,8%) masakan (53,3%) obat-obatan tradisional (54,3%). Dalam laporan hasil jajak pendapat itu, juga dituliskan, mayoritas responden memiliki rasa bangga dengan kebudayaan lokal. Namun ironisnya, rasa bangga itu tidak tercermin dari pengetahuannya yang minim dalam soal kebudayaan lokal. Sesungguhnya, bingung juga mau disebut ini sebagai ironis atau sebuah hal yang kontradiktif ?. Mengaku bangga, tapi hanya tahu sedikit tentang yang dibanggakannya. Atau, jangan-jangan mengaku bangga, tapi sebenarnya malah tidak tahu apa sebenarnya yang dibanggakannya itu. Pengetahuan minim ini, ternyata masih ditambah dengan pengakuan akan minimnya perilaku mempraktekkan budaya lokalnya, semisal tentang pakaian tradisional dan dongeng lokal. Masih pula ditambah dengan mayoritas masyarakat Indonesia justru lebih terdorong untuk mengkonsumsi produk-produk budaya yang berasal dari luar Indonesia. Inikah alasan sebenarnya yang menjelaskan mengapa seksinya goyang ngebor, goyang patah-patah, lebih digandrungi dan kepopulerannya sampai mengalahkan seksinya goyang pinggulnya tari Pendet?. Inikah yang menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia, sebagai pemiliknya, dibandingkan dengan Malaysia justru kalah jeli dalam melihat harta kebudayaanyang sebenarnya berharga?. Mungkin ini dapat diibaratkan, selama ini kita sudah tak lagi mengurusnya dan sudah lama menggudang bekaskan barang-barang itu, namun setelah diambil oleh tetangga, barulah kita tersadarkan betapa berharganya barang-barang itu, barulah kita teriak-teriak dan mencak-mencak karenanya. Kedua, semenjak tahun 2000 hingga tahun 2007 ternyata jumlah wisatawan orang Indonesia yang berwisata ke Malaysia terus meningkat tajam, jauh melebihi jumlah wisatawan orang Malaysia yang berwisata ke Indonesia. Tahun 2000, wisatawan Malaysia yang melancong ke Indonesia sebanyak 475.845 orang, sebaliknya wisatawan Indonesia yang melancong ke Malaysia sebanyak 545.051 orang. Tahun 2008, wisatawan Malaysia yang melancong ke Indonesia sebanyak 890.903 orang, sebaliknya wisatawan Indonesia yang melancong ke Malaysia sebanyak 2.428.605 orang. Data ini menunjukkan surplusjumlah wisatawan dinikmati Malaysia, juga bisa menunjukkan bahwa kemajuan pariwisata Malaysia jauh meninggalkan Indonesia. Atau, data ini menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih makmur sejahtera kehidupannya dibandingkan orang Malaysia ?. Atau, orang Indonesia membenci Malaysia, namun sesungguhnya cinta dan rindu serta ingin dengan apa yang telah dicapai oleh Malaysia ?. Rasanya, jika kita mau jujur, data itu tidak menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Malaysia. Justru sebaliknya. Ternyata, banyak PR yang harus kita kerjakan. Hati boleh panas tapi kepala tetap harus dingin, boleh mencak-mencak tapi perlu juga kita intropeksi diri. Tari Pendet, kita yang punya, tapi mereka yang lebih tahu bagaimana memanfaatkan dan menjadikannya sebagai nilai jual pariwisatanya. Tanah subur kita yang punya, tapi perdagangan hasil sawit justru mereka yang pegang kendalinya. Kita punya segala hal, mulai dari seni budaya, keindahan alam, kekayaan alam, jumlah penduduk, luas wilayah, yang jauh melebihi apa yang dipunyai oleh Malaysia. Namun mengapa Malaysia, hampir dalam segala hal, justru semakin lama semakin jauh meninggalkan kita?. Adakah yang tahu jawabannya ?. * Artikel ini dapat dibaca di Politikanadan Kompasiana *
[Non-text portions of this message have been removed]