2010/2/22 prof.habi...@gmail.com <prof.habi...@gmail.com> > Sebenarnya, saya masih percaya mekanisme perpajakan yang menunjang > mekanisme zakat, dalam artian zakat jalan pajak pun jalan karena > peruntukannya sangat berbeda. Zakat dinamakan zakat karena adanya > penghasilan dan adanya 8 golongan penerima dana zakat ini. *Kalau uang > zakat disalurkan selain ke 8 golongan ini, jelas melanggar ketentuan islam > *. Adapun bentuk penyalurannya, (apakah dalam bentuk uang, bantuan biaya > sekolah atau biaya pengobatan) silahkan yang lebih ahli bisa lebih > menjelaskan. > Saya highlight dengan warna biru statement anda sendiri. Pertanyaannya, dari mana anda tahu itu melanggar hukum Islam? Yang sangat perlu dicatat barangkali adalah, "agama Islam itu bukan agama untuk robot" alias untuk orang bodoh yang tidak ada flexibilitas di dalamnya. Baik saya sendiri maupun Mas Toto Hadi sudah cukup menjelaskan tentang zakat dan sumbangan lainnya secara singkat. Jika ada orang yang menyangka ketentuan Islam itu utk dilaksanakan untuk menjadikan manusia itu seperti robot, itu urusan masing-masing atas sangkaan atau imannya itu. Urusan sendiri juga jika dapat ilmu robot.
> Saya menilai keharaman pajak karena sifat *pajak jaman nabi* berbeda > dengan *pajak di jaman sekarang*. *Di jaman dulu*, pajak lebih bersifat *upeti > dan pemerasan** terhadap rakyat kecil dan negara jajahan*. Dan ketika uang > itu dikumpulkan, hasil pajak *dinikmati sendiri oleh penguasa*. Berbeda > dengan jaman sekarang dimana secara teoretis digunakan sebagai uang kas > bersama masyarakat untuk kepentingan pembangunan. > Gaya penulisan anda sangat menarik. Pada statement pertama menghighlight *zaman Nabi* dan *zaman sekarang*. Statement kedua menghighlight *zaman dulu* dan *zaman sekarang*. Saya agak kurang mengerti mana yang anda rujuk sebagai zaman Nabi, dan mana yang zaman dulu serta zaman sekarang. Setahu saya, memang terjadi pemajakanan sebagai *upeti dan pemerasan**terhadap rakyat kecil dan negara jajahan * di zaman sebelum Muhammad. Ini terjadi si Roma dan negara-negara jajahannya serta kerajaan-kerajaan lainnya di dunia. Bahkan juga terjadi di zaman setelah nabi Muhammad di negara-negara kerajaan di Eropa sendiri (Roma?). Pemajakan juga terjadi atas nama agama (atau atas nama Tuhan) oleh para petinggi-petingginya. Namun, pada masa Muhammad SAW sendiri serta di zaman 4 kalifah Islam setelah Nabi Muhammad, upeti dan pemerasan ini tidak terjadi. Juga tidak terjadi pada untuk negara-negara atau daerah-daerah yang waktu itu memeluk Islam. nabi dan kalifah tidak pernah menganggap mereka sebagai negara jajahan yang perlu diporotin hartanya untuk pusat Islam. Zakat atau sumbangan apapun yang terkumpul, itu untuk mereka sendiri, bukan untuk di setor ke pusat. Harta rakyat, ya untuk rakyat itu sendiri. Nabi Muhammad sendiri punya hak yang sama dengan manusia biasa, karena memang manusia biasa juga, bukan turun langsung dari langit atau anak dewa. Barangkali anda perlu sedikit meneliti sejarah sebelum menyimpulkan sesuatu untuk ini.* * > Terlepas tontonan di media bagaiman foya-foya para wakil rakyat di tengah > kemiskinan masyarakat, saya menilai kita masih memerlukan pajak. Yang perlu > kita pikirkan saat ini adalah bagaimana agar pajak dipungut sesuai ketentuan > dan bagaimana agar penggunaan pajak sesuai dengan kepentingan masyarakat. > Saya tidak menolak jika kita barangkali memerlukan sumbangan tambahan bersama untuk untuk kepentingan bersama, apapun namanya, baik pajak, infak, sedekah dll. Ini cuma soal nama... (orang muslim sendiri memanggil Illah Semesta ini dengan banyak nama, namun untuk SATU pribadi) Namun pertanyaan yang perlu dijawab dengan clear adalah, buat apa sebenarnya ada negara? Lalu apa tujuan esensi bernegara serta buat apa pajak diterapkan? Jika tujuannya untuk *mensejahterakan SELURUH RAKYAT dalam arti mememenuhi SELURUH KEBUTUHAN DASAR mereka,* pertanyaan lebih lanjut adalah, bagaimana mekanisme yang paling effektif dan efisien agar tujuan tersebut tercapai dengan mudah dan murah? Jika tujuannya memang demikian, buat apa pajak untuk tanah dan rumah anda, padahal itu anda gunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dasar anda. Barangkali kemudian ada jawab, nanti juga dikembalikan dalam bentuk fasilitas kehidupan dsb, lalu masyarakat mendapat penghasilan dari situ untuk membeli tanah & rumah. Jika memang seperti itu di praktekkan, pertanyaannya adalah, kenapa kok harus diputar-putar dulu kaya orang kurang kerjaan? Katanya udah sekolah dan belajar mana yang efisien dan efektif? Kecuali jika memang tujuannya memang bukan betul-betul seperti yang saya hightlight biru diatas... > Masalah saran Bung Harlizon mengenai kesepakatan masyarakat, pemilihan > presiden (selaku atasan menteri keuangan yang menetapkan ketentuan > perpajakan) adalah hasil kesepakatan masyarakat. Pemilihan wakil rakyat, > yang menetapkan undang-undang perpajakan, juga hasil kesepakatan masyarakat. > Jadi, apa lagi yang perlu disepakati? > Orang yang kurang mengetahui menyangka itu kesepakatan masyarakat. Saya mau tanya, apa anda ikut langsung menentukan secara langsung calon dari diri anda sendiri sebagai pimpinan daerah atau juga presiden? Saya tidak tahu apa pendidikan anda. Saya benar-benar berharap bahwa anda adalah prof. seperti pada nama email anda (terserah apa prof. itu singkatan profesor, profesional atau profokator dll, anda sendiri yang paling tahu), yang jelas dari gayanya terlihat mengenyam pendidikan (terserah itu pendikan dengan ilmu yang benar atau ilmu boong-boongan). Pertanyaannya, apakah anda dengan titel prof. dan mengenyam pendidikan dan dianggap berilmu ini bisa disamakan suaranya dengan yang bukan berilmu? Bukankah sistem "one man one vote" ini memerlakukannya demikian? Sistem demokrasi asalan (one man one vote) serta adanya dominasi sekelompok orang yang belum tentu berilmu atau mengerti bagaimana seharusnya hidup bernegara, berpotensi besar membuat negara amburadul seperti yang mungkin bisa anda lihat sekarang. Sistem demokrasi asalan ini tidak mungkin diterapkan untuk mencapai tujuan dengan optimal meski untuk di organisasi kecil sekalipun. Apa di kantor atau organisasi LSM atau gereja anda dilakukan sistem demokrasi "one man one vote" ini dalam mengambil keputusan? Apa mengikut sertakan janitor atau pembantu dalam pengambilan keputusan? Jika tidak, lantas kenapa ada yang menyangka itu bisa menghasilkan output terbaik jika dilakukan untuk organisasi yang lebih besar seperti negara? Jika anda dari saudara Kristiani atau Yahudi (Thanks God! karena sebagai seorang muslim kami juga diwajibkan membaca dan mengimani Injil/P Baru & Taurat/P lama), berikut statement oleh saudari Kristiani sendiri*, **Prof Dr Maria Farida Indrati* -- sekarang hakim Mahkamah Konstitusi -- terhadap sistem hukum di Indonesia sekarang dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar ilmu perundang-undangan di Universitas Indonesia, menyatakan bahwa *tidak ada kaitan yang jelas antara nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan demikian banyak undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI dengan Pemerintah, dhi Presiden RI.* Rakyat bawah lebih senang dapat Bantuan Langsung karena memang langsung dapat mereka nikmati untuk jangka pendek. Padahal bantuan langsung ini kemudian dibebankan kembali kepada mereka melalui naiknya harga-harga dan kesulitan hidup lainnya dimasa depan. Orang yang lebih berilmu berpendapat, "lebih baik mereka diberdayakan melalui penambahan skill dll sehingga mereka lebih lanjut bisa mandiri untuk jangka panjang". Tidak ada yang "salah" dari kedua logika ini, namun jika orang itu punya ilmu yang cukup dan lebih berakal, barangkali dia akan mempertimbangkan advantage & disadvantage (manfaat & mudharat) kedua opsi ini, Pertanyaannya, "apa orang yang lebih berilmu kemudian menyamakan logikanya dengan logika rakyat kebanyakan ini?" Pilihannya, tentunya bebas. Terserah bagi yang mengaku berilmu untuk sama akalnya dengan orang kebanyakan. Semuanya memang masalah ilmu dan kesadaran... Repotnya, ilmu dan kesadaran itu bertingkat-tingkat... Dan, Quran menyuruh untuk mengambil yang TERBAIK dari semua opsi yang ada. Az Zumar 39:18 yang mendengarkan perkataan lalu *mengikuti apa yang paling baik di antaranya*. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang *mempunyai akal*. Tidak ada satupun keharusan untuk mengikutinya... Pencipta dan Penguasa Semesta sepertinya juga tidak pernah memaksakannya... Barangkali memang dia memberikan hak kebebasan bagi seseorang untuk memilih tetap bodoh atau lebih cerdas... Tapi, memang betul-betul begitu kah? Yang saya lihat adalah, yang bodoh kena akibat dari kebodohannya, yang pintar dapat manfaat dari kepintarannya... Artinya, "bohong besar jika manusia itu mengira bahwa ia betul-betul bebas". Salam Z Salam > > Habibie Nugroho Wicaksono > > [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com http://capresindonesia.wordpress.com http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/