AssWrWb,

Bp Prof. Habibie yang saya hormati,

Sebenarnya saya tidak berminat untuk memberikan kuliah ekonomi di milis ini.
Namun untuk menghormati pertanyaan yang mungkin sudah susah payah anda
siapkan, baiklah saya coba jawab beberapa diantaranya dengan singkat.
Mudah-mudahan menyenangkan hati anda.



1.            Keterangan terakhir saya terhadap zakat tidak lepas dari
keterangan di email sebelumnya.



2010/2/22 Harlizon MBAu harli...@gmail.com



Kalau tidak ada yang lapar lagi dan semua tercukupi kebutuhan hidupnya,
tentu saja boleh...
Jika tidak, lantas buat apa zakat tersebut dianggurin?



Ini juga untuk menjawab pertanyaan anda pada email sebelumnya lagi yakni:



2010/2/21 prof.habi...@gmail.com <prof.habi...@gmail.com>



Saya ingin menanyakan, *bolehkah uang zakat 2,5% tadi dipakai untuk
membangun jalan?* Bolehkah uang zakat dipakai untuk membayar dokter
puskesmas beserta obat-obatnya? Bolehkah zakat dipakai untuk membiayai
subsidi minyak dan listrik? Bolehkah digunakan untuk penerangan jalan raya
di malam hari? Bolehkah dipakai untuk proyek perluasan dan pembersihan
sungai? Bolehkah dipakai untuk membangun terminal bus, pelabuhan dan stasiun
kereta? Bolehkah digunakan untuk membayar gaji polisi dan tentara yang
menjaga keamanan? Bolehkah digunakan untuk membeli alutsista? Bolehkah
digunakan untuk membayar gaji guru dan dosen?


Saya tidak tahu anda tidak menyimak atau memang lupa dengan email jawaban
saya tersebut. Wallahu alam bissawab…Manusia memang agak suka pelupa.

Keterangan dan contoh lebih lengkap terhadap pertanyaan anda ini,
dilampirkan pada point 4 email ini.



2.            Seperti juga hal diatas, begitu banyak kesimpulan anda yang
melenceng dari apa yang saya tulis, misalnya kalimat anda ini:



“2. Perbedaan kita adalah sumber dananya. Saya tetap pada mekanisme
perpajakan *sementara Bung Harlizon pada zakat*. Para penentang pajak
menjadikan ayat keharaman pemungut pajak sebagai landasan utamanya;”

 atau



“3. Saya menganggap bahwa zakat harus digunakan sesuai dengan apa yang
dinyatakan dalam Al Qur'an sementara *anda menganggap bahwa zakat bebas
digunakan sesuai dengan keinginan kita*.”

 Padahal berkali-kali pada kalimat keterangan lainnya tentang pajak
nyata-nyata tidak ada keterangan saya yang bisa disimpulkan seperti ini.



Jika ada keterangan pada email sebelumnya,



2010/2/18 Harlizon MBAu harli...@gmail.com



*Kalau saya tidak salah, ZAKAT yang besarnya cuma 2,5 % itu adalah "PAJAK"
dalam hukum Islam...
*Kalau para pengusaha, konglomerat dan rakyatnya cerdik, tentunya lebih enak
membayar pajak cuma 2,5 % dalam hukum Islam...
Cuma memang, orang yang cerdik di dunia ini tidak banyak...
Orang-orang di zaman sebelum era Muhammad SAW dulu disebut jahilliyah,
karena jahilliyah artinya bodoh...



Keterangan ini semata-mata untuk memberitahu bahwa kewajiban yang “yang
mirip” pajak di Islam adalah cuma zakat yang 2.5 % itu. Zakat ini sifatnya
wajib. Dan anda sangat benar mengenai peruntukan zakat tersebut. Zakat ini
jelas bukan pajak bumi dan bangunan seperti yang diterapkan dalam sistem
perpajakan sekarang, namun adalah persentase dari keuntungan usaha atau sisa
dari kelebihan harta setelah keperluan dasar (terutama pangan) dari si wajib
zakat tercukupi. Sekalipun ada hasil usaha dan untung, namun keuntungannya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan diri/keluarganya saja, dia tidak
terkena wajib zakat. Artinya, ZAKAT TIDAK WAJIB BAGI SEMUA ORANG. Zakat
hanya wajib BAGI YANG MAMPU (BERLEBIH HARTAnya) SAJA. Bagi orang dari
tipe-tipe tidak mampu ini, bukan saja zakat tidak wajib, malah mereka PUNYA
HAK UNTUK MENERIMA ZAKAT.



Mewajibkan zakat kepada yang punya tanah dan bangunan namun untuk makannya
sendiri tidak mampu dia cukupi tentunya dapat berakhir pada hilangnya tanah
dan bangunannya tersebut untuk membayar zakat, padahal tanah dan bangunannya
tersebut perlu atau dibutuhkan untuk hidupnya.



Memang benar bahwa tidak ada kewajiban apapun bagi yang bukan muslim untuk
mengikuti aturan Islam, termasuk zakat. Pada zaman nabi Muhammad, tidak ada
pemaksaan apapun terhadap yang bukan muslim. Itulah esensi “Perjanjian
Madinah”, dimana setiap pemeluk agama bebas melaksanakan aturan agamanya
masing-masing asal tidak mengganggu yang lain. Jika pemeluk agama lain ada
yang membayar sumbangan sebesar zakat, itu tidak dianggap sebagai zakat,
melainkan sebagai “jaminan perlindungan keamanan” atau “jizyah”, dimana jika
ada yang mengganggu mereka, orang muslim akan melindungi dan membelanya.



Juga, jika ada kritikan terhadap praktek atau mekanisme pajak, semata-mata
untuk mengajak bersama-sama berfikir tentang efisiensi serta efektifitas
penggunaannya. Kalau nga ada yang mau mikir, tentunya juga tidak apa-apa.
Saya tidak pernah memaksa untuk itu. Yang saya tahu adalah, kecerdasan
seseorang meningkat kalau dia mikir, apalagi mikir yang baik-baik. Hak
seseorang tentunya untuk mau mikir atau tidak.



3.            Terima kasih atas sarannya untuk mencari buku yang judulnya
“Economics”. Kebetulan saja saya punya beberapa puluh buah yang judulnya
mirip-mirip. Dulu agak rajin saya baca ketika mengikuti kelas terkait atau
sedang bikin bahan presentasi seminar. Namun sepertinya buku-buku tersebut
banyak yang himpit-himpitan dengan buku lain sehingga saya agak malas
mencarinya. Ngomong-ngomong, dari buku “Economics” yang anda rujuk tersebut,
apa katanya tentang *“tujuan ekonomi” *serta* “bagaimana strategi atau
caranya mencapai tujuan tersebut”? *Barangkali mungkin bisa anda bagi di
milis ini tentang itu dengan menyebutkan halaman rujukan, judul serta
pengarangnya agar member milis juga bisa belajar? Mudah-mudahan ada
keterangan tentang topik ini di buku yang anda rujuk itu. Jika tidak ada,
barangkali kita perlu curiga pada penerbitnya, “jangan-jangan topik tentang
ini sengaja tidak dicetak untuk menghemat yertas agar untungnya lebih
banyak”. Atau barangkali si penjual buku mengkorup kertas bukunya agar bisa
mereka jual lagi untuk jadi pembungkus gorengan? Atau, jangan-jangan bukunya
palsu. Wallahu alam bissawab…



Bagi saya pribadi tidak ada masalah jika anda tidak menemukannya. Dan, Insya
Allah juga tidak akan menganggap anda mengidap *"free-rider problem" *jika
tidak memberitahu disini bahwa itu ada atau tidak. Namun saya tidak tahu
bagaimana opini member yang lain…



4.            Berikut saya lampirkan kutipan dari beberapa homepage tentang
sistem *ekonomi Islam* yang mampu membuat kondisi *tidak ada orang miskin
atau orang yang tidak tercukupi kebutuhannya*, dan akhirnya malah tidak mau
menerima zakat. Dalam pengertian lain, sebenarnya juga bisa saja tidak ada
wajib zakat jika kondisi itu tercapai. Kalau anda tetap mau ngasih namun
tidak ada yang mau menerima, tentunya terserah anda mau ngasihnya ke makhluk
lain yang mau.



Juga tidak ada paksaan untuk mempercayainya atau apalagi mengikutinya. Semua
tergantung pada apakah akal seseorang sudah sampai atau belum.



Kira-kira, dalam buku “Economics” yang anda rujuk, adakah teorinya yang bisa
membuat masyarakat bisa tidak perlu membayar pajak lagi? Jika ada,
barangkali menarik jika ada yang berminat mambahasnya disini.



http://indobestseller.wordpress.com/2010/02/17/biografi-khalifah-umar-bin-abdul-aziz-khalifah-yang-agung/



Tetapi Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan sebaliknya. Dalam
tempoh tersebut, kerajaan Umaiyyah semakin kuat, tiada pemberontakan
dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang
sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta
zakat kerana *tiada lagi orang yang mahu menerima zakat*, kebanyakannya
sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya boleh berdikari sendiri.



http://www.detiknews.com/read/2009/08/20/082555/1186076/626/sejarah-kegemilangan-zakat



Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan ½ dari surplus zakatnya ke
pemerintah pusat. Dan Subhanallah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal
menyerahkan seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini
dilakukan karena sudah *tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat* dan
disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat *mengalihkan
distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin.*



http://pkpusumbar.org/solusi-islam-untuk-mengatasi-krisis-ekonomi-global/



Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Umar bin Abdul Aziz Perombak
Wajah Pemerintahan Islam”, tulisan Imaduddin Kholil yang diterbitkan oleh
Pustaka Mantiq, Solo (1992) pada halaman 142-144:
“Pada masanya keamanan dirasakan oleh setiap penduduk dimanapun mereka
berada di wilayah kedaulatan Islamiyah. Hampir semua warga negara menjadi
kaya. Saat itu tidak lagi ditemukan fakir miskin yang berhak menerima zakat
dan shadaqah. Keadaan ini membuat para orang kaya kesulitan untuk memecahkan
persoalan, kewajiban yang harus ditunaikan. Kesejahteraan yang merata dapat
dicerminkan lewat ucapan Yahya bin Said, amil zakat dari Khalifah untuk
daerah Afrika, beliau berkata: ‘Aku diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz
untuk mengelola zakat di Afrika. Setelah terkumpul semua, aku kebingungan
mencari siapa yang harus kuberi. Di sana *tiada seorangpun yang fakir dan
yang mau menerima pemberian pembagian zakat*. Itu disebabkan Umar telah
membuat kaya penduduknya. Dan *akhirnya zakat itupun kupakai untuk menebus
para budak, membebaskan mereka dan menggabungkannya dengan para muslimin
yang lain’.*



http://suhermanfx.multiply.com/journal/item/38/Zakat_semasa_Kekhalifahan_Umar_Bin_Khaththab_Umar_Bin_Abdul_Aziz



Muadz adalah staf Rasulullah saw. yang diutus untuk memungut zakat di Yaman.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu
Ubaid menuturkan (Al-Amwal, hlm. 596) bahwa Muadz pernah mengirimkan hasil
zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Khalifah Umar di Madinah, karena
Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun,
Khalifah Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga
hasil zakat itu, Khalifah Umar kembali menolaknya dan berkata, “Saya tidak
mengutusmu sebagai kolektor upeti. Saya mengutusmu untuk memungut zakat dari
orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan
mereka juga.” Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana,
tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepada Anda.”

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya
kepada Khalifah Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz
mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan oleh
Khalifah Umar. Muadz berkata, “Saya *tidak menjumpai seorang pun yang berhak
menerima bagian zakat* yang saya pungut.” (Al-Qaradhawi, 1995).



*Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz*

Khalifah Umar yang ini juga tak jauh beda dengan Khalifah Umar yang telah
diceritakan sebelumnya. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya
sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), umat Islam akan terus mengenangnya
sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.Ibnu Abdil Hakam
(Sîrah Umar bin Abdul ‘Azîz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang
petugas zakat masa itu berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz
untuk memungut zakat ke Afrika. *Setelah memungutnya, saya bermaksud
memberikan-nya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai
seorang pun*. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu
itu berkecukupan. *Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu
memerdekakannya.”* (Al-Qaradhawi, 1995).

Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh
penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl
hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada
Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin
di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah
membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat
banyak uang.” Khalifah Umar memerintahkan, “*Carilah orang yang dililit
utang tetapi tidak boros*. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.”Abdul
Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka,
tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.”

Khalifah memerintahkan lagi, “*Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki
harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya*.” Abdul
Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang
ingin nikah. Namun, di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.”Akhirnya,
Khalifah Umar memberi pengarahan, “Carilah orang yang biasa membayar jizyah
dan kharaj. *Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar
mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah
dua tahun atau lebih.”* (Al-Qaradhawi, 1995).



Salam Z


2010/3/1 Habibie Nugroho Wicaksono <prof.habi...@gmail.com>

>
>
> Bung Harlizon, sebelumnya saya akan membuat resume diskusi kita terlebih
> dahulu agar jelas duduk perkaranya.
>
> 1. Kita semua sepakat perlunya dana bersama;
> 2. Perbedaan kita adalah sumber dananya. Saya tetap pada mekanisme
> perpajakan sementara Bung Harlizon pada zakat. Para penentang pajak
> menjadikan ayat keharaman pemungut pajak sebagai landasan utamanya;
> 3. Saya menganggap bahwa zakat harus digunakan sesuai dengan apa yang
> dinyatakan dalam Al Qur'an sementara anda menganggap bahwa zakat bebas
> digunakan sesuai dengan keinginan kita.
>
> Tiga poin di atas adalah topik utama. Kemudian, anda salah menerjemahkan
> istilah jaman nabi dengan nabi itu sendiri. Akan saya jelaskan nanti.
>
> Selain itu, ada topik tambahan lain yang muncul :
> 1. Anda mempertanyakan apa perlunya pajak, dimana anda mengatakan
> kenapa perlu diputar-putar dulu. Anda menganggap itu tidak efektif dan
> efisien;
> 2. Anda mempertanyakan masalah demokrasi dengan sistem one man one
> vote.
>
> Dengan demikian, saya rasa saya tidak perlu menerangkan lagi perlunya pajak
> karena anda setuju bahwa diperlukan dana bersama. Yang akan saya kupas
> adalah alasan mengapa zakat tidak boleh digunakan untuk menggantikan pajak.
> Oleh karena itu, dalam subjek saya beri tulisan OOT. Selain itu, saya akan
> bahas topik tambahan yang saudara munculkan.
>
> Nah, saya akan jawab satu persatu argumentasi anda.
>
> ----------------------------------------------------------
> --------------------------------
> Istilah Jaman Nabi
> Ketika saya katakan, "Di jaman Pangeran Diponegoro, India sedang dijajah."
> Apakah saya mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro menjajah India? Tentu saja
> tidak. Apakah ada kaitan langsung antara Pangeran Diponegoro dengan India?
> Belum tentu. Saya hanya menjelaskan kurun waktu kejadian, yaitu waktu
> Pangeran Diponegoro hidup, India sedang dijajah.
>
> Begitu juga ketika saya katakan, "Di jaman nabi, pajak dipungut tidak untuk
> kepentingan rakyat kecil." Apakah saya mengatakan bahwa Nabi Muhammad
> memungut pajak? Tidak. Maksud saya :
> 1. Haramnya pajak dinyatakan dalam Hadits;
> 2. Hadits adalah segala perkataan dan teladan Nabi Muhammad SAW;
> 3. Tentu saja, hadits muncul waktu Nabi Muhammad masih hidup;
> 4. Nabi Muhammad hidup Tahun 600an masehi;
> 5. Tahun 600an, pajak dipungut dari negara jajahan dan rakyat kecil
> (sebagimana yang dilakukan oleh kerajaan romawi, persia dan negara penjajah
> lainnya), namun tidak untuk kepentingan negara jajahan dan rakyat kecil itu
> sendiri;
> 6. Jadi, hadits keharaman pajak ini muncul untuk pengertian pajak di
> masa itu.
>
> Sementara, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran pemahaman pajak
> terutama di masa runtuhnya feodalisme menjadi demokrasi yang terjadi di
> Eropa. Namun, istilah yang dipakai masih tetap pajak. Itulah mengapa,
> menurut saya, keharaman pajak tidak berubah, namun pajaknya yang berubah.
>
> Seperti kalau dikatakan bahwa babi haram. Kemudian, 1300 tahun ke depan
> kalau disebut babi, orang memberikan ayam. Sementara, kalau disebut ayam,
> orang memberikan babi. Apakah babinya masih haram? Iya, babi haram, tetapi
> tentu saja babi yang dimaksud adalah babi yang ditunjuk 1300 tahun lalu,
> sementara sekarang disebut ayam.
> Cukup jelas Bung Harlizon?
>
> ----------------------------------------------------------
> ------------------------------
> Penggunaan Zakat
> Saya mengutip perkataan Bung Harlizon :
> "Saya tidak menolak jika kita barangkali memerlukan sumbangan tambahan
> bersama untuk untuk kepentingan bersama, apapun namanya, baik pajak, infak,
> sedekah dll. Ini cuma soal nama..."
>
> Saya jelas tidak setuju dengan pernyataan Bung Harlizon. Pajak, zakat,
> infak, dan sedekah bukanlah sebuah sinonim (kata yang sama), melainkan kata
> yang berbeda maknanya. Akan sangat menyesatkan bila kita memandang zakat
> dan
> pajak hanya berbeda istilah.
>
> Pola berpikir saya adalah :
> 1. Zakat diatur dalam Al Qur'an;
> 2. Al Qur'an adalah firman Allah;
> 3. Allah menurunkan Al Qur'an sebagi petunjuk jalan yang lurus;
> 4. Petunjuk diberikan karena Allah Maha Mengetahui, Maha Pengasih dan
> Penyayang;
>
> Saya tidak akan menjelaskan bagaimana penggunaan zakat. Biarlah Al Qur'an
> sendiri yang menjawab :
> "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
> orang-orang
> miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
> (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
> untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
> diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Surat At
> Taubah ayat 60)
>
> Perhatikan penggunaan kata hanyalah. Kalau anda menggunakan zakat untuk
> kepentingan selain ayat di atas maka anda melanggar aturan yang digariskan
> oleh Allah. Dengan demikian, secara tidak langsung anda mengatakan bahwa
> ketetapan anda lebih baik daripada ketetapan Allah. Dan itu berarti, secara
> tidak langsung anda mengatakan bahwa pengetahuan anda lebih tinggi daripada
> Allah.
> Padahal, Surat Al Baqoroh ayat 29 mengatakan :
> "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
> berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
> Maha Mengetahui segala sesuatu"
>
> Perlu diingat, dalam Islam fleksibel tapi bukan fleksibel tanpa aturan.
> Kita
> fleksibel untuk hal-hal yang tidak diatur secara rinci dalam Al Qur'an dan
> Hadits. Kalau Al Qur'an dan Hadits sudah jelas mengatur (seperti masalah
> zakat, waris, nikah, dll) maka itulah yang jadi acuan, jangan diubah-ubah
> lagi.
>
> Perhatikan, bahwa yang disebut pertama adalah orang fakir (orang yang amat
> sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
> penghidupannya). Kemudian disusul dengan orang miskin (orang yang tidak
> cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan). Sementara pengurus
> zakat
> (orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat) menduduki
> peringkat ketiga. Urut-urutan penyebutan ini bukan hanya asal-asalan saja,
> tetapi jelas ada maksudnya.
>
> Itulah mengapa, diperlukan pajak untuk keperluan masyarakat di luar yang di
> atur zakat.
>
> ----------------------------------------------------------
> --------------------------------
> Uang Diputar-putar dalam Perpajakan
> Saya kutip kalimat Bung Harlizon :
> "Jika tujuannya memang demikian, buat apa pajak untuk tanah dan rumah anda,
> padahal itu anda gunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dasar anda.
> Barangkali kemudian ada jawab, nanti juga dikembalikan dalam bentuk
> fasilitas kehidupan dsb, lalu masyarakat mendapat penghasilan dari situ
> untuk membeli tanah & rumah. Jika memang seperti itu di praktekkan,
> pertanyaannya adalah, kenapa kok harus diputar-putar dulu kaya orang kurang
> kerjaan? Katanya udah sekolah dan belajar mana yang efisien dan efektif?"
>
> Dari kalimat di atas, saya segera menyadari bahwa anda bukan berlatar
> belakang ekonomi. Dan memang fungsi dalam milis ini untuk saling sharing
> pengetahuan. Saran saya, Bung Harlizon bisa pergi ke toko buku dan cari
> buku
> judulnya Economics, siapapun penulisnya. Coba cari bab "Public Goods"
> (Barang Publik). Saya yakin, hanya dengan membaca lima halaman pertama
> saja,
> anda pasti langsung mengerti konsep yang yang menurut anda diputar-putar
> ini. Anda akan mengerti "free-rider problem".
>
> ----------------------------------------------------------
> --------------------------------
> Demokrasi
> Saya kutip kalimat Bung Harlizon :
> "Untuk keperluan bersama lain seperti yang Anda sebutkan, kalau tidak salah
> disebut SEDEKAH dll...
> SEDEKAH dll tsb sifatnya lebih sukarela kecuali jika masyarakat bersama
> menyepakatinya lain..."
>
> Di lain waktu anda menyatakan bahwa :
> "Sistem demokrasi asalan (one man one vote) serta adanya dominasi
> sekelompok
> orang yang belum tentu berilmu atau mengerti bagaimana seharusnya hidup
> bernegara, berpotensi besar membuat negara amburadul seperti yang mungkin
> bisa anda lihat sekarang.
> Sistem demokrasi asalan ini tidak mungkin diterapkan untuk mencapai tujuan
> dengan optimal meski untuk di organisasi kecil sekalipun. Apa di kantor
> atau
> organisasi LSM atau gereja anda dilakukan sistem demokrasi "one man one
> vote" ini dalam mengambil keputusan? Apa mengikut sertakan janitor atau
> pembantu dalam pengambilan keputusan?"
>
> Sementara, anda menyatakan :
> "Saya mau tanya, apa anda ikut langsung menentukan secara langsung calon
> dari diri anda sendiri sebagai pimpinan daerah atau juga presiden?"
>
> Maka, saya bertanya kepada Bung Harlizon :
> 1. "masyarakat bersama yang menyepakatinya" itu masyarakat yang mana
> Bung? Coba dijelaskan lebih lanjut;
> 2. Bung Harlizon mempertanyakan apakah masyarakat memilih langsung
> calon sendiri. Sementara, anda sendiri juga mengkritik bila orang yang
> tidak
> berlimu ikut memutuskan. Coba dijelaskan lebih lanjut.
>
> Ketika kita memilih partai, secara tidak langsung, kita memutuskan bahwa
> partai ini lebih ahli dalam menentukan presiden dan juga lebih ahli dalam
> urusan kenegaraan lainnya. Kemudian, presiden yang diajukan partai ini
> digulirkan kembali ke masyarakat untuk ditentukan. Dan ketika kita memilih
> seorang presiden, secara tidak langsung kita memutuskan bahwa si calon
> presiden ini adalah ahli dalam mengelola negara ini. Presiden inilah yang
> akan menentukan menteri-menterinya yang dianggap ahli oleh presiden dalam
> bidang-bidang yang ditunjuknya.
>
> Itulah mengapa siapapun presiden yang terpilih, harus kita hormati karena
> dialah pemimpin hasil kesepakatan bersama. Bahwa banyak masyarakat mengakui
> keahliannya sebagai pemimpin negara dan menunjuknya sebagai pengambil
> keputusan kenegaraan. Jadi, janitor dan pembantu tidak ikut dalam urusan
> kenegaraan.
>
> Begitu juga anggota DPR yang terpilih. Meskipun terkadang kita
> geleng-geleng
> melihat perilaku yang tidak mencerminkan perikemanusiaan dan tidak
> mencerminkan keahlian, dialah wakil pilihan masyarakat. Salah masyarakat
> sendiri memilih dia sebagai wakil dalam urusan legislasi. Kalau tidak
> setuju, ya nanti 2014 anda ikut dalam caleg. Buatlah perubahan.
>
> Mengenai mekanisme voting dalam DPR, sebenarnya melanggar pancasila dan
> pembukaan UUD 1945 dimana kita hanya mengenal musyawarah untuk mufakat.
> Namun, harus diakui bahwa sangat sulit mencapai mufakat, apalagi kalau
> semangat musyawarahnya adalah semangat kepentingan golongan. Inilah yang
> membuat MPR dan DPR di tahun 1950an gagal membentuk konstitusi yang baru
> yang berujung pada dekrit presiden. Itulah mengapa akhirnya saat ini
> digunakan voting.
>
> Nah, kalau Bung Harlizon tidak setuju dengan kondisi saat ini, saya pun
> sama. Namun, saya melihat saat ini, inilah mekanisme terbaik yang ada,
> meskipun eksekusi sistemnya yang salah. Kalau Bung Harlizon merasa tidak
> setuju, dirikanlah partai. Kuasai kursi MPR dan DPR, dan setelah itu
> ubahlah
> konstitusi. Itulah jalan keluar terbaik menurut saya.
>
> ----------------------------------------------------------
