Terkadang suatu posisi jabatan itu tak hanya melulu mendatangkan rezeki dan berkah, namun juga mendatangkan musibah bagi pengemban amanahnya. * Siapa sih yang nggak suka jabatan ?. Siapa sih yang menyangkal kalau untuk menjalankan mesin politik sebuah parpol dibutuhkan giziyang memadai ?. Siapa sih yang menyangkal jika seorang pemimpin nasional yang berkemampuan handal dan matang memerlukan pengalaman karier di ranah dunia politik lembaga legislatif dan dimatangkan dengan pengalaman manajemen di lembaga eksekutif ?. Hampir semua tentu sepakat jika jawaban atas pertanyaan tersebut diatas itu adalah iya. Oleh sebab itu maka amatlah wajar jika kader parpol yang dikandidatkan menjadi pimpinan nasional diarahkan untuk meniti jenjang pematangan kepemimpinannya dengan menjalani penggodokan dan penggemblengan di dua kawah condrodimukodiklatnya kepemimpinan nasional tersebut. Berkait dengan itu, beberapa saat terakhir ini santer terdengar kabar bahwa konon mas Pramono Anung, Sekjen PDIP, dan kader pemimpin masa depan, mbak Puan Maharani, digadang-gadang sebagai kandidat andalannya PDIP untuk masuk ke dalam jajaran menteri di kabinet mendatang, periode 2009-2014. Konon kabarnya, mas Pramono Anung diplot di posisi menteri ESDM, sedangkan mbak Puan Maharani dijagokan untuk menduduki kursi di departemen Koperasi atau Departemen Sosial. Lalu kenapa ?. Jika pun benar maka dimana salahnya ?. Apa hubungannya dengan judul tulisan ?. Dimana letak Killing Fieldnya ?. Sabar, kita bahas satu-satu dulu, baru nanti kita simpulkan dimana letak trapnya sehingga dapat menjadi The Killing Filedsbagi PDIP. Departemen ESDM, sebuah departemen yang sangat strategis, dan dikonotasikan sebagai tempat yang basah. Seperti kita maklumi bersama, negara kita walau sudah keluar dari OPEC dan disebut-sebut sudah masuk kategori negara net importir, namun bumi pertiwi ini ternyata masih cukup kaya mengandung emas hitam, alias minyak bumi. Jangan lupa, juga gas alam. Selain tentunya bermacam bahan galian tambang yang beraneka ragam jenisnya serta berlimpah ruah jumlah depositnya. Dulu daerah Cepu sudah dianggap masa lalu. Daerah perladangan minyak zaman baheula peninggalannya Hindia Belanda ini dianggap sebagai daerah uzur yang sudah waktunya ditinggalkan, karena sudah mulai kering depositnya. Belakangan hari kemudian diketahui ternyata Blok Cepu masih merupakan daerah gemuk. Nyatanya, perusahaan asing dari Amerika Serikat amat sangat berminat dengan daerah ini. Masa dahulu, siapa yang nyangka kalau Bekasi bakal masuk kedalam perkumpulan elit sebagai daerah penghasil minyak. Jadi, soal tambang minyak sesungguhnya negara ini masih punya potensi yang sungguh tidak sedikit. Belum lagi jika kita bicara soal celah Timor, atau biasa disebut sebagai Timor Gap. Sayangnya, wilayah itu sudah bukan lagi wilayah kedaulatan negara kita. Kemudian di Ambalat, apa sih kehebatan daerah itu sehingga kita perebutkan dengan tetangga jiran kita ?. Tentunya disitu ada minyak. Belum lagi soal gas alam. Teramat besar cadangan yang dipunyai bangsa ini didalam kandungan rahimnya bumi pertiwi ini. Lalu soal bahan galian tambang, tidak perlu disangsikan lagi. Freeport, sebuah perusahaan tambang Amerika Serikat, menjadi membesar korporasinya karena wasilahnya izin konsesi lahan di Papua. Kandungan depositnya teramat luar biasa, walau sudah dikeduknya saban hari selama lebih dari 40 tahun, belum mencapai seperlimanya. Masih lagi jika kita telisik, jenis harta benda berharga apa sebenarnya yang terkandung didalamnya, sehingga yang dikirim ke pengolahannya di seberang lautan disana, masih berupa bongkahan tanah, belum diolahnya disini. Singkat kata, depatemen ini membawahi urusan yang berkaitan dengan daging hasdari kekayaan alam negeri zamrud khatulistiwa ini. Ini terbukti, ekspor negara kita, masih didominasi oleh hasil galian tambang dan migas, yang volume dan nilainya masih diatasnya ekspornya hasil perkebunan maupun hasil olahan industri fabrikan. Tak heran jika kelompok kekuatan politik yang berbentuk partai maupun yang tak berbentuk partai, teramat ngiler dengan posisi di departemen ESDM ini. Jadi, sudah tepat bagi kelompok yang memerlukan kecukupan giziakan sangat berkepentingan agar bagaimanapun dan apapun caranya dapat menguasai kursi kabinet di posisi ini. Sementara itu, di kementrian Sosial atau di posisi yang membawahi urusan Koperasi, walau tak segemuk dan sebasah posisi ESDM, namun mempunyai kelebihan lain yang tak sangat menggiurkan untuk mengembangkan jaringan massa dan penestrasi pengaruhnya di masyarakat kalangan segmen tergemuknya. Kelebihan ini hanya bisa ditandingi oleh posisi di Pertanian ataupun di Nakertrans. Terus dimana titik lemahnya kombinasi yang mempersatukan dua unsur terpenting ini, gizi yang memadai dan penestrasi penguatan pengaruh di segmen konstituen terbanyaknya ?. Sepintas tidak ada salahnya, bahkan ini merupakan setting yang nyaris sempurna, menguasai ESDM ditambah dengan mengendalikan sektor Sosial atau Koperasi. Bahkan akan menjadi terlampau sempurna, jika bisa ditambah dengan Pendidikan dan kalau mungkin juga Pertanian atau Nakertrans. Namun justru di ESDM yang cantik jelita nan molek menggiurkan hati inilah letak trap, yang jika tak jeli dan waspada, bisa menjadi killing filedsyang akan makin menghujamkan trend grafik penurunan perolehan suaranya PDIP. Dimana sesungguhnya trend penurunan ini sudah kentara sekali telah terjadi di dua periode pemilu lalu, di 2004 lalu di 2009. Beberapa gelintir kalangan ada yang menengarai, di periode ini, tahun 2009-2014, merupakan etape akhir dari episode pertama sebuah agenda besar yang dinamakan sebagai agenda liberalisasi sektor hulu hilir Migas dan Pertambangan. Dimana diketahui, episodenya mulai digulirkan semenjak disahkannya UU Migas di awal tahu 2000-an yang telah lalu. Bagi kepentingan image buildingsebuah parpol yang pada masa lalu pernah gagal memanajemeni sebuah periode, suka atau tidak suka, dipersepsikan sebagian publik sebagai periode Asingisasi dan Obralisasi BUMN, dengan ikon utamanya di soal seputar penjualan Indosat, teramat riskan menyediakan dirinya kembali untuk pasang badan bagi sebuah agenda yang akan sangat kurang populer dimata publik. Soal liberalisasi sektor hulu, bukanlah persoalan besar untuk memanejemi opini publik. Ini soal kolaborasi dengan media arus utama saja. Cukup dengan dikompromikan dengan beberapa tokoh kuncinya di media terbesar jangkauan pemberitaannya, selesai sudah setting opini publiknya. Toh, geliat di ranah sektor hulu ini tidak bersinggungan langsung dengan masyarakat luas, sehingga dapat diatur dengan metode kendali arus berita. Jika masyarakat tak diberi feedingdi ranah pemberitaan yang berpotensi menjadi bola salju, cukup dengan rilis-rilis yang normatif saja, maka semuanya akan aman-aman saja. Namun soal liberalisasi sektor hilir yang akan menjadi masalah besarnya. Sekalipun sudah disiapkan spin doctoryang jumlahnya setara dengan jumlah serdadu dalam satu divisi, ditambah dengan kompromi kendali arus beritadengan tokoh-tokoh kunci di media arus utama, soal pelaksanaannya tetap akan menjadi polemik di ranah publik. Salah-salah ini akan menjadi tambahan bahan stigmatisasi yang berujung kepada resistensi di kalangan masyarakat luas. Jika sudah menggendong beban stigmatisasi Obralisasi BUMN dan Asingisasi di periode lalu sehingga menimbulkan resistensi. Dimana kemudian malahan timbul pomeo yang populer di publik, Pembela Wong Licik bukan Pembela Wong Cilik. Jika itu masih akan ditambahi dengan memanggul beban yang akan timbul dari konsekuensi logisnya pelaksanaan liberalisasi sektor hilir Migas, maka PDIP akan tamat ceritanya di ajang kompetisi Pileg dan Pilpres mendatang di tahun 2014 nantinya. Liberalisasi yang bisa berupa pelepasan posdari monopolinya Pertamina, ditambah dengan privatisasi BUMN migas itu, ditambahi lagi dengan harga eceran BBM sepenuhnya ke mekanisme harga keekonomian alias pelepasan subsidinya, merupakan agenda yang sulit dikelola dalam setting opininya. Ini karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Dampak ini tetap merupakan hal yang riskan untuk dikelola dan diharmonisasikan, sekalipun mampu mengerahkan ribuan spin doctordari seluruh akademisi perguruan tinggi seluruh Indonesia untuk mensetting opini publik. Mengingat, sekali lagi, dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Inilah mengapa sampai ada yang mengkhawatirkan, bagi PDIP, berkah jabatan ESDM bisa tak mendatangkan barokah, justru menambah akan menambah masalah. Mencoba melawan agenda itu adalah suatu hal yang sia-sia belaka, mengingat kendali utama bukan berada di kelompoknya. Ilustrasi mudahnya, begitu otoritas kebijakan sektor moneternya memutar kran di APBN sehingga mati alirannya, maka tak ada jalan lain selain menaikkan harga eceran BBM bersubsidi setara dengan yang BBM non subsidi. Akankah PDIP tetap akan menerima amanah ini sebagai sebuah tantangan yang menantang untuk ditaklukkan, sekalipun resikonya bisa berbalik menjadi membahayakan dirinya ini ?. Wallahualambishshawab. * Referensi Sumber Bacaan : ‘Mengapa Harga BBM akan Naik lagi ?’, klik disini atau disini ‘Naikkan Harga BBM Segera’, klik disini atau disini ‘Harga BBM akan dinaikkan di era JK atau Boediono ?’, klik disini ‘Elpiji Oh Elpiji’, klik disini ‘UU Migas, Sudahkah Rakyat ter-Sejahtera-kan ?’, klik disini atau disini ‘Investment Credit, Merugikan?’, klik disini ‘Siapa Castel Asia ?’, klik disini atau disini ‘Janji Suatu Saat Nanti-nya’, klik disini ‘Program Privatisasi BUMN’, klik disini ‘Risiko Sistemik di Kabinet SBY’, klik disini ‘Siapa Menteri ESDM Era 2009-2014 ?’, klik disini * Artikel ini juga dapat dibaca di Kompasiana dengan mengklik disini atau di Politikana dengan mengklik disini http://politikana.com/baca/2009/09/09/menteri-esdm-killing-fields-bagi-pdip.html http://public.kompasiana.com/2009/09/09/menteri-esdm-killing-fields-bagi-pdip/ *
[Non-text portions of this message have been removed]