Model Akuarium untuk Menganalisa Ekonomi Indonesia Oleh: Bambang Sudibyo
DALAM ilmu pengetahuan, model adalah penyederhanaan dari realitas kehidupan yang biasanya amat kompleks dan berdimensi banyak ke dalam suatu konsep pengganti yang jauh lebih sederhana dengan dimensi yang terbatas, untuk mempermudah pemahaman dan pengendalian terhadap realitas tersebut. UNTUK kali ini, penulis memakai akuarium sebagai model untuk memahami realitas yang sering kita namai ekonomi Indonesia itu. Suatu realitas yang sejatinya amat kompleks tentunya. Akuarium terdiri dari tiga bagian utama. Pertama, badan yang terdiri dari kerangka, dasar, kaca, penutup, sirkulator air, dan lampu. Badan dengan segala kelengkapannya itu saya pakai sebagai ibarat dari wadah besar politik, sosial, dan hukum (polsoskum) dari kebersamaan kita yang kita namai Indonesia. Kedua, air yang menjadi medium bagi ikan dalam permodelan ini dipakai sebagai ibarat dari ekonomi makro kita. Ketiga, ikan-ikannya dipakai sebagai ibarat dari para pelaku ekonomi mikro kita. Ekonomi Indonesia sekarang adalah mirip sebuah akuarium yang, pertama, kerangkanya lapuk, dasarnya bocor, kacanya retak dan kusam, sirkulator airnya macet, serta lampunya redup kelap-kelip antara hidup dan mati. Kedua, airnya keruh, volumenya secara perlahan terus menyusut karena kebocoran di dasarnya, kandungan oksigennya amat rendah karena macetnya sirkulator air, dan tingkat kegaraman air itu terlalu tinggi karena proses penguapan yang terus terjadi, tanpa dikompensasi dengan air segar yang baru. Ketiga, ikannya yang besar-besar megap-megap hampir mati, sementara ikan-ikan kecil bisa bertahan tetap hidup relatif sehat dalam akuarium yang kondisinya mengenaskan itu. Akuarium yang seperti itu tentu tidak memberikan pemandangan yang indah bagi para penikmatnya, dan tidak ada investor baru yang mau memelihara ikan di dalam akuarium itu. Bahkan investor yang lama ramai-ramai menyelamatkan ikannya dari akuarium celaka itu. *** KERANGKA kebersamaan polsoskum kita selama tiga tahun terakhir ini tidak mampu memberikan kestabilan, kepastian, keprediktabelan, ketertiban, harmoni sosial-politik, dan keamanan sehingga selama masa itu pemerintah banyak kehilangan kredibilitas. Sidang Istimewa MPR dan pembentukan kabinet yang baru lalu memang secara signifikan telah memperbaiki kerangka kebersamaan politik kita, tetapi rasanya itu saja belum cukup. Ibarat akuarium tadi, kebocoran di dasarnya sudah ditambal dan sirkulator air yang macet sudah dibetulkan, tetapi kerangka akuarium yang sudah telanjur lapuk, kaca yang telanjur retak dan kusam, dan lampu yang hampir mati belum juga diperbaiki atau diganti. Pasar menanggapi amat positif perbaikan kondisi politik yang dikonsekuensikan oleh Sidang Istimewa MPR dan pembentukan kabinet oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sehingga rupiah sempat menguat sampai ke tingkat kurs Rp 8.250 per dollar AS. Akan tetapi, tampaknya akhirnya pasar menyadari bahwa masih amat banyak permasalahan polsoskum yang tidak terobati dengan sekadar melaksanakan Sidang Istimewa MPR secara cantik dan demokratis, serta membentuk tim kabinet pujaan pasar dan komunitas keuangan internasional. Pasar akhirnya menyadari bahwa bara Aceh bukannya semakin meredup, tetapi bahkan semakin membara, bara Maluku belum sepenuhnya padam, bara Irian Jaya masih hidup, dan berbagai macam potensi konflik horizontal di berbagai daerah masih menjadi ancaman. Ancaman bom juga masih menakutkan tanpa diketahui siapa pengancamnya, dan ketika misteri "Tommy Ibrahim" belum juga terkuakkan, tiba-tiba muncul misteri Aris Djunaidi. Ketika mata pasar bisa lebih jernih dalam memandang realitas polsoskum yang dihadapi negeri ini, maka pasar pun mulai mengoreksi besarnya premi risiko yang diatribusikan pada rupiah sehingga nilai tukar rupiah terkoreksi kembali dan melemah hingga mendekati kisaran Rp 9.000 per dollar AS. *** DISEKUILIBRIUM dan kontaminasi medium air ekonomi makro dalam akuarium Indonesia ternyata juga tidak sederhana. Rupiah sudah menguat antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per