Artikel InfoBank dibawah ini, menurut saya, masih kurang memberi penjelasan 
yang dapat diterima akal sehat oleh khalayak kebanyakan, mohon pendapat rekan2 
netter lainnya

Menyelamatkan Bank Tidak Seperti Menyelamatkan Sektor Riil
Tanggal: 26 Oktober 2009

Sumber: infobanknews.com

Penyelamatan Bank Century oleh LPS ternyata tidak merisaukan
kalangan bankir yang selama ini membayar premi buat LPS. Sebab,
menyelamatkan Bank Century tak ubahnya dengan menyelamatkan industri
perbankan dari kerugian yang makin besar.


Belajar dari krisis perbankan 1998 lalu, yang ketika itu pemerintah
rugi besar dengan menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) karena tidak ada mekanisme protokol dalam mengatasi
krisis, maka dibuatlah LPS.
Menurut Firdaus Djaelani, Ketua LPS, lembaga yang berdiri
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 dengan filosofi
industry help industry ini kini sudah memiliki aset sekitar Rp18
triliun. Dengan demikian, maka penyelamatan Bank Century tidak
mengambil dana APBN karena kekayaan LPS merupakan kekayaan yang
dipisahkan.
”Itu uang premi yang dikumpulkan,” katanya.
Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), pengalaman yang terjadi
dalam krisis perbankan senantiasa mengeluarkan biaya yang relatif
besar. Pada 1998 lalu, pemerintah juga mengeluarkan biaya mencapai
Rp650 triliun untuk bailout bank-bank.
Bahkan, di Amerika Serikat sekarang ini, Federal Deposit Insurance
Corp. (FDIC), lembaga penjamin simpanan Amerika, pun telah mengeluarkan
dana sebesar US$66,9 triliun karena ada 416 bank bermasalah.
Sekadar mengingatkan, kendati berbeda asal-muasal dananya, sewaktu
Bank Central Asia (BCA) dijual saja tidak mampu menutup penyertaan
modal pemerintah yang sekitar Rp28 triliun karena ketika dijual hanya
menghasilkan uang sekitar Rp7,389 triliun untuk 84,94% saham.
Begitu juga Bank Danamon yang menelan penyertaan modal sementara
Rp70 triliun (gabungan dari bank-bank peserta merger) yang hanya laku
Rp5,37 triliun untuk 78,98% saham. Hal yang sama juga terjadi pada
penjualan Lippobank, Bank Internasional Indonesia (BII), dan Bank Niaga.
Sementara, Bank Mandiri direkap sebesar Rp172 triliun. Demikian pula
dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), BNI, serta Bank Tabungan Negara
(BTN).
Sulit rasanya diterima masyarakat awam. Tapi, seperti itulah dalam
penyelamatan bank. Industri perbankan sangat berbeda dengan industri
yang tergolong sektor riil. Biaya penyelamatan disebut sebagai biaya
krisis.
Itulah mekanisme penyelamatan bank. Jika tidak demikian, maka
sekarang di Indonesia tidak ada itu BCA, tidak ada Bank Mandiri atau
BRI karena harus ditutup hanya gara-gara pertimbangan biaya.Semua itu
murni menggunakan uang APBN.
Bahkan, sampai dengan sekarang dilakukan dan karena itu diyakini
oleh semua pihak, maka tentu tidak merisaukan anggota DPR. Sementara,
penyelamatan Century yang murni uang dari premi yang dikumpulkan LPS
dari bank-bank justru mendapat kecaman. Di sinilah letak politisasinya.
Apalagi, seperti diungkapkan para bankir yang dihubungi Infobank,
mekanisme yang dilakukan LPS sudah benar karena proses pengambilalihan
bank gagal dengan dana LPS sudah sesuai dengan skenario awal—sebelum
lahirnya UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
”Justru, kalau LPS tidak mau menyelamatkan, kita para perbankan
curiga, untuk apa sebenarnya uang premi yang dikumpulkan itu. Saya
pikir, situasi waktu itu memang sensitif karena efek dari krisis
global. Sudah benar apa yang dilakukan oleh pemerintah,” kata Agus
Martowardojo, Ketua Ikatan Bankir Indonesia (IBI), kepada Infobank.
Menurut Firdaus Djaelani,  penyelamatan Bank Century yang kini
menjadi aset LPS tidaklah sama dengan kasus bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) 10 tahun lalu. Selain tidak menggunakan dana APBN,
juga sudah seperti skenario awal: jika terjadi krisis sebelum lahirnya
UU JPSK, maka payung hukum dengan UU LPS sudah memadai. Sampai dengan
saat ini tidak ada kerugian negara karena tidak ada dana APBN dan Bank
Century menjadi aset LPS.
Tidak ada uang yang hilang. Harapannya, Bank Century akan meningkat
kinerjanya sehingga dalam kurun waktu tiga tahun mendatang setidaknya
akan mendapatkan harga jual yang optimum. Sebab, sekarang ini saja
sudah banyak investor yang menanyakan Bank Century.
Sekarang ini Bank Century sudah keluar dari pengawasan khusus BI.
Dengan CAR-nya yang sudah di atas 9% dan mengantongi laba Rp200 miliar,
Bank Century sudah dapat menjawab kegalauan para anggota DPR.
Tentu kalangan berwajib perlu mendukung pengembalian uang Bank
Century yang dilarikan pemegang saham, seperti Ravat Ali Rizvi dan
Hesham Al Warraq serta Robert Tantular yang diduga sebagai pemegang
saham “siluman”.
Penyelesaian UU JPSK, peningkatan pengawasan bank oleh BI, dan
penghindaran pemilik bank dari beking-bekingan menjadi prioritas.
Bayangkan, jika saat ini ada bank yang beraset Rp50 triliun mengalami
kesulitan, apa yang harus dilakukan?
Sementara, LPS asetnya hanya Rp18 triliun dan UU JPSK belum ada.
Tentu nota kesepatan antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan 17 Maret
2004 kurang memadai dan berpotensi mengundang polemik.
Itulah harusnya titik fokus DPR. Bahkan, negara perlu membantu
memburu aset-aset pemegang saham lama untuk dikembalikan ke Bank
Century. Para penegak hukum pun perlu bersikap adil atas tindakan
anarki yang dilakukan investor Antaboga Sekuritas yang melakukan demo
anarkis di sejumlah cabang Bank Century. Sebab, mereka bukan nasabah
Bank Century, melainkan investor yang menjadi korban penipuan kroni
Robert Tantular.
Penyelamatan Bank Century memang menjadi bola panas. Tapi, tentu
jika dibiarkan terus-menerus akan mengganggu stabilitas perbankan. Bank
diyakini sebagai lembaga kepercayaan.
Karena itu, perlu diberi tempat agar tidak digedor secara membabi
buta hanya sekadar menggagalkan Sri Mulyani Indrawati menjadi menkeu
dan Boediono sebagai wapres.
Penyelamatan Bank Century oleh LPS ternyata tidak merisaukan
kalangan bankir yang selama ini membayar premi buat LPS. Sebab,
menyelamatkan Bank Century tak ubahnya dengan menyelamatkan industri
perbankan dari kerugian yang makin besar.
Jadi, jika toh LPS menjual Century tidak sebesar biaya penyelamatan,
tentu tidak akan menimbulkan pertanyaan karena memang itulah sebuah
ongkos penyelamatan industri perbankan. (*)




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke