Minggu, 22 November 2009 | ULASAN Oleh : Rudi Hartono dan Ulfa Ilyas
"Saya tidak mau abstrakkan lagi. Rakyat Kita lapar. Lapar itu riil, tidak abstrak. Mereka ingin nasi. Nasi yang riil, yang kongkret yang tidak abstrak, yang bisa bikin perut mereka kenyang, kenyang yang riil, yang tidak abstrak."- S. Sudjojono Seni tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa politik. Terlebih lagi, jika peristiwa itu mencerminkan penderitaan mayoritas rakyat, ketidakadilan sosial, dan perilaku sewenang-wenang penguasa. Ada banyak seniman yang mendedikasikan karyanya bagi kelahiran dan kebangkitan peristiwa revolusioner.Tak terkecuali di Indonesia, semenjak perjuangan kemerdekaan, para seniman pejuang ini sudah menempatkan karyanya satu gerbong dengan semangat dan cita-cita revolusi Indonesia. Untuk itu, seni pembebasan selalu menjadikan realitas sosial politik sebagai titik tolaknya, sementara pencapaian tertinggi dari sebuah karya seni pembebasan adalah apabila sebuah karya dapat merekam, melukiskan, menyadarkan, serta memberikan solusi terhadap persoalan ekonomi, sosial, dan politik tersebut. Dalam kaitan itu, pementasan seni yang rutin digelar oleh sejumlah seniman dan pejuang anti korupsi tiap malam minggu,di Kantor KPK, patut diberikan apresiasi setinggi-tingginya. Dalam acara itu, seniman dari berbagai keahlian seperti pemusik, penyair, pelukis, pewayang, dan lain-lain, turut mencurahkan fikiran dan karya-karyanya untuk masa depan bangsa Indonesiayang lebih baik. Isu kriminalisasi KPK atau perseteruan "buaya" versus "cicak" hanya sebuah sandiwara politik belaka. Di balik itu semua, terdapat sebuah gambaran suram mengenai kebobrokan dan buruknya penegakan hukum di negeri ini. Ini bukan hanya persoalan politik semata, tetapi juga persoalan kerusakan mental dan karakter sebuah bangsa. Dari situ, menurut Ras Muhammad, salah satu band reggae yang tampil di panggung seni anti korupsi, tujuan seniman bukan hanya sebatas menyampaikan pesan mengenai kejadian atau situasi apa yang terjadi saat ini, tetapi juga bertugas memperbaiki mental dan national character building bangsa ini. " korupsi hanya merupakan satu aspek dari kerusakan bangsa ini," kata Ras Muhammad," tetapi mewabah hingga kerusakan mental dan karakter sebagai sebuah bangsa." Dalam pementasan pertama, 7 November 2009, sejumlah artis dan seniman turut berpartisipasi, diantaranya Happy Salma, Suroso (JAKER), sanggar belajar bersama, dan seniman jalanan (Senja). Happy Salma membacakan puisi "Bunga dan Tembok", karya penyair pejuang anti kediktatoran Orba, Wiji Thukul. Pada pementasan kedua, jumlah seniman yang hadir juga makin banyak, demikian pula dengan jumlah massa yang menghadiri acara ini. Disini tampil sejumlah band reggae seperti KunoKini, Ras Muhamad, juga musisi balada seperti Franky Sahilatua dan Rizal Abdulhadi. Hadir pula pelukis Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), Ki Suhardi, yang melukis diatas kanvas berukuran 1 x1,5 meter. KunoKini memadukan musik etnik dan modern, persis dengan kata gabungan nama band mereka, Kuno dan Kini. Sementara Ras Muhamad membawakan beberapa lagu, diantaranya Leaving Babylon, The System, Crisis, Make A Way, dan Siempre. Lagunya, Siempre, yang didedikasikan untuk pejuang revolusioner Amerika Latin, Commandate Che Guevara, membuat penonton bersorak-sorak dan sangat bersemangat. Franky Sahilatua menyanyikan lagu berjudul "cicak dan buaya". Melalui lagu ini, Franky menyerukan kepada rakyat dikampung, pabrik, dan kampus untuk melakukan perlawanan. "Jadi, yang harus diperjuangkan adalah bagaimana melawan buaya-buaya. Kita tau tingkah laku mereka selama ini. Di mana hukum diperjual belikan," ujarnya. Ia menambahkan, korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat parah kondisinya. Ibarat penyakit, korupsi tidak hanya mendarah daging lagi tetapi sudah kronis dan memprihatinkan. "Korupsi sudah merusak masyarakat kita, tentu harus terus diberantas," imbuhnya. Sementara Rizal Abdulhadi, musisi yang mengagumi musisi revolusioner Chile, Victor Jara, menyanyikan sejumlah lagu perjuangan, diantaranya "Darah Juang", "Revolusi", dan "Lawan". Sementara pada pentas ketiga posko anti-korupsi, tadi malam (21/11), sejumlah seniman kembali hadir dan tampil menggugah penonton, diantaranya Sujiwo Tejo, Local Ambience, murid-murid SMA Kartini, dan penyair Suroso dari Jaker. Sujiwo Tejo menampilkan cerita pewayangan mengenai penyakit korupsi di nusantara ini. korupsi, kata dia, menjadi persoalan kebudayaan karena perilaku seorang pejabat merupakan cerminan dari masyarakatnya. "Jadi, jangan salahkan pimpinannya. Karena itu gambaran dari masyarakatnya juga yang tidak tegas. Yang salah kita, masyarakatnya,"kata Sujiwo Tejo. Selanjutnya, Sujiwo Tejo menyanyikan lagu "Lautan Tangis", bercerita mengenai batas-batas kesabaran kalangan bawah atau rakyat jelata terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Sementara murid-murid SMA Kartini, yang belajar di sekolah darurat, menyumbangkan sebuah puisi mengenai wajah suram dunia pendidikan akibat korupsi dana pendidikan. Meski membangun sendiri sekolahnya, berdasarkan pengakuan anak-anak ini, sekolah mereka sudah mengalami penggusuran tiga kali. Sekolah yang menampung anak jalanan, pedangan asongan, dan anak keluarga miskin ini harus belajar di bawah kolom jembatan. Namun, pentas seni tiap malam minggu ini bukan sekedar pentas seni. Disini, berbagai tokoh dan organisasi pergerakan dari berbagai spektrum politik juga berkumpul, dan kemudian menyampaikan orasi politik dan gagasan-gagasan politik mereka. Generasi aktifis yang berkumpul disini pun bukan hanya aktifis mahasiswa sekarang, tetapi juga kalangan aktifis dari generasi sebelumnya, seperti angkatan 66, 74, 79, 80-an, dan 1998. Sejumlah tokoh politik pun rajin menyetor muka di acara ini, diantaranya Adhie Massardi, Alvin Lie, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain.Ada juga kalangan intelektual seperti pakar komunikasi Effendi Gazali, dosen Universitas Muhamadiyah Bengkulu dan sekaligus pendiri gerakan sejuta facebooker dukung KPK, Usman Yasin. Pentas seni ini sudah bertansformasi menjadi panggung politik, dimana berbagai kelompok perlawanan berupaya mengkonsolidasikan kekuatan bersama. Dengan begitu, kita berharap bahwa riak-riak kecil ini segera berubah menjadi gelombang besar di waktu mendatang. Menurut koordinator posko bersama anti-korupsi, Lalu Hilman Afriandi, panggung seni setiap malam minggu ini merupakan panggung bersama, tidak hanya bagi seniman tetapi juga politisi dan kalangan aktifis pergerakan. Menurutnya, panggung ini akan dipertahankan hingga seratus hari mendatang, dan berencana untuk diperluas dan diselenggarakan dikampung-kampung, pabrik, dan kampus-kampus. "Ini adalah ruang konsolidasi," kata lalu Hilman," semua kelompok pergerakan dari berbagai spektrum diberikan tempat dan kesempatan untuk berekspresi dan membangun gagasan perlawanan bersama di tempat ini." (Red) Artikel Ulasan ini diambil dari : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=\ 565&Itemid=44 <http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id\ =565&Itemid=44> [Non-text portions of this message have been removed]