> --------------------------------
> Untuk Bung Toto Hadi
> Saya kutip pernyataan Bung Toto Hadi :
> "ZIS memiliki jaminan bagi pelaksananya untuk mendapatkan penghargaan yang
> layak sebagai hamba dan muslim ( pahala ) sehingga bagi orang - orang yang
> beriman tentu ini akan menjadi pemicu untuk lebih taat dan lebih banyak
> lagi
> mengeluarkan ZIS sejarah mencatat abu bakar a.s. telah menyerahkan hartanya
> untuk ditukar dengan penghormatan yang hakiki dari tuhannya. Begitu pun
> bagi
> para pengelola, tidak tanggung - tanggung neraka saqor, keraknya neraka
> adalah tempat bagi mereka yang menyalahgunakan pengelolaan dana baitulmaal
> ini. tak terbayang kalau dineraka kelak para petinggi negara ini menjerit -
> jerit meminta ampun kepada tuhannya karena banyak menyelewengkan dana ZIS.(
> asumsi kelakuan mereka saat ini yang suka menggelapkan dana rakyat ).
> Bagaimana pajak, secara eskatologis tidak ada kekuatan sedikit pun, tidak
> ada dosa orang yang tidak bayar pajak, tidak ada dosa pengelola pajak yang
> korup, tidak ada pahala orang yang membayar pajak padahal nominalnya jelas
> lebih besar dari zakat. Lalu motivasi apa yang dapat membangun kesadaran
> diri menunaikan pajak.
>
> Inilah perbedaan yang mencolok dari keduanya."
>
> Bung Toto, marilah sekarang kita lebih realistis :
> 1. Dengan pajak yang besar saja negara kita tidak makmur apalagi cuma
> 2,5%;
> 2. Rakyat kecil sebenarnya malah tidak dibebani pajak sama sekali,
> kalau pun ada ya Pajak Bumi dan Bangunan untuk yang memiliki rumah resmi
> dan
> pajak saat membeli barang/jasa dari industri besar. Umumnya, transaksi
> antar
> UKM tidak dibebani PPN dan PPh karena keterbatasan mekanisme perpajakan
> kita
> saat ini;
> 3. Zakat perintah di Al Qur'an, sementara yang mengimani Al Qur'an
> tentu saja orang Islam. Sementara, negara kita tidak 100% Islam. Kalau anda
> memfokuskan pada kesadaran pribadi dalam berzakat, bagaimana caranya
> menumbuhkan kesadaran berzakat bagi pemeluk agama lain? Sementara yang
> Islam
> saja belum tentu semuanya sadar zakat;
> 4. Kalau negara kita takut dosa, maka sudah barang tentu negara kita
> sudah menjadi salah satu negara adidaya saat ini. Realistislah Bung Toto
> Hadi. Generasi Abu Bakar AS sudah tidak ada lagi. Kalau kita menekankan
> pada
> kesadaran diri, zakat ini tidak akan berjalan sempurna. Berbeda dengan
> zaman
> khalifah dulu. Standar moral sudah jauh berubah. Strateginya pun harus
> berbeda.
> Negara kita negara hukum. Dan hukumlah yang bisa menekan masyarakat untuk
> mematuhi suatu aturan. Kalau zakat tidak diatur melalui hukum, percuma
> saja,
> tidak akan berhasil. Sementara, harus diakui bahwa negara kita bukan Islam
> 100% sehingga rasanya tidak adil kalau menerapkan zakat ini pada mereka.
> Saya ada tiga alternatif saran :
> a) Zakat diatur dalam hukum hanya untuk pemeluk agama Islam, namun
> pajak tetap berlaku untuk semua orang termasuk pemeluk agama Islam;
> b) Zakat diatur dalam hukum hanya untuk pemeluk agama Islam, dan pajak
> tetap berlaku untuk semua orang. Namun, jumlah zakat yang telah dibayarkan
> menjadi kompensasi pengurangan kewajiban perpajakan. Sebagai penyeimbang
> pemeluk agama lain, bila ada ketentuan semacam zakat dalam agama mereka (
> kalau tidak salah, 10% bagi rekan Nasrani), maka itu juga diatur dalam
> hukum
> dan menjadi kompensasi pajak bagi mereka;
> c) Gunakan sistem yang ada sekarang. Urusan zakat menjadi urusan
> masyarakat yang tidak diatur dalam hukum. Pajak tetap menjadi kewajiban
> masyarakat.
>
> Salam
>
> Habibie Nugroho Wicaksono
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com 
    ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke