Memang tidak ada kerugian secara langsung pada APBN, tapi premi untuk LPS itu kan dibebankan pada masyarakat yang menggunakan jasa perbankan. Berapa persen besar premi tersebut seharusnya transparan. Dan perlu diingat diantara negara anggota ASEAN, Indonesia termasuk yang tingkat bunga perbankannya sangat tinggi, hanya lebih rendah dari Myanmar.(lihat ASEANstats). Apalagi untuk pinjaman konsumsi. Maka tidak heran banyak asing yang mau menguasai perbankan Indonesia.
________________________________ From: "Pandji R Hadinoto, www.pkpi.co.cc" <politik...@yahoo.com> To: Ekonomi Nasional <ekonomi-nasional@yahoogroups.com>; Politik Indonesia Net <politik-indone...@yahoogroups.com> Cc: Politika45 Jakarta <politik...@yahoo.com> Sent: Tuesday, October 27, 2009 1:53:48 Subject: [ekonomi-nasional] Pertanyaannya Kemana Selisih Rp6,7T - Rp1,3T = Rp5,4T Itu ??? Artikel InfoBank dibawah ini, menurut saya, masih kurang memberi penjelasan yang dapat diterima akal sehat oleh khalayak kebanyakan, mohon pendapat rekan2 netter lainnya Menyelamatkan Bank Tidak Seperti Menyelamatkan Sektor Riil Tanggal: 26 Oktober 2009 Sumber: infobanknews. com Penyelamatan Bank Century oleh LPS ternyata tidak merisaukan kalangan bankir yang selama ini membayar premi buat LPS. Sebab, menyelamatkan Bank Century tak ubahnya dengan menyelamatkan industri perbankan dari kerugian yang makin besar. Belajar dari krisis perbankan 1998 lalu, yang ketika itu pemerintah rugi besar dengan menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) karena tidak ada mekanisme protokol dalam mengatasi krisis, maka dibuatlah LPS. Menurut Firdaus Djaelani, Ketua LPS, lembaga yang berdiri berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 dengan filosofi industry help industry ini kini sudah memiliki aset sekitar Rp18 triliun. Dengan demikian, maka penyelamatan Bank Century tidak mengambil dana APBN karena kekayaan LPS merupakan kekayaan yang dipisahkan. ”Itu uang premi yang dikumpulkan,” katanya. Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), pengalaman yang terjadi dalam krisis perbankan senantiasa mengeluarkan biaya yang relatif besar. Pada 1998 lalu, pemerintah juga mengeluarkan biaya mencapai Rp650 triliun untuk bailout bank-bank. Bahkan, di Amerika Serikat sekarang ini, Federal Deposit Insurance Corp. (FDIC), lembaga penjamin simpanan Amerika, pun telah mengeluarkan dana sebesar US$66,9 triliun karena ada 416 bank bermasalah. Sekadar mengingatkan, kendati berbeda asal-muasal dananya, sewaktu Bank Central Asia (BCA) dijual saja tidak mampu menutup penyertaan modal pemerintah yang sekitar Rp28 triliun karena ketika dijual hanya menghasilkan uang sekitar Rp7,389 triliun untuk 84,94% saham. Begitu juga Bank Danamon yang menelan penyertaan modal sementara Rp70 triliun (gabungan dari bank-bank peserta merger) yang hanya laku Rp5,37 triliun untuk 78,98% saham. Hal yang sama juga terjadi pada penjualan Lippobank, Bank Internasional Indonesia (BII), dan Bank Niaga. Sementara, Bank Mandiri direkap sebesar Rp172 triliun. Demikian pula dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), BNI, serta Bank Tabungan Negara (BTN). Sulit rasanya diterima masyarakat awam. Tapi, seperti itulah dalam penyelamatan bank. Industri perbankan sangat berbeda dengan industri yang tergolong sektor riil. Biaya penyelamatan disebut sebagai biaya krisis. Itulah mekanisme penyelamatan bank. Jika tidak demikian, maka sekarang di Indonesia tidak ada itu BCA, tidak ada Bank Mandiri atau BRI karena harus ditutup hanya gara-gara pertimbangan biaya.Semua itu murni menggunakan uang APBN. Bahkan, sampai dengan sekarang dilakukan dan karena itu diyakini oleh semua pihak, maka tentu tidak merisaukan anggota DPR. Sementara, penyelamatan Century yang murni uang dari premi yang dikumpulkan LPS dari bank-bank justru mendapat kecaman. Di sinilah letak politisasinya. Apalagi, seperti diungkapkan para bankir yang dihubungi Infobank, mekanisme yang dilakukan LPS sudah benar karena proses pengambilalihan bank gagal dengan dana LPS sudah sesuai dengan skenario awal—sebelum lahirnya UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). ”Justru, kalau LPS tidak mau menyelamatkan, kita para perbankan curiga, untuk apa sebenarnya uang premi yang dikumpulkan itu. Saya pikir, situasi waktu itu memang sensitif karena efek dari krisis global. Sudah benar apa yang dilakukan oleh pemerintah,” kata Agus Martowardojo, Ketua Ikatan Bankir Indonesia (IBI), kepada Infobank. Menurut Firdaus Djaelani, penyelamatan Bank Century yang kini menjadi aset LPS tidaklah sama dengan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 10 tahun lalu. Selain tidak menggunakan dana APBN, juga sudah seperti skenario awal: jika terjadi krisis sebelum lahirnya UU JPSK, maka payung hukum dengan UU LPS sudah memadai. Sampai dengan saat ini tidak ada kerugian negara karena tidak ada dana APBN dan Bank Century menjadi aset LPS. Tidak ada uang yang hilang. Harapannya, Bank Century akan meningkat kinerjanya sehingga dalam kurun waktu tiga tahun mendatang setidaknya akan mendapatkan harga jual yang optimum. Sebab, sekarang ini saja sudah banyak investor yang menanyakan Bank Century. Sekarang ini Bank Century sudah keluar dari pengawasan khusus BI. Dengan CAR-nya yang sudah di atas 9% dan mengantongi laba Rp200 miliar, Bank Century sudah dapat menjawab kegalauan para anggota DPR. Tentu kalangan berwajib perlu mendukung pengembalian uang Bank Century yang dilarikan pemegang saham, seperti Ravat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq serta Robert Tantular yang diduga sebagai pemegang saham “siluman”. Penyelesaian UU JPSK, peningkatan pengawasan bank oleh BI, dan penghindaran pemilik bank dari beking-bekingan menjadi prioritas. Bayangkan, jika saat ini ada bank yang beraset Rp50 triliun mengalami kesulitan, apa yang harus dilakukan? Sementara, LPS asetnya hanya Rp18 triliun dan UU JPSK belum ada. Tentu nota kesepatan antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan 17 Maret 2004 kurang memadai dan berpotensi mengundang polemik. Itulah harusnya titik fokus DPR. Bahkan, negara perlu membantu memburu aset-aset pemegang saham lama untuk dikembalikan ke Bank Century. Para penegak hukum pun perlu bersikap adil atas tindakan anarki yang dilakukan investor Antaboga Sekuritas yang melakukan demo anarkis di sejumlah cabang Bank Century. Sebab, mereka bukan nasabah Bank Century, melainkan investor yang menjadi korban penipuan kroni Robert Tantular. Penyelamatan Bank Century memang menjadi bola panas. Tapi, tentu jika dibiarkan terus-menerus akan mengganggu stabilitas perbankan. Bank diyakini sebagai lembaga kepercayaan. Karena itu, perlu diberi tempat agar tidak digedor secara membabi buta hanya sekadar menggagalkan Sri Mulyani Indrawati menjadi menkeu dan Boediono sebagai wapres. Penyelamatan Bank Century oleh LPS ternyata tidak merisaukan kalangan bankir yang selama ini membayar premi buat LPS. Sebab, menyelamatkan Bank Century tak ubahnya dengan menyelamatkan industri perbankan dari kerugian yang makin besar. Jadi, jika toh LPS menjual Century tidak sebesar biaya penyelamatan, tentu tidak akan menimbulkan pertanyaan karena memang itulah sebuah ongkos penyelamatan industri perbankan. (*) [Non-text portions of this message have been removed] Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com. http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/ [Non-text portions of this message have been removed]