Namanya dinasionalisasi, perusahaan2 asing itu pasti pada keberatan/menolak 
sebab keuntungan besar yang mereka dapat bisa berhenti. Mereka akan berusaha 
mempropagandakan keberatannya lewat orang2 yang bisa mereka pakai.

Toh raja Faisal di Saudi berhasil menasionalisasi Aramco di tahun 1974, begitu 
pula Hugo Chavez dan Evo Morales meski AS sangat benci.

Indonesia yang merupakan negara yang jauh lebih besar harusnya bisa dan lebih 
berani....:)


===
Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits
http://media-islam.or.id
Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
Belajar Islam via SMS:
http://media-islam.or.id/2008/01/14/dakwah-syiar-islam-lewat-sms-mobile-phone


--- Pada Sel, 1/6/10, OK Taufik <ok.tau...@gmail.com> menulis:

> Dari: OK Taufik <ok.tau...@gmail.com>
> Judul: [ekonomi-nasional] Re: [indonesiaraya] Sebaiknya Nasionalisasi 
> Perusahaan Migas - Bls:  Politik Energi Yang Berbau Kolonial
> Kepada: indonesiar...@yahoogroups.com
> Cc: ekonomi-nasional@yahoogroups.com, ppiin...@yahoogroups.com, "lisi" 
> <l...@yahoogroups.com>, sab...@yahoogroups.com, istiq...@yahoogroups.com
> Tanggal: Selasa, 1 Juni, 2010, 1:05 AM
> pendapat dri milis sebelah
> =================
> 
> Memang buat technical people, kontrak K3S itu njelimet,
> sepertinya mengacu
> ke hukum anglo-saxon yang sangat detail merinci a to z
> nya.  Karena
> detailnya kontrak K3S itu, kemungkinan terjadi "void",
> ovellapping atau
> malah bertabrakan dengan aturan lain semisal UU. Itu
> sebabnya IPA rajin
> "complaint" karena adanya wilayah abu-abu ini.
> Jargon IPA yang paling sering disuarakan adalah, hormati
> kontrak sampai
> liang kubur (respect the contract till's the grave). Jadi
> kalau kontrak K3S
> lebih sakral dari UUD, mungkin ada benarnya, karena UUD
> sendiri sudah di
> amend sekian kali, begitu juga UU MIGAS.
> Anehnya di negara barat sendiri, kontrak bisnis itu gak
> sakral-sakral amat.
> Beberapa bulan lalu, PM Australia Rudd mengusulkan RUU yang
> oleh kalangan
> miners disebut "Resources Super Tax" dimana pemerintah
> Australia akan
> menarik pajak 40%  dari keuntungan!. Ini akan
> diberlakukan untuk kontrak
> yang berjalan.
> Pada waktu harga minyak meroket, seorang pakar menginfokan
> bahwa beberapa
> negara Europa menerapkan pajak atas "winfall profit".
> Artinya jika GOI pede
> semestinya perubahan kontrak itu di mungkinkan. Waktu Hugo
> Chavez mengubah
> term PSC contract nya, toh cuma 1 company saja yang menolak
> menandatangani
> kontrak baru. Buat Oil company, sepanjang masih
> menguntungkan mereka pasti
> akan berinvestasi. Masalahnya mungkin untuk Indonesia,
> mereka tidak mau
> keuntungan yang besar itu akan berkurang.
> Salam
> 
> YI
> 
> 2010/6/1 A Nizami <nizam...@yahoo.com>
> 
> >
> >
> >   Lebih baik pemerintah fokus pada
> menasionalisasi perusahaan migas yang
> > jelas tidak efisien dan menarik untung sebesar2nya.
> Jika presiden Venezuela
> > Hugo Chavez dan Bolivia Evo Morales bisa
> menasionalisasi perusahaan asing,
> > saya yakin bangsa Indonesia yang jauh lebih besar
> bisa.
> >
> > Harga minyak oleh kartel minyak dinaikan dari US$
> 24/barrel jadi US$
> > 80/barrel hanya dalam beberapa tahun. Ini maruk,
> serahak, loba, tamak, dsb.
> >
> > Tidak pantas rakyat Indonesia menanggung kenaikan
> harga minyak yang
> > dinaikkan oleh perusahaan2 migas swasta/asing yang
> serakah. Lebih baik
> > nasionalisasi perusahaan2 tsb ketimbang rakyat harus
> menderita karena
> > kenaikan harga.
> >
> >
> > ===
> > Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits
> > http://media-islam.or.id
> > Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
> > Belajar Islam via SMS:
> >
> > http://media-islam.or.id/2008/01/14/dakwah-syiar-islam-lewat-sms-mobile-phone
> >
> > --- Pada *Sen, 31/5/10, ulfha_raz <ulfha_...@yahoo.co.id>*
> menulis:
> >
> >
> > Dari: ulfha_raz <ulfha_...@yahoo.co.id>
> > Judul: [ekonomi-nasional] Politik Energi Yang Berbau
> Kolonial
> > Kepada: ekonomi-nasional@yahoogroups.com
> > Tanggal: Senin, 31 Mei, 2010, 9:02 PM
> >
> >
> >
> > Politik Energi Yang Berbau Kolonial
> >
> > Oleh: Rudi Hartono*)
> >
> > Pemerintah memastikan akan mencabut subsidi BBM dalam
> waktu dekat,
> > demikian dikatakan Menkokesra Agung Laksono seperti
> dilansir Kompas, 29
> > mei 2010. Selanjutnya, menurut Menkokesra ini,
> pemerintah akan
> > menggantinya dengan mekanisme pemberian
> kompensasi-kompensasi kepada
> > sektor rakyat tertentu.
> >
> > Sungguh, ini bukan sekedar sebuah penjelasan yang
> dangkal, melainkan
> > juga pernyataan yang sangat mengelabui. Lihatlah,
> setiap kali pemerintah
> > hendak mencabut subsidi, logika berfikir seperti ini
> terus dikemukakan.
> >
> > Rakyat kembali menjadi korban, terutama mereka yang
> sudah
> > "ngos-ngosan" menghadapi tekanan ekonomi. Ini
> kebijakan yang
> > mengagetkan, dikatakan bahwa kita mengalami krisis
> energi, padahal
> > sumber energi di bumi pertiwi sangat melimpah.
> >
> > Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99
> miliar barel dan
> > diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun.
> Disamping itu,
> > kita masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41
> miliar barel.
> > Cadangan gas mencapai 170 TSCF dan produksi per tahun
> mencapai 2,87
> > TSCF, dan diperkirakan akan bertahan hingga 59 tahun
> lagi. Cadangan
> > batubara masih diperkirakan 18,7 miliar ton, dan
> diperkirakan masih bisa
> > bertahan hingga 150 tahun (diolah dari berbagai
> sumber).
> >
> > Kepentingan dibalik pencabutan Subsidi
> >
> > Pemerintah berdalih, kenaikan harga minyak dunia akan
> memaksa lonjakan
> > subsidi BBM, sehingga akan menyulitkan anggaran. Ini
> sangat aneh,
> > setidaknya bagi saya, karena sekalipun subsidi BBM
> membengkak hingga
> > Rp30 trilyun , itu berarti hanya bertambah menjadi
> Rp87,4 triliun, masih
> > lebih rendah dibanding alokasi untuk membayar bunga
> utang luar negeri
> > sebesar Rp115,6 triliun dan belanja pegawai sebesar
> Rp161.7 triliun.
> >
> > Lantas, kenapa pemerintah begitu berani mengutak-atik
> soal subsidi BBM
> > saja, padahal ini berkaitan dengan rakyat banyak,
> sementara persoalan
> > utang luar negeri tidak pernah tersentuh pembicaraan
> sama sekali. Utang
> > luar negeri tidak hanya membuat APBN menjadi
> kering-kerontang, tetapi
> > membawa dampak lebih luas seperti pendiktean kebijakan
> ekonomi dan
> > politik kita oleh pihak asing.
> >
> > Demikian pula pendapat miring para ekonom neoliberal
> mengenai subsidi.
> > Mereka begitu getol mengecam subsidi sebagai
> pemborosan, tidak
> > produktif, dan dianggap kuno. Namun, ketika para
> pengusaha mengalami
> > krisis, mereka pun ramai-ramai berteriak perlunya
> subsidi bagi sektor
> > swasta dalam bentuk bailout. Pendek kata, mereka
> mengecam segala bentuk
> > subsidi untuk orang miskin dan rakyat banyak, tapi
> menghalalkan subsidi
> > bagi segelintir kaum kaya.
> >
> > Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan
> jatuh juga, begitu
> > kata pepatah lama. Sehebat apapun pemerintah
> membungkus "maksud
> > busuk" dibalik rencana itu, tetapi masyarakat lambat
> laun akan
> > mengerti juga. Di sini, ada beberapa agenda
> terselubung dibalik rencana
> > penghapusan subsidi itu:
> >
> > Pertama, Rencana pengurangan subsidi merupakan
> "rangkaian" dari
> > paket liberalisasi sektor migas di Indonesia. Ini
> hanya pelengkap
> > liberalisasi sektor hilir, setelah sebelumnya sektor
> hulu sudah dikuasai
> > asing. Sudah menjadi ketentuan tidak tertulis, bahwa
> prasyarat masuknya
> > swasta dalam sektor hilir, adalah adanya harga yang
> kompetitif. Artinya,
> > pemerintah harus bersedia melempar harga BBM sesuai
> mekanisme pasar.
> >
> > Untuk diketahui, saat ini, ada 105 perusahaan yang
> sudah mendapat izin
> > untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka
> stasiun pengisian
> > BBM untuk umum (SPBU), diantaranya British Petrolium
> (Inggris), Shell
> > (Belanda), Petro-China (RRC), Petronas (Malaysia), dan
> Chevron-Texaco
> > (Amerika.
> >
> > Kedua, saat Eropa dan AS sedang mengalami krisis dan
> membutuhkan
> > suntikan dana, maka negara-negara dunia ketiga dipaksa
> menjalankan
> > kebijakan "mengencangkan ikat pinggang", termasuk
> pemerintah
> > Indonesia. Disamping itu, dari berbagai pengalaman,
> kebijakan
> > "mengencangkan ikat pinggang" ini dipergunakan untuk
> mensubsidi
> > orang-orang kaya dan kelompok bisnis di dalam negeri.
> >
> > Kolonialisme Di Sektor Energi
> >
> > Salah satu bentuk politik-ekonomi kolonial, saya
> mengutip Bung Karno,
> > adalah kebijakan mengekspor bahan mentah dan kemudian
> mengimpor
> > bahan-bahan jadi. Kebijakan ekspor ala kolonial
> seperti ini,
> > bagaimanapun, tidak akan memberikan basis atau celah
> kemajuan sedikitpun
> > bagi negara penghasil bahan mentah.
> >
> > Kebijakan ekspor ala kolonial ini sangat merugikan.
> Pertama, kebijakan
> > seperti ini sama artinya dengan mengekspor lapangan
> pekerjaan dan nilai
> > tambah ke luar negeri, padahal semestinya dinikmati
> oleh negara
> > penghasil bahan mentah. Kedua, kebijakan seperti ini
> akan menghilangkan
> > basis berdirinya industri olahan dan industri tingkat
> lanjut di negara
> > kita. Karena itu, sebagai konsekuensinya, kita akan
> terus bergantung
> > kepada negara-negara maju. Ketiga, setelah mengekspor
> bahan mentah, kita
> > dipaksa mengimpor bahan jadi dengan harga lebih mahal.
> Jadi, sebetulnya,
> > kita tidak menikmati sedikitpun devisa dari praktek
> ini. praktik seperti
> > ini, paling jauh, akan dinikmati oleh politisi dan
> birokrat yang menjadi
> > calo.
> >
> > Kalau diterapkan dalam politik energi, kebijakan ini
> akan membawa dampak
> > lebih parah, lebih luas, dan mematikan. Energi
> merupakan barang sangat
> > penting dan vital dalam perekonomian suatu negara.
> Michael Collon,
> > seorang penulis Belgia, punya perkataan sangat menarik
> soal minyak. Dia
> > berkata, "jika mau menguasai dunia, maka kau harus
> mengontrol
> > minyak. Segalanya adalah minyak, dimanapun."
> >
> > Indonesia adalah negara penghasil minyak, gas, dan
> batubara. Bahkan,
> > Indonesia merupakan penghasil gas terbesar di dunia,
> atau memproduksi
> > sekitar 20% kebutuhan gas dunia. Indonesia juga
> merupakan salah satu
> > penghasil batubara di dunia. Pada tahun 2008, produksi
> batubara
> > Indonesia mencapai 246 juta ton, sedangkan China mampu
> mencapai 2,761
> > miliar ton. Meski begitu, China tidak termasuk negara
> pengekspor gas di
> > dunia, malah Indonesia menjadi pengekspor gas terbesar
> di dunia setelah
> > Australia.
> >
> > Dalam hal minyak, Indonesia memang bukan produsen
> terbesar di dunia.
> > Tetapi, kalau sekedar untuk kebutuhan domestik,
> seharusnya Indonesia
> > tidak terbebani oleh impor. Sebagai missal, menurut
> data ESDM tahun
> > 2008, Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599
> barel/hari pada
> > tahun 2007, tetapi, pada saat yang sama, kita pun
> menjual minyak ke luar
> > negeri sebanyak 348.314 barel/hari. Jadi, kalaupun
> terjadi defisit, itu
> > juga tidak berarti suatu tekanan yang besar terkait
> konsumsi BBM di
> > dalam negeri.
> >
> > Pengamat migas Qoyum Tjandranegara mengatakan,
> kegiatan ekspor gas yang
> > selama ini dilakukan pemerintah hanya menguntungkan
> kontraktor dalam
> > jangka pendek. Bahkan, negara kehilangan devisa
> sebesar Rp155,7 triliun
> > pada 2008. Padahal, menurut Qoyum, untuk pembangunan
> infrastruktur gas
> > diperkirakan hanya membutuhkan dana sekitar Rp110
> trilun, dan akan
> > selesai dalam lima tahun ke depan.
> >
> > Kebijakan energi berbau kolonial ini membawa begitu
> banyak dampak.
> > pertama, segelintir korporasi asing, terutama dari
> kelompok perusahaan
> > multi-nasional, menguasai sedikitnya 85,4% lapangan
> migas di dalam
> > negeri. Akibatnya, negara kehilangan kontrol dan
> kedaulatan dalam
> > menentukan produksi, alokasi, dan keuntungan produksi
> migas.
> >
> > Kedua, kebijakan ekspor bahan mentah menyebabkan
> "keringnya"
> > pasokan energi untuk kebutuhan domestik, terutama
> untuk industri,
> > layanan publik, dan kebutuhan rumah tangga. Karena
> kekurangan pasokan
> > gas, dua pabrik pupuk terkenal, yaitu PT. Pupuk
> Iskandar Muda (PIM) dan
> > PT. AAF, akhirnya gulung tikar. Karena pasokan energi
> terus berkurang,
> > maka ada banyak industri di dalam negeri yang
> bangkruk, terutama usaha
> > menengah dan kecil.
> >
> > Prioritaskan Kepentingan Nasional
> >
> > Indonesia harus berhenti menjadi pengekspor bahan
> mentah, sebuah praktik
> > yang sudah berlangsung 400-an tahun. Yang paling pokok
> dari itu, adalah
> > soal jaminan energi untuk kepentingan nasional. Tidak
> ada satupun negara
> > di dunia dapat membangun, khususnya membangun
> industri, tanpa jaminan
> > pasokan energi.
> >
> > Untuk itu, sebagai langkah awal, pemerintah sudah
> semestinya mengambil
> > langkah-langkah untuk mengamankan kebutuhan energi
> untuk domestik. a)
> > tidak mengekspor migas dan batubara sebelum kebutuhan
> domestik
> > terpenuhi. Pemerintah harus berani menekan perusahaan
> multinasional
> > seperti ExxonMobil, Vico, BP, Conoco-Philips, dan
> Chevron, untuk
> > menghentikan ekspor dan memproritaskan kebutuhan
> domestik. b) melakukan
> > renegoisasi terkait kontrak karya yang merugikan
> kepentingan nasional,
> > terutama soal pembagian keuntungan, cost recovery, dan
> pemastian
> > alih-teknologi. Terkait kontrak jangka panjang, kalau
> sulit untuk
> > renegosiasi, pemerintah dapat mengadukan hal itu ke
> arbitrase
> > Internasional, disamping bersandar kepada tekanan
> politik dan gerakan
> > rakyat. c) seandainya produksi minyak terus merosot
> dan pemerintah
> > dipaksa mengimpor BBM lebih besar, maka sebaiknya
> dipikirkan untuk
> > beralih kepada Bahan Bakar Gas (BBG). Toh, kita punya
> produksi gas yang
> > melimpah. d) mengupayakan penelitian dan pengembangan
> energi alternative
> > seperti eperti panas bumi, biofuel, aliran sungai,
> tenaga surya,
> > biomass, dan sebagainya.
> >
> > Mengakhiri Kolonialisme Energi
> >
> > Politik energy seperti ini harus diakhiri, tanpa
> menyisakan sedikitpun
> > kompromi. Ini soal hak hidup, yaitu soal kelangsungan
> masa depan suatu
> > masyarakat, sebuah bangsa. Dalam hal ini, ada
> pertentangan kepentingan
> > tak terdamaikan antara negara-negara imperialis dan
> korporasi
> > multinasional dengan kepentingan nasional.
> Pertentangan ini, meminjam
> > istilah Bung Karno, adalah pertentangan sana mau ke
> sana dan sini mau ke
> > sini, pertengan soal hidup dan mati.
> >
> > Politik energi seperti ini sangat subur di alam
> neoliberal, terutama
> > sekali di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
> (SBY). Tipikal
> > pemerintahan SBY adalah bergaya seperti calo,
> mengobral semua kekayaan
> > alam nasional untuk asing.
> >
> > Praktik ini, selain menguras potensi sumber daya alam
> dan potensi
> > kemajuan bangsa, juga menyebabkan "tergadainya"
> kedaulatan
> > nasional kita. Karena itu, tidak ada tawar-menawar
> yang merugikan
> > kepentingan dan kedaulatan nasional.
> >
> > Maka, mau tidak mau, suka tidak suka, perjuangan
> mengakhiri praktik
> > ekspor kolonial ini harus bersifat perjuangan
> dekolonialisme, sebuah
> > perjuangan menghapuskan segala bentuk dan ekspresi
> kolonialisme.
> >
> > Karena itu, saya kembali menegaskan, kita harus
> berjuang
> > sekeras-kerasnya bersama gerakan rakyat Indonesia
> lainnya, untuk
> > mengakhiri sistim neoliberalisme atau penjajahan gaya
> baru, yaitu dengan
> > merebut kembali kedaulatan bangsa kita. Kita sangat
> menyakini, ketika
> > kedaulatan telah direbut, maka penindasan dan
> eksploitasi dari luar
> > dapat diakhiri.
> >
> > *) Penulis adalah Deputi Kajian dan Bacaan KPP-PRD dan
> Pimred Berdikari
> > Online.
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> >
> > 
> >
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> ------------------------------------
> 
> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
> Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
> http://capresindonesia.wordpress.com
> http://infoindonesia.wordpress.comYahoo!
> Groups Links
> 
> 
>     ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com
> 
> 
> 



Kirim email ke