Sulitnya menjadi muslim sejati karena Agama Islam mengajarkan kehidupan yang 
"sedang2 saja". Kalau miskin akan dekat pada kekufuran kalau kaya dekat pada 
keangkuhan. Dalam kehidupan sosial pengakuan atas exist tidaknya (drajat 
eksistensi) suatu elemen masyarakat terkait dengan fenomena yang bersifat 
material. Kelompok anak2 miskin yang mengaji AlQuran di mosholla2 kecil 
dikampung kumuh mencerminkan komunitas marginal dibandingkan anak2 remaja 
mesjid di mesjid2 besar seperti Mesjid Sunda Kelapa dan Al Azhar, yang eksis 
sbg anak gedongan. Meskipun kedua kelompok ini mempelajari Quran yang sama, 
namun kesadaran eksistensial mereka berbeda. 

Anak2 marginal ini merupakan objek santunan sosial dan kesadaran mereka 
mengajarkan hirarki sosial berdasarkan pemilikan material. Simbol2 Islam yang 
mereka gunakan seperti kerudung, baju koko, gamis dan bendera2 atas nama Islam 
(ketika mereka berparade) mereka harapkan melindungi mereka dalam komunitas 
sosial bersama dari tekanan sosial diatasnya. 

Sementara anak2 gedongan berusaha melengkapi kesadaran sosialnya dengan 
program2 sosial yang bersifat karitatif (charity) tanpa merubah standart klas 
atas yang mereka miliki. Olehkarenanya jangan heran berbagai pengajian elite di 
Jakarta tumbuh subur dalam komunitas dan gaya hidup mereka sendiri.

Mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran umumnya ditandai dengan berhasilnya 
mereka (elitnya) menguasai jabatan2 penting dalam kekuasaan dan professional. 
Gaya hidup mereka bertranformasi dari pergaulan masjid ke masjid menjadi 
pergaulan mal ke hotel. Berbagai tokoh2 Islam yang di masa lalu selalu gampang 
ditemui di masjid2 sekarang gampang ditemui di Senayan City, Pasifik Place, 
Plaza Senayan, Gran Indonesia, Plaza Indonesia dan hotel2 besar. Mereka 
mencicipi kopi seharga seratus ribu, yang nikmat dibanding kopi tubruk di 
pengajian.

Fenomena di atas sekali lagi dikarenakan kesadaran material yang berada 
dilapisan tertinggi kesadaran mereka mengatakan bahwa kehebatan mereka akan 
diakui dengan kemampuan mereka pada pengidentifikasian diri dalam simbol2 
material yang modern, seperti pakaian, mobil mewah, nongkrong di hotel mewah 
dll.

Mungkin saja acara PKS di hotel yang super mewah dan dulu diidentifikasikan 
Yahudi ini akan meningkatkan eksistensi mereka dimata publik atau berdasarkan 
kesadarannya yang bersifat material yang kurang disadarinya???. 


Wass,
Syahganda Nainggolan
Wk Sekjen ICMI
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com>
Date: Thu, 13 May 2010 17:27:44 
To: <ekonomi-nasional@yahoogroups.com>; <eramus...@yahoogroups.com>; 
<forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com>; <indonesia-ris...@yahoogroups.com>; 
<mediac...@yahoogroups.com>; <nongkrong_bare...@yahoogroups.com>; 
<ppiin...@yahoogroups.com>; <sab...@yahoogroups.com>; 
<syiar-is...@yahoogroups.com>; <wartawan-indone...@yahoogroups.com>; 
<wartawanindone...@egroups.com>; <zama...@yahoogroups.com>
Subject: [ekonomi-nasional] PKS makin Sejahtera

Menurut rencana, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pada tanggal 16 s/d 20 Juni 
2010 akan menyelenggarakan Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta.


Munas PKS ini mengagendakan pemilihan Presiden baru PKS beserta staf 
Kabinetnya. Walau, konon menurut kabarnya, sampai dengan saat ini belum jelas 
siapa saja kandidatnya.

“PKS punya tradisi sendiri dalam memilih pemimpin, pemimpin adalah orang yang 
dimusyawarahkan Majelis Syuro”, kata Yudi Widiana, Sekretaris Panitia Pengarah 
Munas PKS.


Munas bertema ‘PKS untuk Semua‘ yang menurut rencana akan berlangsung selama 5 
hari itu, telah ditetapkan tempat penyelenggaraannya, yaitu di The Ritz Carlton 
Pacific Place.

“Kita ingin meningkatkan citra partai”, kata Yudi Widiana, saat memberikan 
dasar pertimbangan dan alasan pemilihan hotel yang rata-rata tarif kamarnya itu 
berkisar 300-an USD per malam itu sebagai tempat Munas PKS.

“Ruang serba guna hotel ini dipilih karena kapasitasnya yang sanggup menampung 
8.000 orang”, kata Yudi Widiana melengkapi dasar pertimbangan dan alasan 
pemilihan hotel termewah di Jakarta itu.


Munas yang menurut kabar akan menelan biaya lebih dari Rp. 10 Miliar itu 
pembiayaannya akan ditanggung secara gotong royong oleh para kadernya yang 
duduk sebagai anggota di lembaga legislatif.

“Dana ini dibebankan kepada anggota PKS yang menjadi anggota DPR dan DPRD”, 
kata Yudi Widiana saat menjelaskan sumber pendanaan penyelenggaraan Munas.


Berkait dengan itu, maka PKS mencetak sejarah baru menjadi parpol yang pertama 
kali menyelenggarakan Munasnya di di hotel super mewah, The Ritz Carlton 
Jakarta.

Beberapa saat yang lalu pada bulan Oktober 2009, partai Golkar hanya 
memanfaatkan The Ritz Carlton ini untuk acara pelantikan pengurus DPP, 
sedangkan penyelenggaraan acara munasnya bertempat di Pekanbaru.


Namun menurut Menkominfo yang berasal dari kader PKS, Tifatul Sembiring, 
penyelenggaraan Munas PKS yang bertempat di Hotel Ritz-Carlton itu adalah hal 
yang biasa saja.

“Itu murah meriah. Ritz-Carlton habis bom kemarin (17 Juli 2009) paling murah”, 
kata Tifatul Sembiring yang mantan Presiden PKS.


Akhirulkalam, semakin hari memang PKS semakin terlihat semakin sejahtera.

Semoga dengan semakin sejahtera itu tidak menjadikan lupa bahwa berdasarkan 
nama partainya itu kata ‘keadilan’ berada didepannya kata ‘sejahtera’, bukan 
kata ‘sejahtera’ yang berada didepannya kata ‘keadilan’.


Wallahulambishshawab.

*
Catatan Kaki :
        * Artikel bertema PKS atau Partai Keadilan Sejahtera , dapat dibaca di 
“PKS & Perda anti Sedekah” ,  “PKS atau PSK” , “Istri Pejabat PKS Sakit 
Ingatan” ,  ”Apa Kabar pak Tifatul Sembiring ?” ,“Neoliberalisasi Jilbab” , 
“Pembinaan Militansi kader PKS” .
        * Artikel bertema lainnya, diantaranya dapat dibaca di “Jatah Preman 
ala DPR” , “Rakyat Tuyul dan Pemimpin Pencuri” , “Gaji Lokal, Biaya Hidup 
standar Internasional” , “Sekolah Negeri tak Gratis, Swasta pun tetap Mahal” , 
“Indonesia disetrum Malaysia” , “Redenominasi dan Sanering” .
*
PKS makin Sejahtera
http://politik.kompasiana.com/2010/05/14/pks-semakin-sejahtera/
*



Sudahlah jamak jika di setiap transaksi yang melibatkan calo atau makelar 
biasanya disisihkan sejumlah dana atau fee bagi jatahnya si makelar atau calo 
sebagai perantaranya.

Disamping itu, dikalangan para pengusaha yang bergelut dalam dunia bisnis juga 
dikenal istilah jatah preman. Demi keamanan dan kelancaran usahanya dari ulah 
gangguan kelompok pengganggu, mereka menyediakan sejumlah dana atau fee bagi 
jatah preman.

Fee bagi makelar dan calo ini lain dengan fee bagi jatah preman.

Jika fee calo makelar itu biasanya diberikan berdasarkan prosentase tertentu 
atas sebuah transaksi yang didalamnya melibatkan jasa perantaraan si makelar 
itu, maka dalam fee jatah preman biasanya diberikan rutin pada suatu kurun 
waktu tertentu yang besarannya berdasarkan kesepakatan atau bisa juga 
berdasarkan permintaan si preman itu.


Entah apakah berhubungan dengan soal jatah fee makelar atau dengan soal jatah 
fee preman atau entah soal jatah apa, baru-baru ini Komisi XI DPR RI meminta 
sejumlah uang tertentu berkaitan dengan soal penerimaan pajak.

Dalam soal penerimaan pajak ini memang dikenal adanya pengkhususan besarnya 
gaji khusus bagi para aparat pegawai pajak berhubungan dengan pekerjaannya yang 
memungut pajak dari rakyat.


Bisa jadi ada kemungkinan berkait dengan logika itulah maka Komisi XI DPR RI 
juga mengajukan imbalan sejumlah Rp. 2 Trilyun berkait dengan optimalisasi 
penerimaan pajak yang sebesar Rp. 11 triliun.

“Komisi XI kan sudah berhasil melakukan optimalisasi dari Pajak sebesar Rp11 
triliun, wajar kalau Komisi XI meminta Rp2 triliun digunakan untuk program atau 
kegiatan yang dialokasikan di daerah pemilihan masing-masing anggota Komisi 
XI”, kata Achsanul Qosasih, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI yang berasal dari 
fraksi partai Demokrat.

“Jumlah anggota Komisi XI 53 orang, alokasi untuk dapil anggota Komisi XI, itu 
sudah kami sepakati dengan pemerintah. Tapi kesepakatan itu tidak diabaikan 
Badan Anggaran dengan alasan tidak ada dasar hukumnya”, kata politisi dari 
partai Demokrat ini.

“Kalau dibilang tak punya dasar hukum, Komisi Komisi lain mengalokasikan 
anggaran untuk suatu proyek/program yang dialokasikan untuk satu tempat, apa 
dasar hukumnya? Itu kan tergantung kesepakatan. Kalau Komisi XI dan Pemerintah 
sudah sepakat, kenapa Badan Anggaran tidak menyetujuinya”, kata anggota DPR 
dari partai Demokrat ini.


Berkait dengan itu, jika dipikir-pikir secara mendalam maka benar juga bahwa 
dasar hukum sebuah pengalokasian sesuatu anggaran atau sejumlah fee tertentu 
atau sebuah pengkhususan renumerasi itu memang pada hakikatnya pada awalnya 
adalah berdasarkan sebuah kesepakatan.

Maka, jatah Rp. 2 Trilyun yang diminta oleh Komisi XI DPR RI itu secara 
logikanya termasuk  di soal jatah fee makelar atau soal jatah fee preman atau 
soal jatah pengkhususan seperti layaknya para pegawai pajak ?.

Wallahualambishswab.


*
Catatan Kaki :
        * Artikel dengan tema bahasan yang lainnya antara lain dapat dibaca di 
“Sri bakal Mutung ?” , dan di “Penangkapan Susno & Peran SBY” , serta di 
“Sekolah Negri tak Gratis, Swasta pun tetap Mahal” .
*
Jatah Preman ala DPR
http://politik.kompasiana.com/2010/05/13/jatah-preman-ala-dpr/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke