Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan untuk menilai seseorang antara lain dari sosok lahiriah. Cara memandang seperti ini, menyebabkan di kalangan masyarakat Jawa ada istilah katuranggan. Kata ini berasal dari kata dasar turangga yang berarti kuda atau kendaraan. Kata ini dipilih untuk menegaskan bahwa dalam kultur Jawa, penampilan lahiriah itu tetap penting. Walaupun demikian bukan menjadi satu-satunya pembenaruntuk menjatuhkan pilihan hanya dengan melihat ciri-ciri fisik belaka. Tetapi jelas, bahwa memberikan penekanan pada keadaan fisik dengan simbolisasi turangga atau kuda ini, bukan sembarangan, karena kuda memang binatang peliharaan yang menjadi kebanggaan bagi masyarakat Jawa, dan bahkan hampir di seluruh dunia. Paling tidak, ada tiga kebanggaan bagi orang Jawa, yaitu kukila(burung), turangga (kuda) dan curiga (keris). Ketiganya merupakan simbol kebangsawanan dan kepemimpinan. Tidak mengherankan, jika dalam berbagai epik cerita Jawa selalu terdapat ketiga simbol tersebut. Bahkan keahlian seseorang pembuat keris (empu) merupakan keahlian yang sangat terhormat. Tentu kita ingat kisah tentang Empu Gandring yang membuat keris untuk menjadi simbol kekuasaandan piyandel para pemegang tampuk kekuasaan di Jawa. Karena kita tidak akan berbicara mengenai kukila dan curiga, maka kita akan memfokuskan diri berbicara tentang turangga. Kata dasar turangga yang kemudian mendapat awalan ka dan akhiran an menjadi katuranggan, yang dapat dipahami sebagai cara untuk melihat sisi kejiwaanseseorang melalui penampilan lahiriahnya. Para dalang di Jawa, selalu menggambarkan katuranggan sosok wayangsetiap kali memainkan wayang itu untuk menjelaskan seperti apa gambaran sifat dan perilakumelalui fisik tokoh yang dimaksudkan. Cara ini dianggap sebagai cara yang paling mudah untuk menilai seseorang, terutama ketika orang Jawa hendak memilih seseorang sebagai pemimpin. Walaupun demikian, hanya dengan melihat katuranggan saja, orang seringkali salah. Namanya juga ciri fisik –orang Jawa menyebutnya wadag– jauh lebih banyak menipu dibandingkan dengan kondisi riil si tokoh itu. Sekedar contoh, dalam dunia pewayangan, ada dua tokoh yang mempunyai dedeg piyadeg atau ciri fisik yang nyaris sama. Tokoh yang dimaksud adalah Werkudaradan Duryudana. Werkudara adalah anak kedua Pandu Dewanatadari Pandawa Limayang berbadan tinggi dan tegap. Dia selalu digambarkan sebagai penyangga keutuhan Pandawa Lima karena kekuatan fisiknya dan –tentu saja– ilmunya. Sehingga Werkudara selalu menjadi benteng terakhir ketika keselamatan negara, rakyat dan keluarganya terancam. Bahkan acapkali dia tidak memedulikan keselamatannya sendiri, asalkan negara, rakyat dan keluarganya tetap berdidi tegak. Dalam keadaan ini, dia adalah seorang satria pembela negara yang sangat patriotik. Werkudara memiliki beberapa nama, tetapi yang sering digunakan adalah Bima, Werkudara, dan Bratasena. Ilmunya juga sempurna, karena ia seorang murid yang sangat taat kepada gurunya yaitu Pandita Durna. Dia adalah sosok seorang yang lugu, jujur dan selalu berbicara apa adanya. Apapun perintah gurunya akan dilaksanakan sampai tuntas walaupun sulit dan berbahaya. Karena keluguannya pula, dia tidak curiga sedikit pun ketika gurunya memerintahkan untuk mencari air kehidupan sampai ia harus bertapa di tengah samudera menghadapi amukan badai dan gelombang yang dahsyat. Tetapi justru di situlah dia bertemu dengan Guru Sejati yang disebut Dewa Ruci. Tokoh Dewa Ruci adalah sosok yang mirip Werkudara dalam bentuk’mini’. Dari Guru Sejati inilah dia memperoleh ilmu yang tiada tara bandingannya. Itulah Werkudara, alias Bima, alias Bratasena. Banyak pemimpin Indonesia yang mengidolakan sosok ini dan memajang tokoh wayang itu di rumah kediaman untuk menegaskan keinginannya meniru wataksatria yang satu ini. Padahal Werkudara bukan pemimpin negara. Apakah nantinya sosok tokoh yang dipajang itu berdampak pada caradan sikapkepemimpinannya, itu soal lain. Bagaimana dengan tokoh yang satu lagi, yaitu Duryudana?. Duryudana adalah Raja Astinayang memiliki dedeg piyadeg sama persis dengan Werkudara. Tinggi besar, tegap dan tentu saja bertenaga. Dia adalah anak tertua Prabu Destarata, kakak Pandu Dewanata, yang konon menurut cerita mempunyai anak 100 orang banyaknya. Dia digambarkan sebagai raja gung binathara alias Raja yang terhormat memiliki kekuasaan mutlak. Dia selalu didampingi oleh Patih Sangkuni, Pandita Durna, dan raja-raja kecil yang menjadi mitra koalisinya. Patih Sangkuni adalah seorang yang memiliki keahlian mengatur siasat. Maka, dalam Perang Baratayudha, dia adalah pengatur strategiyang sangat piawai. Sayangnya, di dalam pikirannya tidak ada lain kecuali jabatan, kekuasaandan kedekatandengan Sang Raja. Maka demi memuaskan Raja, taktikdan strategi licikpun tidak haramuntuk dilaksanakan demi melanggengkan kedudukan. Berbeda dengan Sri Kresna, yang menjadi penasehatKeluarga Pandawa. Dia tahu apa yang harus dikerjakan, karena sebagai titisan Wisnu, dia paham apa yang akan terjadi dalam Perang Baratayudha, karena dia memegang Kitab Jitapsara yaitu skenario yang dibuat para Dewa untuk Perang Baratayudha. Siapa lawan siapa dan siapa yang akan kalah atau gugur di medan laga sudah ditulis disana. Sehingga Sri Kresna selalu menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kurawa(Astina). Ketika Kurawa mengeluarkan Bismasebagai Panglima perang, Kresna menunjuk Srikandi–isteri Arjuna– untuk menandingi. Kresna memanfaatkan kelemahan Resi Bisma yang pernah mengecewakan seorang wanita yang amat mencintainya. Dia tidak mau menikahi wanita itu karena terikat sumpahnya sendiri tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena kecewa, diapun bunuh diri dan bersumpah akan membalas sakit hatinya lewat seorang wanita pula. Wanita yang dimaksud itu adalah Srikandi, isteri Arjuna yang memang tangkas dan ahli memanah. Bisma pun gugur. Lalu, ketika Kurawa memajukan Prabu Salyayang memiliki ajian Sasra Birawa, Kresna menunjuk Prabu Samiaji, anak tertua Pandawa untuk menandingi. Pilihan ini agak mengherankan, karena Prabu Samiaji adalah orang yang tidak pernah marah. Apapun yang dia miliki akan diberikankepada siapa pun yang meminta. Itulah sebabnya, dia dan keempat saudaranya terusir dari Astina ketika kalah bermain dadu karena dicurangi oleh Kurawa atas akal licik Patih Sangkuni. Justru Kresna memilih Prabu Samiaji untuk maju perang untuk menghadapi ajian Sasra Birawa yang dimiliki Prabu Salya, setelah dia mengutus si kembar Nakuladan Sadewakepada Prabu Salya menyampaikan permintaan agar mereka berdua dibunuh karena tidak tahan melihat penderitaan saudara-saudaranya akibat keperkasaan Prabu Salya yang adalah uwaknya sendiri. Nakula-Sadewa adalah anak kembar keluarga Pandawa dari ibu yang bernama Dewi Madrim, adik Prabu Salya. Maka Salya pun memberitahu dua keponakannya itu, agar Prabu Samiaji maju ke medan laga. Dialah satu-satunya orang yang dapat menandingi ajian Sasra Birawa. Ajian ini diperoleh oleh Salya muda dari mertuanya seorang sakti berwajah raksasa Bagaspati. Sebenarnya ajian ini diperoleh dengan cara licik, yakni memanfaatkan kecantikan Setyawati, anak Bagaspati yang cinta mati padanya. Salya muda hanya mau menikahi Setyawati, jika Bagaspati menyerahkan ajian Sasra Birawa itu kepadanya. Demi cintanya kepada anaknya, dengan berat hati, Bagaspati menyerahkan ajian itu kepada Salya. Dan dengan ajian itu pula, Bagaspati tewas di tangan menantunya. Saat meregang nyawa itulah Bagaspati menyatakan, kelak Salya akan bernasib sama dengannya dalam perang Baratayuda ketika berhadapan dengan seorang satria berdarah putih. Satria itulah Prabu Samiaji. Prabu Salya pun gugur, karena ajian Sasra Birawa tidak mempanpada musuh yang tidak mudah digoda nafsu amarahseperti Samiaji. Bagaspati sendiri yang menggerakkan tangan Samiaji untuk membunuh Prabu Salya. Sebenarnya, Kurawa bukanlah orang yang mudah dikalahkan, karena mereka pun murid Pandita Durna. Mereka mudah dikalahkan, karena Prabu Duryudana sebagai Raja yang memiliki kekuasaan mutlak itu tidak cekatan mengambil keputusan. Dia mudah dipengaruhi oleh mitra koalisinya, penasehatnya yaitu Patih Sangkuni. Bahkan ketika dia harus berhadapan dengan Werkudara dalam perang tanding, meskipun secara fisik dan ilmu tidak kalah, dia jadi pecundang karena sikap cengengnya. Tiap sebentar dia bertanya kepada Sangkuni, kepada saudaranyaatau kepada raja kecil mitra koalisinya. Bisa ditebak jika akhirnya dia pun gagal, dan menjadi pecundang. Kita mengidamkan pemimpin kita laksana Werkudara, bukan Prabu Duryudana. Sebab meskipun secara fisik serupa, tetapi ternyata kegagahan dan ketampanan fisik saja tidak cukup memadai untuk mengatasi keadaan gawat. * SBY : Antara Werkudara dan Duryudana http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/23/sby-antara-werkudara-dan-duryudana/ ***** Kita tahu ia jadi presiden sekarang, Allahsedang mengangkatnya dan meninggikan martabatnya di hadapan manusia. Ada yang gembira dan senang akan kenyataan ini, ada juga yang sebaliknya. Memang dunia seperti itu ada pro dan kontra, ada siang dan ada malam, laki-laki dan perempuan. Bisakah antara yang pro dan kontra dapat digabung seperti laki laki dan perempuan atau bisakan saling beriringan seperti siang dan malam ?. Jawabannya adalah ada pada kenyataan, maukah kita saling mengisi, maukah kita saling menghormati, maukah kita saling menghargai, ingat kita ini di dunia fana bukan hakekat yang sebenarnya, hanya sementara. Oleh karena itu apakah patut yang kuat menginjak yang lemah, yang mempunyai kesempatan membiarkan orang yang lagi kesusahan, yang kaya tidak menghargai yang miskin?. Cuma satu jawabannya, kita harus bertindak, semampu kita dan dalam posisi apa kita pelaksanaannya itu. Harus sadar akan posisi kita, dimana kita berdiri sekarang, kalau memang kalah dalam pertarungan ya harus sabar dan instrospeksi, jangan lewat jalan pintas, malu sungguh malu. Selamat buat SBY, anda telah diberi kesempatan, berbuatlah semampumu jangan lewat jalan pintas, sebab itu kemunafikanyang akan dicap terhadapmu. * Tentang SBY http://politik.kompasiana.com/2009/11/23/tentang-sby/ **** Sudah begitu banyak tuntutan dan permintaan masyarakat kepada presiden SBY tentang permasalahan penegakan hukum di negara kita ini. Sampai saat ini, SBY masih belum memberikan sinyal untuk mengikuti kehendak rakyat. Entah apa yang dipertimbangkanoleh beliau sehingga sulit mengubah wajah hukum kita yang penuh dengan karut marut. Hukum kita begitu mudah diperjual belikan. Begitu banyak orang yang terlibat menjadi makelar kasus, serta mafia hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah. SBY di pilih oleh rakyatdengan harapanuntuk memperbaiki keadaan negara Ri yang demikian hancur. Di pundak SBY segala harapan itu diletakkan. Mungkin dengan kepercayaan rakyat yang demikian besar, sehingga SBY merasa kekuasaannya tidak akan terusik. Dengan bekal kepercayaan rakyat tersebut, SBY yakin bahwa dirinya akan menjadi pemimpin yang tidak akan dilengserkan, walaupun begitu gawatnya keadaan negara kita. SBY merasa yakin bahwa kepemimpinan yang diperolehnya merupakan dukungan rakyat yang tak akan luntur sampai habis masa jabatannya. Namun demikian, melihat gelagatnya yang buta mata dan tebal telinga terhadap permintaan dan permohonan rakyat, siapa yang bisa jamin bahwa SBY akan memerintah sampai masa jabatannya berakhir?. Cueknya SBY terhadap jeritan rakyat yang menginginkan reformasi hukum secara cepat telah mengiris dan membuat luka di hati rakyat. Kelambanan yang selalu diperlihatkan oleh SBY membuat beberapa orang merasa tak sabar. Terlebih lagi dengan adanya kasus KPK, bank Century, dan beberapa kasus lain yang mencoreng muka aparat penegak hukum membuat rakyat semakin tak simpatik. Semua permintaan rakyat untuk mengganti pejabat di kepolisian dan kejaksaan sepertinya tak terlihat, dan masuk dari kuping kanan keluar dari kuping kiri SBY. Ia tetap saja memelihara oknum yang sudah mencoreng institusi kepolisian dan kejaksaan. Dan sedihnya lagi, pejabat kepolisian dan kejaksaan yang di duga mencoreng muka sendiri itu tak bergeser dari kursinya. Menyebalkan memang, tapi itulah kenyataannya. Kita sebagai rakyat hanya mampu mengurut dada seraya berharap SBY mau membuka mata dan telinganya untuk mengikuti keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Mungkin SBY memikirkan berbagai pertimbangan. Tapi dengan lambannya pengambilan keputusan membuat rakyat semakin bertanya-tanya tentang kemana arah negara ini hendak di bawa. Apakah negara hukum yang kita cita-citakan dapat tercapai, atau paling tidak di mulai pada era pemerintahan SBY jilid II ini. Ataukah pada era pemerintahan kedua ini penegakkan hukum semakin kabur ?. Semoga saja tidak. Walau bagaimanapun, rakyat tetap berharap kepada SBY mau melakukan apapun yang diinginkan oleh mereka. Dengan segala daya upaya rakyat pasti akan memberikan bantuan kepada SBY dalam menegakkan supremasi hukum. Namun demikian, SBY harus berjuang dan memberikan perhatian penuh terhadap permintaan rakyatnya. Selama ini memang SBY sepertinya sedikit melupakan janjinya. Bukankah sekarang saatnya SBY membuktikan janjinya untuk melakukan reformasi hukum dan keadilan. Kasus Candra dan Bibit, serta kasus bank Century merupakan pintu masuk yang dapat dilalui oleh SBY untuk melakukan reformasi hukum. Melalui kasus KPK, SBY diharapkan mampu melakukan reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan, dan melalui kasus bank Century diharapkan mampu menguak skandal yang terjadi di tubuh lembaga keuangan RI yaitu Bank Indonesia dan departemen keuangan. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh SBY untuk memperbaiki Indonesia, tapi sampai saat ini SBY sepertinya terlalu banyak pertimbangan. Memang sebagai, SBY harus hati-hati. Tapi melihat perkembangan dan kejadian yang ada di depan mata kita sungguh sangat mengkhawatirkan. Masalah tersebut diantaranya adalah penegakkan hukum yang carut marut. Akan kah SBY mau memperbaiki Indonesia?, waktulah yang akan menjawabnya. * SBY yang Buta Mata dan Tebal Telinga http://politik.kompasiana.com/2009/11/22/sby-yang-buta-mata-dan-tebal-telinga/ *****
[Non-text portions of this message have been removed]