dollar AS-nya, tetapi inflasi dan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masih saja tinggi. Di samping itu, sustainabilitas penguatan rupiah itu sendiri masih diragukan. Meskipun pada bulan Agustus yang lalu terjadi deflasi, namun belum bisa disimpulkan apakah menurunnya inflasi itu hanya karena bekerjanya faktor musiman, ataukah memang merupakan hasil nyata dari jerih payah Bank Indonesia mengendalikan inflasi, bahkan sampai mengorbankan tingkat suku bunga SBI hingga melampaui tingkat spread negatif perbankan yang 17 persen itu. Inflasi yang terjadi akhir-akhir ini dipandang sebagai sepenuhnya peristiwa moneter sehingga terapi yang diupayakan hanyalah mengurangi jumlah uang beredar atau kebijakan uang ketat (tight money policy). Bukankah inflasi juga bisa terjadi karena pergeseran kurva pasok dan/atau permintaan agregat di pasar barang dan jasa dan pasar tenaga kerja? Ketika pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri, mengurangi subsidi BBM dan listrik, serta meningkatkan tarif angkutan umum, kurva pasok dan permintaan agregat telah sama-sama bergeser ke atas, dan itu menyebabkan inflasi. Masih tingginya tingkat subsidi, dan tidak efektifnya pengawalan batas wilayah Republik, telah menjadi insentif bagi terjadinya penyelundupan besar-besaran yang berdampak pada kelangkaan pasok barang dan berikutnya inflasi. Ketika Bulog dan Pertamina gagal dalam menjaga kelancaran pasok beras dan BBM di seluruh wilayah RI yang amat luas ini, maka inflasi pun terjadi. Sengketa perburuhan, yang secara anomalis begitu marak ketika pasar tenaga kerja sedang secara ekstrem kelebihan pasok, tentunya juga amat mengganggu kelancaran pasok barang dan jasa, di samping mendorong meningkatnya biaya tenaga kerja, yang akhirnya berujung pada inflasi. Belum lagi potensi inflasi yang ada di depan kita, yang terkait dengan potensi kenaikan permintaan agregat karena meningkatnya konsumsi di sekitar bulan puasa, hari raya Ied, hari raya Imlek, hari raya Natal, dan Tahun Baru. Demikian juga halnya dengan potensi inflasi yang melekat pada kemungkinan kenaikan permintaan agregat karena pulihnya investasi, jika pemerintah berhasil memperbaiki kepercayaan investasi (investment confidence). Semua yang diceritakan pada empat alinea terakhir ini adalah peristiwa sektor riil, bukan peristiwa moneter sehingga instrumen moneter melulu tidak kompatibel untuk dipakai menanganinya. Yang diperlukan adalah sebuah policy mix (kombinasi kebijakan) yang tepat antara penggunaan instrumen moneter, fiskal, dan hukum untuk menangani inflasi sehingga tekanan penggunaan instrumen SBI bisa dikurangi, dan karenanya suku bunganya bisa segera mulai dilonggarkan agar tidak terlalu lama menghukum sektor perbankan dan sektor riil. *** IKAN terbesar ekonomi mikro kita adalah pemerintah sendiri, yang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)- nya menyumbang sekitar 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ikan hiu ini sakit parah karena digerogoti oleh tradisi kebijakan anggaran defisit yang telah berlangsung selama 33 tahun, dan selalu ditutup dengan utang luar negeri. Karena depresiasi rupiah selama krisis moneter sekitar 70 persen maka utang luar negeri pemerintah dalam rupiah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari sebelumnya. Kondisi utang negara itu diperparah oleh program penjaminan dan rekapitalisasi perbankan, yang melalui itu pemerintah mengambil alih beban swasta sebesar Rp 650 trilyun. Dengan kurs rupiah sekarang yang sekitar Rp 9.000 per dollar AS maka utang pemerintah pada saat ini sekitar 78 persen dari PDB. Dengan kondisi utang seperti itu maka apropriasi RAPBN 2002 untuk pembayaran bunga menjapai 26 persen dari total appropriasi, nomor dua terbesar setelah apropriasi untuk daerah melalui dana perimbangan. Di samping mengidap penyakit utang, APBN juga mengidap kanker subsidi stadium empat. Subsidi ini amat membebani APBN, serta amat mengurangi daya stimulasi ekonominya bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Subsidi juga menjadi sumber inefisiensi ekonomi yang serius karena distorsi struktur harga yang ditimbulkannya, serta menjadi sumber ketidakadilan sosial karena distorsi distribusi pendapatan yang ditimbulkannya. Di samping itu, subsidi menempatkan pemerintah pada posisi serba salah. Jika dikurangi atau dihapuskan,maka segera pemerintah akan berhadapan dengan inflasi dan protes keras dari masyarakat yang selama lebih dari tiga dekade sudah dininabobokan oleh subsidi itu. Jika dibiarkan, disparitas harga dalam dan luar negeri menjadi pendorong terjadinya penyelundupan, yang pada gilirannya menyebabkan kelangkaan pasok di dalam negeri, dan ujung-ujungnya juga inflasi. Apa pun kebijakan pemerintah tentangnya, kanker subsidi yang sudah begitu mapan dan melembaga ini menjadi sumber inflasi. Ikan hiu APBN yang sakit parah ini kondisinya semakin menurun setiap saat ada penurunan kualitas pada wadah polsoskumnya, dan pada medium air ekonomi makronya. Penurunan kondisi itu biasanya mengekspresi pada pembengkakan defisit. Terlepas dari permasalahan kontekstual polsoskum dan ekonomi makro, APBN itu sendiri perlu direparasi melalui sebuah program konsolidasi jangka menengah, yang sudah dimulai sejak tahun anggaran 2000 dengan target konsolidasi bahwa pada tahun anggaran 2004 dicapai kondisi antara lain seperti disebutkan di bawah. Pertama, defisit sebesar nol persen dari PDB. Kedua, rasio pajak (tax ratio) sebesar 16 persen dari PDB. Ketiga, rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) kurang dari 60 persen. Serta keempat, jika terpaksa menerapkan kebijakan defisit lagi, maka prioritas sumber pembiayaannya adalah sumber dalam negeri. Ikan-ikan besar lain adalah ikan-ikan korporat dan lembaga keuangan yang sebagian besar sedang sakit dan dirawat di rumah sakit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative Task Force). Begitu parahnya kondisi ikan-ikan ini sehingga rata-rata memerlukan operasi pembedahan restrukturisasi utang dan/ atau modal. Anehnya, ikan-ikan kecil UKM justru rata-rata sehat dan menjadi crisis survivors. Ikan-ikan kecil UKM yang terbiasa dengan pasar kompetitif ini terbukti lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan, pergeseran, dan gejolak lingkungan polsoskum dan ekonomi makro. Observasi ini mengonfirmasi kebenaran tesis ekonomi pasar kompetitif dan tesis bahwa ekonomi kerakyatan yang sustainable (berkesinambungan) adalah yang menerapkan sistem ekonomi pasar kompetitif. *** DARI analogi akuarium ini sekarang menjadi jelas bahwa yang diperlukan untuk menyelamatkan akuarium kebersamaan Indonesia adalah, pertama, stabilitasi, harmonisasi, dan normalisasi kerangka besar polsoskum. Kedua, stabilisasi medium ekonomi makro. Ketiga, konsolidasi fiskal menuju APBN yang sustainable. Serta keempat, restrukturisasi pemain ekonomi besar. Dalam kaitan itu, yang kurang dari program-program Dana Moneter Internasional (IMF) adalah, pertama, program IMF tidak mencakup perbaikan wadah polsoskum kita yang kondisinya rusak parah. Reparasi wadah polsoskum ini memang tidak mungkin diberikan oleh IMF karena memang tidak termasuk di dalam wilayah kompetensinya, di samping dari sisi kita wilayah polsoskum adalah aurat yang terlalu sensitif untuk dipertontonkan kepada IMF yang bukan muhrim. Pemerintah harus mereparasi sendiri wadah polsoskum ini. Kedua, dalam menstabilisasikan dan menormalisasikan medium air ekonomi makro, IMF terlalu mengandalkan instrumen moneter, sementara banyak permasalahan ekonomi makro adalah permasalahan riil di sektor riil yang lebih cocok ditangani dengan instrumen fiskal atau polsoskum. Ketiga, restrukturisasi korporat di BPPN dan Jakarta Initiative Task Force telah berjalan alot sekali. Kealotan itu sebagian disebabkan karena lemahnya instrumen hukum, sebagian lain akibat lemahnya governance. * Bambang Sudibyo, mantan Menteri Keuangan . http://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/27/EKONOMI/mode15.htm --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] TerraNet: Portal Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan http://www.terranet.or.id